Kenaikan PPN 12 Persen dan Dampak pada Kebiasaan Konsumsi Masyarakat
JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 menuai kontra dari masyarakat.
Kebijakan ini diprediksi akan memicu lonjakan harga barang dan jasa, yang berpotensi mengubah pola konsumsi masyarakat.
Sejumlah warga mulai mencari alternatif untuk bertahan hidup di tengah ancaman kenaikan harga, terutama pada makanan dan minuman.
Mereka khawatir bahwa PPN yang lebih tinggi akan memberikan efek domino yang merugikan.
Shabrina Zakaria (28), seorang pekerja di Bogor, mengatakan akan mengurangi kebiasaan jajan di kafe dan memilih untuk memasak makanan sendiri di rumah.
Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya lonjakan harga kebutuhan akibat kenaikan PPN.
"Kalau harga makanan naik, ya mau enggak mau harus mulai masak sendiri di rumah. Selama ini hampir tiap hari jajan karena lebih praktis, tapi kalau jadi mahal ya lebih baik masak, biar bisa lebih hemat," ungkapnya saat diwawancarai Kompas.com, Jumat (20/12/2024).
Shabrina juga berencana untuk membeli makanan dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang harganya lebih terjangkau, serta melakukan pembayaran tunai untuk menghindari PPN tambahan.
Selain menekan harga konsumsi, dia mengatakan, pengeluaran untuk kebutuhan hiburan juga akan dikurangi.
Senada dengan itu, Dilla (28), seorang ibu rumah tangga, mengungkapkan bahwa ia akan mengurangi alokasi dana untuk jajan anaknya.
"Mungkin setiap hari masak. Kalau pengeluaran yang bisa ditekan itu mungkin jajan anak-anak atau membeli makanan kemasan. Semua serba mahal, jadi harus lebih hemat,” katanya.
Rencana kenaikan PPN juga memaksa Retsa (29), seorang pegawai swasta di Jakarta, untuk mengubah kebiasaan minum kopinya.
Retsa mengaku biasa membeli kopi hingga empat kali seminggu.
Dengan adanya kebijakan kenaikan PPN, dia akan membiasakan membuat kopi sendiri di rumah.
"Kalau jajan kopi sekarang jadi mikir dua kali. Sebelum PPN naik saja harganya sudah mahal, bakal makin mahal. Jadi, saya mulai beli alat-alat buat bikin kopi di rumah dan cari biji kopi di pasar yang lebih murah," ujarnya.
Dwi (27), seorang warga Jakarta, merasa terbebani dengan rencana kenaikan harga makanan akibat PPN. Apalagi, belum ada kepastian pendapatan mereka meningkat.
Ia dan suaminya terpaksa mengatur kembali pengeluaran sehari-hari.
"Untuk saya yang baru nikah dan belum punya anak, mungkin sehari paling kecil beli makan dan minum itu Rp 100.000. Jadi kalau pajaknya naik di tengah pemasukan yang enggak naik, ya babak belur kita," keluhnya.
Dwi pun memilih untuk mengurangi alokasi dana untuk makanan ringan dan liburan demi menjaga kestabilan keuangan.
"Sama mungkin, saving untuk badget jalan-jalan, mau enggak mau juga dijadiin dana ‘jaga-jaga’ kalau uang makin kurang," tambahnya.
Sementara itu, Elvita (25), seorang perantau asal Padang, juga menghadapi tantangan serupa.
Lantaran tidak dapat memasak di kosnya, ia harus mengalokasikan dana lebih besar untuk membeli makanan.
Imbasnya, dia akan memangkas pos anggaran lain untuk persiapan menghadapi kemungkinan kenaikan harga makanan.
"Salah satunya memangkas kayak mungkin biasanya membeli skincare atau body care, ya lebih diminimalisir lagi. Lebih fokus buat ngalihin ke makanan," kata Elvita.
Elvita juga mengurangi pengeluaran transportasi dengan memilih menggunakan transportasi umum.
"Paling lebih sering naik transum (transportasi umum). Biasanya kan naik Gojek ke kantor, ya mau enggak mau harus naik Transjakarta, kereta, untuk bertahan hidup di Jakarta," tutupnya.
Dengan berbagai langkah yang diambil masyarakat, terlihat bahwa rencana kenaikan PPN 12 persen tidak hanya berdampak pada perekonomian, tetapi juga mempengaruhi gaya hidup dan kebiasaan konsumsi masyarakat sehari-hari.