Kejagung Kaji Perintah Hakim yang Minta Aset Crazy Rich PIK Helena Lim Dikembalikan
JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan pihaknya masih mengkaji perintah hakim yang meminta agar aset tak terkait pidana crazy rich PIK Helena Lim dikembalikan.
Helena Lim merupakan pemilik perusahaan money changer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) yang terlibat dalam mengelola uang hasil korupsi pada tata niaga komoditas timah terdakwa Harvey Moeis dan kawan-kawan.
"Itu yang sedang dikaji oleh penuntut umum," ujar Harli di kantor Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (31/12/2024).
Harli menjelaskan, Kejagung masih punya waktu selama 7 hari untuk membuat keputusan.
Dia mengatakan, selama 7 hari itu, para jaksa bekerja dalam mendalami perintah tersebut.
"Itulah fungsinya KUHAP, memberi waktu kepada para pihak untuk pikir-pikir. Sesungguhnya pikir-pikir itu bukan karena kebimbangan, bukan. Tapi kita menganalisa, menganalisis," katanya.
"Karena yang ada di jaksa itu kan catatan persidangan. Lalu dilihat, dicatat apa pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan oleh pengadilan? Apakah pertimbangan-pertimbangan itu sangat berkorelasi dengan apa yang kita dakwa dan kita tuntut?" sambung Harli.
Harli mengatakan, jaksa memerlukan waktu untuk meneliti, kenapa pengadilan meminta aset Helena Lim dikembalikan.
Sebab, kata dia, jaksa memiliki dokumen yang membuat aset Helena Lim harus disita.
"Dalam waktu kurun 7 hari, jaksa itu berpikir-pikir menggunakan hak itu. Tetapi juga kita sekaligus menganalisis. Nanti bagaimana sikap lanjutannya kita lihat," imbuh Harli.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat memerintahkan jaksa penuntut umum mengembalikan seluruh aset yang disita dari crazy rich PIK, Helena Lim.
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rianto Adam Pontoh mengatakan, pihaknya mempertimbangkan pembelaan Helena dan kuasa hukumnya bahwa aset yang disita itu diperoleh sebelum atau di luar waktu terjadinya tindak pidana korupsi.
"Aset yang tidak terkait dugaan tindak pidana haruslah dikembalikan kepada terdakwa Helena,” kata Hakim Pontoh di ruang sidang, Senin (30/12/2024).
Majelis hakim menyimpulkan, upaya paksa penyidik Kejaksaan Agung menyita aset-aset Helena tidak memenuhi satu pun syarat penyitaan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Selain itu, majelis hakim mempertimbangkan argumentasi Helena dan tim kuasa hukumnya yang menyatakan bahwa sejumlah aset itu sudah diikutsertakan dalam program pengampunan pajak atau tax amnesty pada 2016 dan ada program pengungkapan sukarela (PPS) 2022.
Sementara, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 37 tahun 2016 menyatakan harta yang diungkap melalui program tax amnesty dan PPS berkekuatan hukum mengikat.
Oleh karena itu, harta yang sudah termasuk dalam program tax amnesty dan PPS sudah bisa dibuktikan validitas dan eksistensinya.
Helena dinilai terbukti membantu Harvey Moeis dan kawan-kawan melakukan tindak pidana korupsi.
Jaksa awalnya menuntut Helena dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan.
Jaksa juga menuntut Helena dihukum membayar uang pengganti Rp 210 miliar subsidair 4 tahun kurungan.