Kejagung Usulkan Pemecatan Jaksa di Tapanuli Selatan yang Dipenjara karena Kasus ITE

Kejagung Usulkan Pemecatan Jaksa di Tapanuli Selatan yang Dipenjara karena Kasus ITE

JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Agung (Kejagung) RI mengaku sudah mengusulkan pemecatan terhadap jaksa bernama Jovi Andrea Bachtiar di Tapanuli Selatan, yang terjerat kasus Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung RI Harli Siregar mengatakan, Jovi saat ini sudah berstatus terdakwa dan telah diberhentikan sementara dari jabatannya.

“Karena dia sudah menjadi status tersangka, menurut peraturan yang berlaku bahwa ya dia diberhentikan sementara. Dan saat ini sedang diusulkan untuk pemberhentian dengan hormat tanpa permintaan sendiri,” ujar Harli kepada wartawan di Gedung Kejagung RI, Jumat (15/11/2024).

Harli menekankan bahwa pemberhentian dengan hormat tanpa permintaan sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Keputusan untuk mengusulkan pemecatan tersebut diambil karena Jovi juga tercatat melakukan pelanggaran disiplin pegawai.

“Itu sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Kenapa? karena dia juga sudah pernah tidak masuk 29 kali secara akumulasi. Karena dari ketidakhadiran yang dari 29 hari itu, berdasarkan Pasal 15, Pasal 4, di PP itu, ya dia diberhentikan,” ungkap Harli.

Dalam kesempatan ini, Harli pun menegaskan tidak ada upaya kriminalisasi dalam proses hukum yang menjerat Jovi.

Menurut Harli, Jovi ditetapkan tersangka karena melakukan pelanggaran UU ITE atas postingannya yang mencemarkan nama rekannya, yakni Nella Marsella. Postingan Jovi juga mengarah kepada perbuatan asusila.

“Berkali-kali saya sampaikan yang bersangkutan ini melakukan tindak pidana di bidang ITE, yaitu kesusilaan dari beberapa postingan itu yang diarahkan kepada seseorang bernama Nella Marsella itu,” ungkap Harli.

“Yang bersangkutan itu tentu sebagai perempuan enggak terima ada kata kata yang tidak senonoh. Saya kira di media itu sangat jelas ya yang tidak pantas itu, dan itu menyerang kehormatan,” sambungnya.

Harli pun menjelaskan tudingan Jovi soal dugaan penyalahgunaan fasilitas negara yang dilakukan oleh Nella.

Salah satunya adalah penggunaan mobil dinas Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Tapanuli Selatan.

Dia berpandangan bahwa Nella menggunakan mobil tersebut dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara negara.

Sebab, Nella berstatus pengawal tahanan yang juga merangkap pejabat di sekretariat kejaksaan.

“Jadi oleh Kajarinya, karena faktor SDM dan seterusnya, dia juga ditempatkan di sekretariat. Karena dia perempuan, dan Kajarinya juga perempuan,” kata Harli.

“Nah, oleh karenanya, Kajari ini karena kebutuhan-kebutuhan kedinasan ya dia bilang dia supaya ke koordinator tahanan atau seperti apa, ya dia membawa mobil. Apa yang salah dalam konteks ini? Kita jernih aja berpikir,” sambung Harli.

Harli pun menyayangkan tindakan Jovi yang justru menyerang Nella secara pribadi melalui unggahannya di media sosial, sampai akhirnya berujung pada tindak pidana ITE.

“Kenapa justru Jovi ini menyerang pribadinya perempuan ini dengan postingan-postingan yang tak senonoh. Seolah-olah karena faktor mobil dinas. Itu yang harus diluruskan, masyarakat harus memahami itu. Jangan kita pelihara manusia seperti ini. Ini merusak moral bangsa,” pungkas Harli.

Gugat UU ITE ke MK

Diberitakan sebelumnya, Jovi Andrea mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 310 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 45 ayat (7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang ITE.

Gugatan itu dilayangkan lantaran Jovi saat ini dalam proses hukum karena kritiknya di media sosial terhadap penyelenggara negara yang menggunakan fasilitas negara secara sembarangan.

Jovi kini ditahan di wilayah hukum Kepolisian Resor Tapanuli Selatan.

Dalam pandangan pemohon, ketidaksediaan seorang ASN yang dikirim tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya ketidakjelasan dalam memaknai frasa “dilakukan demi kepentingan umum” dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP dan frasa “untuk kepentingan umum” dalam Pasal 45 ayat (7) UU ITE.

Buce Abraham Beruat, Welly Anggara, dan Adi Guna Prawira Lubis selaku tim kuasa hukum pemohon, membacakan pokok-pokok permohonan secara bergantian dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (3/9/2024).

Pada hakikatnya, pemohon menilai pasal dalam UU ITE itu membuka kemungkinan untuk mengkriminalisasi, seperti yang dialami Pemohon hanya karena mengkritik sesama penyelenggara negara.

Oleh karenanya, Pemohon menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945.

Pemohon kemudian memohon kepada Mahkamah agar menyatakan frasa “dilakukan demi kepentingan umum” dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk juga “kritik terhadap kebijakan pemerintah, kritik terhadap penyelenggara negara agar tidak menyalahgunakan kewenangan atau berbuat sewenang-wenang terhadap masyarakat, dan kritik agar penyelenggara negara tidak menggunakan fasilitas negara secara sembarangan apalagi tanpa hak.”

"Sehingga rumusan Pasal 310 ayat (3) KUHP berubah menjadi, “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan untuk membela diri atau demi kepentingan umum seperti kritik terhadap kebijakan pemerintah, kritik terhadap penyelenggara negara agar tidak menyalahgunakan kewenangan atau berbuat sewenang-wenang terhadap masyarakat, dan kritik agar penyelenggara negara tidak menggunakan fasilitas negara secara sembarangan apalagi tanpa hak,” ucap kuasa hukum Jovi, Adi yang disampaikan secara daring.

Sumber