Kasus Suami Tikam Isti hingga Tewas Saat Live Karaoke, Mengapa Disebut Femisida?
KOMPAS.com - Seorang perempuan bernama Hertalina Simanjuntak, 46, tewas setelah ditikam oleh suaminya sendiri, Agus Herbin, 47, saat Hertalina bernyanyi karaoke yang disiarkan secara langsung lewat Facebook pada Sabtu (02/11).
Komnas Perempuan dan pegiat perempuan menyebut kasus yang terjadi di Desa Suka Damai, Kecamatan Sei Bamban, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara sebagai femisida, yakni pembunuhan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan karena korban adalah perempuan.
Kasus Hertalina menambah panjang rentetan femisida di Indonesia yang "kian mengkhawatirkan". Sejak 2020, Komnas Perempuan setidaknya mendeteksi ratusan kasus femisida setiap tahunnya.
Pada malam Minggu itu, Hertalina mengajak adik-adiknya bernyanyi karaoke bersama di rumahnya di Desa Suka Damai, Kecamatan Sei Bamban.
Menurut adik perempuannya, Nani Royana Simanjuntak, 37, kegiatan ini biasa mereka lakukan ketika sedang senggang.
“Dia selalu ajak kami kalau tidak ada kegiatan, ‘Ayo kita nyanyi, karaoke’,” tutur Nani kepada wartawan Nanda Batubara yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Mereka menyiarkan karaoke itu secara langsung lewat Facebook.
Menurut Nani, suasananya sama seperti malam-malam lainnya ketika mereka karaoke bersama.
Hertalina mengenakan daster merah muda dan duduk di depan kamera. Di sampingnya ada istri dari adik laki-lakinya, Friskawati Tambunan. Sedangkan Nani duduk di dekat mereka walau tak tampak di kamera.
Mereka menyanyikan lagu-lagu rohani bersama.
Sekitar pukul 21.00 WIB, di tengah alunan lagu “KasihNya Seperti Sungai”, Agus pulang ke rumah mereka setelah pergi sejak sore hari.
“Tidak ada memberi kabar, tidak ada duduk berbasa-basi, dia masuk, mengambil pisau yang ada di keranjang di samping almarhum, langsung menikam kakak saya,” tuturnya.
Friskawati dan Nani berteriak histeris karena kaget. Lalu seorang laki-laki –yang disebut sebagai adik dari Agus—menahan Agus agar tak lagi menyerang Hertalina.
Semua momen itu terekam di kamera.
“Ngeri bang, ngeri. Aku syok. Aku menjerit, andai bisa saya hentikan itu, saya hentikan. Saya mau menghentikan tapi tidak berdaya, dia [Agus] mau menghadapkan pisau itu ke saya, lalu saya teriak minta tolong,” kenang Nani sambil menangis.
Adik-adiknya sempat membawa Hertalina ke klinik terdekat menggunakan becak. Saat itu Hertalina masih bertahan, namun begitu kesakitan.
“Dia bilang, ‘Matilah aku ini to, matilah aku’,” tutur adik laki-lakinya, Boy, mengulangi perkataan Hertalina.
Begitu tiba di klinik, luka-lukanya diperban. Sayangnya, petugas klinik menyatakan tak mampu menyelamatkan Hertalina. Dia harus dirujuk ke rumah sakit.
“Sampai di rumah sakit, dipakai alat pompa jantung, dia sudah tidak ada lagi,” tutur Boy.
Hertalina pun dinyatakan meninggal dunia. Dia tewas secara tragis di tangan suami yang baru dia nikahi selama satu tahun.
Tak satu pun anggota keluarganya menyangka bahwa momen karaoke itu akan berujung tragis.
Polres Serdang Berdagai mengatakan tersangka Agus menikam istrinya sebanyak lima kali menggunakan pisau yang biasa digunakan untuk memotong jeruk.
Agus sempat melarikan diri ketika keluarga yang lainnya sibuk menyelamatkan Hertalina. Sehari setelahnya, Agus akhirnya ditangkap.
