Kenaikan PPN 12 Persen Bikin Masyarakat Kelas Menengah Makin Terhimpit
JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet, menilai kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen mulai 1 Januari 2025 akan membuat kehidupan masyarakat kelas menengah makin terhimpit.
"Momentum kenaikan (PPN) yang kurang tepat dilakukan saat ini saya kira akan berpotensi menambah beban tekanan daya beli ke masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan tambahan bantuan (kelas menengah)," jelas Yusuf kepada Kompas.com, Rabu (18/12/2024).
Yusuf menjelaskan, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen mencakup beberapa kelompok barang dan jasa yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat dari berbagai tingkat golongan.
Dengan adanya tarif PPN baru, ini akan memberikan dampak terhadap perubahan harga, baik itu perubahan harga di sisi produsen maupun konsumen.
Jadi, ketika pelaku usaha atau industri harus menyesuaikan harga pokok produksinya karena barang yang mereka gunakan untuk produksi terkena dampak kenaikan tarif baru PPN, maka yang berpotensi menanggung kenaikan harga pokok produksi itu adalah konsumen.
"Ketika kenaikan harga yang terjadi itu meliputi berbagai kelompok barang lainnya, tentu ini akan memengaruhi komponen konsumsi yang akan dilakukan oleh masyarakat. Sudah tentu mereka akan melakukan penyesuaian konsumsi. Ketika kenaikan perubahan harga ini tidak diimbangi dengan perbaikan pendapatan, maka di situlah proses tertekannya dari masyarakat terjadi," jelas Yusuf.
Yusuf berujar, ketika pemerintah menjalankan tarif PPN baru 11 persen pada 2022 lalu, praktis tidak ada bantuan tambahan yang diberikan, terutama untuk kelompok kelas menengah.
Meski pemerintah menyediakan berbagai insentif berupa insentif pajak untuk pembelian properti, namun dari angka agregat untuk pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada 2022 tidak begitu baik.
Ketika pemerintah menjalankan kebijakan tarif PPN 11 persen, kata Yusuf, angka untuk pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada komponen PDB mengalami perlambatan jika dibandingkan kondisi sebelum terjadinya pandemi.
"Saya kira kondisi tersebut sedikit menggambarkan bagaimana dampak yang diberikan dari kenaikan tarif PPN mengingat sekitar setengah dari proporsi konsumsi rumah tangga itu diisi oleh kelompok atau kelas menengah," ujar Yusuf.
Pada konteks PPN 12 persen, Yusuf mengapresiasi berbagai insentif yang diberikan pemerintah.
Namun, menurutnya pemberian insentif itu juga masih menimbulkan tanda tanya, apakah insentif itu relatif cukup atau tidak.
"Misalnya insentif pemberian diskon listrik kepada kelompok kelas menengah yang hanya diberikan dengan durasi 2 bulan. Padahal kita tahu dampak dari PPN itu relatif lebih panjang," kata Yusuf.
"Dan kalau kita belajar dari pemberian insentif sejenis ketika masa pemulihan setelah covid durasi dua bulan itu relatif pendek, mengingat sebelumnya pemerintah menyediakan diskon listrik sepanjang enam sampai dengan sembilan bulan," lanjutnya.
Lebih lanjut, Yusuf mengungkapkan, proporsi dari kelas menengah di Indonesia saat ini tengah mengalami penurunan.
Menurutnya, hal ini terjadi karena pendapatan yang didapat masyarakat kelas menengah berkurang karena mereka belum mampu pulih secara baik, terutama ketika pandemi sudah selesai.
"Pulih secara baik diartikan mereka kemudian belum bisa masuk ke dalam sektor-sektor lapangan usaha atau kerja yang punya kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan bersifat formal, sehingga akhirnya mereka masuk ke dalam sektor kerja yang sifat informal atau sektor lapangan usaha yang punya produktivitas rendah sehingga hanya menawarkan peningkatan kesejahteraan yang relatif lebih kecil," jelas Yusuf.
"Ini kondisi yang kemudian tidak ideal bagi kelas menengah di saat mereka tengah berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan lalu pemerintah menjalankan kebijakan menaikkan tarif PPN 12 persen," tuturnya.
Untuk diketahui, pemerintah resmi menerapkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen mulai 1 Januari 2025 sesuai Undang-undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Hal ini diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam Konferensi Pers Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024).
"Sesuai dengan amanat UU HPP, ini sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, tarif PPN tahun depan akan naik sebesar 12 persen per 1 Januari," ujar Airlangga, dikutip dari siaran langsung akun YouTube Perekonomian RI, Senin.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pemerintah akan menerapkan kenaikan tarif PPN 12 persen khusus untuk barang dan jasa mewah.
Menurutnya, barang dan jasa mewah ini dikonsumsi oleh penduduk terkaya dengan pengeluaran menengah ke atas yang masuk dalam kategori desil 9-10.
"Kita akan menyisir untuk kelompok harga barang dan jasa yang masuk kategori barang dan jasa premium tersebut," terangnya dalam konferensi pers, Senin.
Barang dan jasa mewah yang akan dikenai PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025 antaranya sebagai berikut
Rumah Sakit kelas VIP atau pelayanan kesehatan premium lainnya
Pendidikan standar internasional berbayar mahal atau pelayanan pendidikan premium lainnya
Listrik pelanggan rumah tangga dengan daya 3600-6600 VA
Beras premium
Buah-buahan premium
Ikan premium seperti salmon dan tuna
Udang dan crustasea premium seperti king crab
Daging premium seperti wagyu atau kobe yang harganya jutaan.