Kebijakan Ekonomi Trump dan Arah Bunga The Fed Diprediksi Bawa Dolar AS Melemah Pada 2025
Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku pasar di Wall Street disebut mulai bergerak menjauhi dolar AS seiring kebijakan America First yang diusung Presiden terpilih Donald Trump dan pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve, yang berpotensi menekan greenback pada akhir 2025.
Dolar AS telah melonjak signifikan tahun ini, menuju reli terbesar sejak 2015, didorong oleh kemenangan Trump dalam pemilihan presiden AS serta data ekonomi yang kuat. Kondisi ini sekaligus menurunkan ekspektasi investor pasar modal akan kembalinya suku bunga Fed ke level yang lebih rendah.
"Kekuatan dolar AS telah mengganggu. Kami mendorong harga aset naik ke sesuatu yang tidak berkelanjutan dalam jangka panjang," kata Kit Juckes, Kepala Strategi Mata Uang di Societe Generale, dikutip dari Bloomberg, Senin (16/12/2024).
Indeks Bloomberg Dollar Spot telah naik sekitar 6,3% sepanjang tahun ini, dengan sebagian besar kenaikan terjadi menjelang dan sejak pemilihan pada awal November. Reli ini dipicu ekspektasi bahwa tarif dan pemotongan pajak Trump akan memicu inflasi, sehingga menyulitkan misi Fed untuk menurunkan suku bunga dalam beberapa bulan ke depan. Hal ini mendorong investor global mengalihkan dana mereka ke AS.
Ahli ekonomi makro dan mata uang dari Morgan Stanley, termasuk Matthew Hornbach dan James Lord, memprediksi dolar akan turun di bawah level saat ini pada tahun depan. Kombinasi penurunan suku bunga riil AS dan peningkatan selera risiko global menciptakan skenario bearish bagi greenback.
Untuk saat ini, Trump meningkatkan retorika perdagangan agresifnya, yang baru-baru ini menyebabkan peso Meksiko dan dolar Kanada tertekan. Trump berjanji memberlakukan tarif 25% pada barang-barang Meksiko dan Kanada terkait masalah migran dan narkoba. Sebelumnya, Trump juga mengecam sekelompok negara berkembang yang menantang status dolar sebagai mata uang utama dunia.
Penguatan dolar AS telah melemahkan mata uang non-dolar. Euro jatuh ke level terendah dalam dua tahun pada November pasca pemilu AS, mendekati paritas. Sementara itu, Indeks Mata Uang Pasar Berkembang MSCI Inc. kini diperdagangkan di level terendah dalam empat bulan. Beberapa laporan juga menyebutkan bahwa China mungkin akan mendevaluasi yuan ke level 7,50 pada tahun depan — level yang terakhir terlihat pada 2007.
Laporan Citigroup, yang dipimpin oleh Daniel Tobon, mencatat resolusi potensial dari perang dagang di bawah pemerintahan Trump kedua justru akan mengecewakan pemodal dolar. Banyak di antara pemodal tersebut menumpuk posisi beli dengan asumsi kebijakan perdagangan Trump akan mendukung dolar AS.
Data Komisi Perdagangan Berjangka Komoditas menunjukkan pedagang spekulatif nonkomersial masih memegang dolar senilai US$24 miliar, mendekati level tertinggi sejak Mei. Posisi ini telah meningkat sejak pertengahan Oktober menjelang pemilu.
Ancaman
Secara historis, dolar AS mencatat penurunan tahunan terbesar pada 2017 setelah mengalami lonjakan pasca terpilihnya Trump pada 2016. Penurunan tersebut terjadi seiring ekonomi AS kehilangan momentum sementara Eropa mencatat pertumbuhan.
Tim analis MUFG, yang dipimpin Derek Halpenny, menyebut penurunan dolar AS kali ini tidak akan sedramatis 2017, tetapi kemungkinan akan mencapai puncaknya pada paruh pertama 2025.
Pasar opsi, meskipun masih memproyeksikan kenaikan dolar pada 2025, telah memangkas ekspektasi bullish mereka dibandingkan dengan euforia November pasca kemenangan Trump. Pembalikan risiko satu tahun pada indeks dolar Bloomberg diperdagangkan mendukung opsi beli sekitar 1%, turun dari level tertinggi empat bulan. Hal ini mengindikasikan optimisme terhadap penguatan dolar mulai meredup.
Sophia Drossos, ahli strategi di Point72 Asset Management, mengatakan, "Begitu banyak berita positif yang sudah tercermin dalam dolar. Pertumbuhan di luar AS, terutama di Eropa, akan melemahkan dolar terhadap mata uang lainnya."
Menurut para ahli strategi suku bunga Morgan Stanley, imbal hasil AS diperkirakan akan turun lebih cepat dibanding negara lain pada tahun depan, yang akan mengurangi perbedaan imbal hasil yang selama ini menguntungkan dolar AS.
Beberapa analis memperingatkan risiko penguatan dolar lebih lanjut jika kebijakan tarif Trump benar-benar diberlakukan. Tarif ini secara teori akan menaikkan harga barang impor yang digunakan oleh produsen AS.
"Jika tarif membuat baja dan aluminium lebih mahal, itu akan menjadi guncangan pasokan negatif bagi industri otomotif domestik yang bergantung pada bahan baku impor," ujar Barry Eichengreen, ekonom di University of California, Berkeley.
Ancaman lainnya termasuk defisit anggaran yang melebar dan peningkatan premi obligasi AS, yang mencerminkan risiko memegang utang pemerintah jangka panjang.
"Ketika Fed benar-benar melonggarkan kebijakan secara signifikan dan dolar kehilangan keunggulannya dari sisi imbal hasil dan pertumbuhan, pelemahan dolar bisa menjadi sangat besar," tulis analis JPMorgan yang dipimpin Meera Chandan, Kepala Strategi Valas Global, dalam prospek tahun 2025 mereka.