Kebijakan Publik: Antara Inovasi dan Kriminalisasi
"Good governance is perhaps the single most important factor in eradicating poverty and promoting development”- Kofi Annan (1997)
KUTIPAN Kofi Annan di atas menegaskan bahwa tata kelola yang baik adalah kunci utama dalam upaya mengentaskan kemiskinan dan mendorong pembangunan.
Namun, tata kelola yang baik tidak mungkin tercapai jika praktik korupsi masih merajalela. Korupsi bukan hanya menghambat pembangunan, tetapi juga menciptakan jurang ketimpangan sosial yang semakin dalam.
Di sisi lain, upaya memberantas korupsi sering kali menghadirkan dilema bagi pejabat publik. Ketakutan akan dikriminalisasi atas pengambilan keputusan mereka menjadi salah satu hambatan dalam menciptakan kebijakan yang inovatif dan berani.
Pejabat publik cenderung mengambil langkah aman atau bahkan menunda pengambilan keputusan penting karena khawatir kebijakan yang mereka buat kelak disalahartikan sebagai tindakan melawan hukum.
Ketakutan ini tidak hanya mengurangi efektivitas tata kelola negara, tetapi juga menurunkan kualitas pelayanan publik.
Dalam konteks ini, penanganan korupsi memerlukan pendekatan yang tidak hanya berbasis hukum, tetapi juga mempertimbangkan aspek filosofis dalam memisahkan kesalahan administratif dari tindak pidana.
Pendekatan hukum yang diterapkan untuk menangani persoalan ini sering menyisakan ruang refleksi filosofis apakah semua kerugian negara akibat kebijakan harus langsung dikriminalisasi?
Bagaimana dengan kebijakan yang dibuat dengan itikad baik tetapi tetap membawa dampak negatif?
Untuk memahami dilema ini lebih jauh, penting untuk melihat hubungan antara kebijakan publik dan pengambilan keputusan yang mendasarinya.
Kebijakan dan pengambilan keputusan adalah dua hal yang saling berkaitan erat. Kebijakan publik adalah aturan yang dirancang untuk mengatur kehidupan masyarakat, berupa kerangka hukum, peraturan, dan tindakan pemerintah.
Kebijakan publik bersifat umum dan mencakup berbagai isu seperti ekonomi, kesejahteraan sosial, pendidikan, perawatan kesehatan, dan kebijakan lingkungan.
Di sisi lain, keputusan adalah pilihan yang diambil dari beberapa alternatif yang dirumuskan. Keputusan biasanya bersifat spesifik untuk suatu situasi tertentu, meskipun dapat terkait dengan keputusan lain dalam konteks berbeda.
Dalam hal ini, kebijakan publik merupakan hasil dari proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pihak berwenang dalam negara.
Kebijakan publik memengaruhi masyarakat, ekonomi, dan politik, serta membentuk keputusan pejabat dan lembaga pemerintah.
Menurut Sabri (2013), kebijakan lebih menekankan pada teori, sedangkan pengambilan keputusan berkaitan dengan praktik.
Sebuah keputusan yang tidak dilandasi teori dalam tindakan pengambilannya dapat mengurangi nilai keilmiahan dari keputusan tersebut.
Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang hubungan antara teori kebijakan dan praktik pengambilan keputusan sangat penting untuk menciptakan kebijakan yang efektif dan adil.
Ketika keputusan dan/tindakan pemerintah menyebabkan kerugian keuangan negara, langkah pertama yang ideal adalah menguji kebijakan tersebut di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Proses ini penting untuk menilai apakah kebijakan tersebut lahir dari pelaksanaan kewenangan yang sah dan sesuai hukum.
Dengan mekanisme ini, pejabat publik diberikan ruang untuk menjelaskan dasar pengambilan keputusan mereka tanpa langsung dibayangi ancaman kriminalisasi.
Paradigma ini mengedepankan keputusan dan/tindakan pemerintah sebagai bagian dari diskursus administrasi publik, bukan semata-mata tindakan kriminal.
Dengan memprioritaskan PTUN, negara dapat memperjelas batas antara kesalahan administratif dan tindak pidana, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi pejabat yang menjalankan tugasnya.
Setelah pengujian di PTUN selesai, barulah langkah berikutnya ditentukan, baik melalui mekanisme hukum perdata atau jika diperlukan hukum pidana.
Ketika kerugian negara terjadi akibat kebijakan yang tidak melibatkan pelanggaran hukum publik seperti pencurian atau penipuan, negara sebaiknya mengajukan tuntutan perdata terhadap pejabat terkait.
Tuntutan perdata memungkinkan pemulihan kerugian tanpa memidanakan kebijakan. Langkah ini juga memberikan peluang bagi pejabat untuk bertanggung jawab secara proporsional sesuai kapasitas mereka sebagai pengambil kebijakan.
Dalam konteks ini, hukum pidana seharusnya menjadi jalan terakhir (ultimum remedium).
Namun, sebelum kebijakan memasuki ranah pidana, diperlukan pengujian di PTUN yang menyatakan bahwa kebijakan tersebut melanggar prinsip-prinsip dasar administrasi negara.
Pendekatan ini mencegah kriminalisasi berlebihan terhadap kebijakan publik yang, meskipun berdampak negatif, dibuat tanpa niat buruk.
Untuk menerapkan mekanisme ini secara efektif, dibutuhkan kerangka hukum yang mendukung, termasuk harmonisasi antara hukum acara pidana dan tata usaha negara.
Proses pengujian di PTUN perlu dikecualikan dari ketentuan hukum acara pidana yang berlaku. Harmonisasi ini dapat dilakukan melalui revisi peraturan perundang-undangan atau melalui pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi.
Langkah ini tidak hanya memberikan perlindungan hukum bagi pejabat publik, tetapi juga menciptakan mekanisme hukum yang lebih adil dan terintegrasi.
Selain itu, pendekatan ini tidak hanya relevan bagi keputusan dan/tindakan pemerintah, tetapi juga bagi entitas seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang sering menghadapi tuduhan korupsi terkait kerugian negara.
Sebagai entitas yang berada di antara negara dan pasar, BUMN sering menghadapi tuduhan korupsi yang kompleks. Dengan pengujian kewenangan yang lebih luas, BUMN dapat beroperasi dengan lebih transparan dan akuntabel.
Pendekatan filosofis dalam menangani korupsi ini menekankan pentingnya proporsionalitas dalam penegakan hukum.
Hukum pidana, sebagai alat koersif negara, harus digunakan dengan bijaksana dan hanya sebagai upaya terakhir.
Sebaliknya, instrumen hukum perdata dan administrasi perlu diberdayakan sebagai alat utama untuk menyelesaikan persoalan kebijakan yang berdampak pada kerugian negara.
Dengan memprioritaskan pengujian kebijakan di PTUN, mendahulukan tuntutan perdata sebelum langkah pidana, serta mendorong harmonisasi hukum acara, kita tidak hanya melindungi keuangan negara, tetapi juga menciptakan iklim pemerintahan yang lebih sehat.
Filosofi ini menegaskan bahwa tujuan utama penegakan hukum adalah keadilan, bukan sekadar penghukuman. Korupsi memang musuh bersama, tetapi cara menanganinya harus mencerminkan kebijaksanaan sejati dari negara hukum.