Kementerian Kebudayaan: Perlindungan Kebebasan Berekspresi dan Masyarakat Adat

Kementerian Kebudayaan: Perlindungan Kebebasan Berekspresi dan Masyarakat Adat

PEMBENTUKAN Kementerian Kebudayaan menjadi langkah baru dalam struktur kabinet Merah Putih. Namun, di balik klaim pemajuan kebudayaan, kritik keras patut dilontarkan.

Apakah kementerian ini benar-benar untuk melestarikan kebudayaan, atau justru merupakan alat politik yang mengabadikan kolonialisme internal?

Kritik terhadap pembentukan kementerian ini berakar pada dua isu utama pembatasan kebebasan berekspresi di sektor kebudayaan dan marginalisasi masyarakat adat akibat kebijakan pembangunan yang eksploitatif.

Jika kedua isu ini diabaikan, maka keberadaan Kementerian Kebudayaan hanya akan menjadi simbolisme belaka.

Baru-baru ini, pembredelan pameran lukisan di Museum Nasional Jakarta menjadi sorotan publik. Pameran yang seharusnya menjadi ruang refleksi kritis terhadap realitas sosial justru dihentikan.

Kasus ini menyoroti paradoks besar dalam pembentukan Kementerian Kebudayaan di satu sisi, pemerintah mengklaim ingin memajukan kebudayaan, tetapi di sisi lain membatasi ruang berekspresi bagi seniman.

Kebebasan berekspresi adalah fondasi utama kebudayaan. Tanpa itu, kebudayaan akan stagnan dan kehilangan daya kritisnya.

Namun, langkah-langkah represif seperti pembredelan seni menunjukkan adanya keinginan untuk mengontrol narasi kebudayaan demi kepentingan politik tertentu.

Seni yang kritis kerap dianggap sebagai ancaman, padahal ia adalah bagian integral dari dinamika kebudayaan yang sehat.

Dalam konteks ini, Kementerian Kebudayaan tidak hanya gagal melindungi kebebasan berekspresi, tetapi juga memperlihatkan kecenderungan otoriter dalam mengelola kebudayaan.

Ini adalah ironi besar bagi kementerian yang semestinya memfasilitasi keberagaman dan kreativitas budaya.

Masyarakat adat adalah penjaga kebudayaan Indonesia yang sesungguhnya. Tradisi, kearifan lokal, dan hubungan erat mereka dengan alam adalah bagian tak terpisahkan dari kebudayaan nasional.

Namun, masyarakat adat justru menjadi kelompok yang paling dirugikan oleh kebijakan pembangunan pemerintah.

Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti pembangunan infrastruktur, konsesi kehutanan, dan pertambangan sering kali dilakukan di atas tanah adat tanpa konsultasi atau persetujuan masyarakat setempat.

Tanah leluhur yang menjadi ruang hidup dan sumber identitas budaya mereka dirampas atas nama pembangunan.

Menurut data AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), hingga saat ini, lebih dari 10 juta hektare wilayah adat telah diserahkan kepada korporasi melalui konsesi kehutanan dan tambang.

Hal ini tidak hanya menghancurkan ekosistem, tetapi juga menghilangkan warisan budaya yang telah dijaga selama berabad-abad.

Jika masyarakat adat tercerabut dari tanah leluhurnya, bagaimana kita bisa berbicara tentang pelestarian kebudayaan?

Kritik terhadap pembentukan Kementerian Kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari relasi antara pemerintah dan oligarki.

Dalam banyak kasus, kebijakan pembangunan justru menguntungkan segelintir elite ekonomi dan politik yang memiliki kepentingan besar dalam eksploitasi sumber daya alam.

Kolonialisme internal, yaitu bentuk penjajahan oleh negara terhadap rakyatnya sendiri, tampak jelas dalam hubungan ini. Negara menjadi fasilitator bagi korporasi besar untuk menguasai tanah dan sumber daya masyarakat adat.

Dalam konteks ini, pembentukan Kementerian Kebudayaan dapat dilihat sebagai alat untuk menutupi realitas kolonialisme internal di balik narasi pemajuan kebudayaan.

Sebagai contoh, narasi "Indonesia sebagai Ibu Kota Kebudayaan Dunia" yang digaungkan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon terlihat tidak relevan jika dikontraskan dengan fakta bahwa masyarakat adat yang menjadi sumber kebudayaan justru dimarjinalkan.

Kebijakan yang berpihak kepada oligarki ini mengancam integritas kebudayaan kita, mengubahnya menjadi komoditas yang bisa dijual kepada pasar global.

Visi dan misi Kementerian Kebudayaan tampaknya tidak cukup komprehensif dalam menangani persoalan mendasar kebudayaan di Indonesia.

Fokus pada kegiatan seremonial, regulasi kebudayaan, atau pameran seni tidak akan berarti banyak jika isu-isu fundamental seperti perlindungan hak-hak masyarakat adat, kebebasan berekspresi, dan keberlanjutan lingkungan diabaikan.

Regulasi seperti omnibus law di bidang kebudayaan, yang diklaim akan memperkuat sektor ini, justru berpotensi menjadi alat kontrol baru.

Jika tidak hati-hati, regulasi ini dapat mempersempit ruang berekspresi dan mempermudah eksploitasi budaya oleh kepentingan bisnis.

Untuk memajukan kebudayaan, pemerintah harus memprioritaskan perlindungan hak masyarakat adat dengan mengakui serta melindungi hak atas tanah dan wilayah adat mereka.

Kebijakan pembangunan harus melibatkan masyarakat adat sebagai aktor utama, bukan sekadar objek pembangunan.

Selain itu, praktik kolonialisme internal seperti perampasan tanah atas nama proyek strategis nasional (PSN) harus dihentikan, dan evaluasi menyeluruh terhadap PSN perlu dilakukan untuk memastikan tidak ada pelanggaran hak asasi manusia.

Kebebasan berekspresi juga harus dijamin sebagai bagian integral dari pemajuan kebudayaan dengan mencabut kebijakan represif yang menghambat ruang seni dan budaya.

Pemerintah juga perlu mengakhiri kolusi dengan oligarki melalui peningkatan transparansi dalam pengelolaan sumber daya alam dan memastikan kebijakan kebudayaan dirancang demi kepentingan masyarakat, bukan segelintir elite.

Selain itu, kebudayaan harus dikembangkan dari akar rumput, dengan memfasilitasi pengembangan tradisi dan kearifan lokal yang mencerminkan identitas masyarakat.

Kebudayaan seharusnya tidak hanya dipandang sebagai komoditas wisata, tetapi sebagai sarana memperkuat keadilan sosial dan identitas bangsa.

Pembentukan Kementerian Kebudayaan hanya akan menjadi simbol kosong jika tidak didasarkan pada keberpihakan kepada masyarakat adat, perlindungan kebebasan berekspresi, dan pengakhiran kolusi dengan oligarki.

Jika kementerian ini hanya menjadi alat politik untuk melanggengkan kolonialisme internal, maka keberadaannya tidak hanya tidak relevan, tetapi juga berbahaya.

Pemajuan kebudayaan harus berlandaskan pada keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan penghormatan terhadap keberagaman.

Tanpa itu, Kementerian Kebudayaan hanya akan menjadi instrumen baru dalam narasi lama narasi penindasan atas nama pembangunan.

Sumber