Agus kini terancam hukuman 15 tahun penjara dan dijerat pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto pasal 353 KUHP dan atau pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
BBC INDONESIA/Nanda Fahriza Batubara Polres Serdang Berdagai mengatakan tersangka Agus menikam istrinya sebanyak lima kali menggunakan pisau yang biasa digunakan untuk memotong jeruk.Ketika diperiksa polisi sebagai tersangka, Agus mengeklaim bahwa dia menikam istrinya karena merasa “sakit hati” dan “cemburu”.
“Korban dan tersangka dalam pernikahannya selama satu tahun ini banyak bertengkarnya. Kemudian saat bertengkar, sang istri mengeluarkan kata-kata yang membuat tersangka sakit hati,” kata Kepala Unit 1 Satuan Reserse Kriminal Polres Serdang Berdagai, Ipda Ibnu Irsyadi.
Menurut Ibnu, Agus juga mengaku cemburu karena istrinya pernah berboncengan dengan mantan suaminya.
“Tapi pernyataan ini dia dasarkan atas informasi temannya. Dia tidak pernah melihat secara langsung sang istri berboncengan dengan mantan suaminya,” tutur Ibnu.
Namun alasan itu dibantah dan disebut sebagai dalih “palsu” oleh keluarga Hertalina.
“Ke mana-mana kakak ini, tidak ada hubungan dengan mantan suaminya. Itu hanya alasan dia untuk membenarkan [tindakan] dirinya, menyelamatkan dirinya,” ujar adik perempuan Hertalina, Nani.
Hertalina menikah dengan Agus pada September 2023. Bagi Hertalina, ini adalah pernikahan ketiganya, sedangkan untuk Agus ini adalah pernikahan ketiga.
Dalam pernikahan ini, Nani menyebut kakaknya lah yang mencari nafkah. Hertalina membuka jasa pengobatan tradisional. Sementara Agus disebut tak bekerja.
Keluarga mengeklaim bahwa Agus kerap meminta uang kepada Hertalina, termasuk pada sore hari sebelum kematiannya.
Nani mengaku menyaksikan langsung Agus meminta uang kepada Hertalina, lalu pergi entah ke mana. Menurut Nani, Agus kemudian pulang untuk menikam istrinya sendiri.
“Itu pun kami kaget setelah mendengar alasan dia itu cemburu. Tidak ada itu. Palsu. Dia malu mengungkap dirinya sebagai laki-laki yang tidak bertanggung jawab, memoroti. ATM berjalan lah kakak kami ini dibuatnya,” kata Nani.
BBC INDONESIA/Nanda Fahriza Batubara Nani (kiri), Fransiska (tengah) dan Boy (kanan) menyaksikan kakak mereka ditikam oleh suaminyaPolres Serdang Bedagai menangani kasus pembunuhan Hertalina sebagai kasus kriminal murni.
“Tersangka melakukan kejahatan ini pertama kali, terhadap gender perempuan. Tersangka tidak pernah ada riwayat membenci seorang perempuan. Di keluarganya pun dia memiliki saudara perempuan,” kata Kepala Unit 1 Satuan Reserse Kriminal Polres Serdang Berdagai, Ipda Ibnu Irsyadi.
Meski demikian, menurut Komnas Perempuan dan pegiat, kasus ini adalah femisida yang berbeda dengan pembunuhan pada umumnya.
Femisida merupakan pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung karena jenis kelaminnya.
Femisida berbeda dengan pembunuhan biasa karena didorong oleh superioritas, dominasi, dan misogini terhadap perempuan. Ada ketimpangan relasi kuasa dan kepuasan sadistik di dalamnya. Ini bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling ekstrem.
"Femisida tidak hanya alasan kebencian terhadap perempuan, tetapi dipengaruhi dominasi, kontrol dan ketidak setaraan relasi antara laki-laki dan perempuan," kata Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi.
Menurutnya, alasan Agus menikam Hertalina karena "cemburu" memperlihatkan ada dominasi dan keinginan untuk mengontrol pasangannya hingga berujung pada tindakan sadis.
"Cemburu kerap kali dijadikan sebagai alasan pelaku menganiaya atau membunuh pasangannya. Padahal kekerasan dengan alasan cemburu adalah bentuk kontrol laki-laki atas perempuan," kata Siti.
Korban femisida juga kerap kali dinarasikan secara tak adil bahkan setelah dia meninggal dunia, salah satunya melalui alasan “cemburu” itu.
Naila Rizqi selaku pegiat dari The Jakarta Feminist mengatakan narasi semacam itu menempatkan korban sebagai pihak yang “memprovokasi” pelaku untuk "membenarkan" mengapa tindakan sadis itu dilakukan.
“Sayangnya, kita tidak pernah bisa tahu perspektif korban seperti apa karena korbannya meninggal, yang biasanya diketahui adalah narasi tunggal pelaku. Motif sesungguhnya dan bagaimana relasi gendernya sulit diketahui,” kata Naila.
Ada beberapa kasus femisida yang menggemparkan publik seperti kasus Nia Kurnia Sari, perempuan penjual gorengan di Padang Pariaman yang tewas setelah diperkosa dan dibunuh; kasus mutilasi istri oleh suaminya di Ciamis; kasus kematian Dini Sera Afrianti yang dianiaya hingga tewas oleh Ronald Tannur, dan lain-lain.
Namun sampai saat ini, Indonesia tidak memiliki data resmi yang menggambarkan situasi sebenarnya kasus-kasus femisida.
Sejauh ini, kasus-kasus femisida yang bisa ditelusuri adalah kasus yang diberitakan oleh media.
Lewat cara itu, riset Jakarta Feminist menemukan terdapat 180 kasus femisida dengan 187 korban sepanjang tahun 2023. Sebanyak 37% di antaranya dilatari oleh motif "cemburu".
Sementara itu, Komnas Perempuan mencatat ada 798 kasus yang terindikasi sebagai femisida pada tahun 2020 hingga 2023.
"Kasus yang sebenarnya bisa jadi lebih besar, karena kalau kami lihat sebaran kasusnya setiap tahun masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatra. Di wilayah-wilayah yang tidak terekspos, kita tidak tahu seperti apa," kata Naila.
"Ketiadaan data ini membuat mekanisme untuk menyelesaikan femisida jadi sulit, kita enggak bisa mengenali dulu femisidanya," ujarnya.
SHUTTERSTOCK Ilustrasi KDRT. Alur lapor KDRT ke Komnas Perempuan.Hertalina berada di rumahnya sendiri, dikelilingi oleh keluarganya, dengan suasana yang penuh sukacita ketika peristiwa nahas itu terjadi. Siapa pun akan merasa aman tak terancam dalam situasi seperti itu.
Namun menurut hasil riset Jakarta Feminist, kasus-kasus femisida justru juga terjadi di tempat yang semestinya menjadi ruang aman bagi perempuan.
“Ada pola yang mengkhawatirkan di mana femisida itu terjadi di ruang yang seharusnya aman buat perempuan, di rumah, dilakukan oleh pasangan sendiri,” kata Naila.
Temuan serupa juga pernah diungkap oleh Komnas Perempuan, di mana mayoritas pelaku femisida adalah pasangan atau mantan pasangan.
Kasus semacam ini sering kali berawal dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang eskalasinya meningkat.
"Itu seharusnya bisa dicegah, ada perangkat hukum soal KDRT, tapi perangkat hukumnya gagal mendeteksi bahaya dari KDRT yang dibiarkan sehingga eskalasinya bisa sampai pada femisida," jelas Naila.
Berkaca pada situasi ini, Naila mengatakan penting bagi negara untuk mengakui dan mengenali femisida sebagai pembunuhan yang punya motif dan nuansa berbeda dengan kasus pembunuhan lainnya.
"Penting agar femisida itu diakui secara sosial dan hukum. Di kemudian hari, perlu ada pasal khusus dalam KUHP bahwa pembunuhan terhadap perempuan yang memenuhi definisi femisida, ada pemberatan hukuman," tuturnya.
Nanda Batubara, wartawan di Medan, Sumatra Utara berkontribusi dalam laporan ini.