Kenaikan PPN 12 Persen di Indonesia, Apa Dampaknya?
JAKARTA, KOMPAS.com - Pada tanggal 1 Januari 2025, pemerintah Indonesia resmi memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen, yang hanya akan dikenakan pada barang mewah atau obyek Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Keputusan ini tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui dinamika yang terjadi di masyarakat dan pemerintah.
Kenaikan PPN sebesar 12 persen pada awalnya menjadi sorotan karena dianggap memberatkan bagi kelas menengah yang sedang terpuruk akibat banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan rendahnya kenaikan upah buruh.
Banyak pihak menganggap bahwa kenaikan PPN ini dapat memperburuk kondisi ekonomi masyarakat karena menekan kelas pekerja.
Sejak 2021, kenaikan tarif PPN ini sudah direncanakan saat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
UU sapu jagat (omnibus law) itu mengubah beberapa ketentuan, di antaranya UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU PPN, UU Cukai, Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau pengampunan pajak, dan Pajak Karbon.
Presiden Joko Widodo mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 2021 ini ada 29 Oktober.
Sesuai kesepakatan, undang-undang ini yang mengatur kenaikan tarif PPN secara bertahap dari 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022, dan selanjutnya menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa kenaikan tarif ini bertujuan untuk menciptakan rezim pajak yang adil dan kuat.
"Pada keseluruhan, menciptakan sebuah rezim pajak yang adil tapi pada saat yang sama sebuah rezim pajak yang kuat," kata Sri Mulyani dalam CNBC Economic Outlook 2022, Selasa 23 Maret 2022.
Pemerintah berpandangan bahwa pajak yang kuat diperlukan untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, bukan untuk menyusahkan rakyat.
Meskipun demikian, banyak masyarakat merasa keberatan, terutama ketika kondisi ekonomi sedang sulit.
Dalam era pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto, pada 1 Desember 2024, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa PPN 12 persen otomatis berlaku mulai tahun 2025, sesuai aturan UU HPP itu.
Pada kesempatan terpisah, Airlangga juga bilang sampai saat ini kenaikan PPN masih sesuai dengan UU HPP. Akan tetapi, ada beberapa komoditas atau barang yang tidak dikenakan PPN.
"Itu bukan ketok palu (tidak perlu pengesahan lagi) karena (amanat) Undang-undang. Kalau sudah diundangkan otomatis jalan," ujar Airlangga saat ditemui di ICE BSD City, Tangerang, Minggu (1/12/2024).
Namun demikian, Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa penerapan kenaikan tarif PPN perlu dipertimbangkan kembali agar tidak mengganggu daya beli masyarakat.
Menurut Luhut, kenaikan tarif PPN perlu dibarengi dengan stimulus dari pemerintah agar daya beli masyarakat yang menjadi penopang paling utama pertumbuhan ekonomi, dapat tetap terjaga.
"Hampir pasti (kenaikan tarif PPN) diundur," ujar Luhut, ditemui di Jakarta, Rabu 27 November 2024.
Sejumlah pihak menyebut PPN 12 persen dikenakan hanya untuk barang mewah. Pernyataan serupa juga diutarakan oleh Presiden Prabowo pada 6 Desember 2024.
Kemudian, pada 16 Desember lalu, pemerintah resmi mengumumkan kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen berlaku mulai 1 Januari 2025.
Pemerintah saat itu menyebutkan, kenaikan PPN ini berlaku untuk seluruh barang dan jasa, kecuali barang kebutuhan pokok masyarakat yang dibebaskan dari PPN, serta barang pokok penting yang dikenakan tarif 11 persen alias kenaikan PPN 1 persen ditanggung oleh pemerintah (PPN DTP).
Selain itu, pemerintah mulai 1 Januari 2025 juga menerapkan tarif PPN 12 persen kepada barang dan jasa mewah yang dikonsumsi masyarakat mampu.
Sebelumnya kelompok barang dan jasa ini tidak dikenakan tarif PPN.
Sri Mulyani dalam keterangannya pun mencontohkan, bahan makan premium seperti daging sapi wagyu dan kobe yang harganya sekitar Rp 3,5-3 jutaan juga akan dikenakan PPN 12 persen.
Tarif PPN 12 persen pun akan dikenakan pada barang dan jasa yang dikategorikan premium, seperti jasa pendidikan internasional maupun layanan kesehatan premium.
Lalu, beras premium, buah-buahan premium, ikan mahal seperti salmon dan tuna premium, serta udang dan crustacea premium seperti king crab. Begitu pun tagihan listrik pelanggan rumah tangga 3.500-6.600 volt ampere (VA).
"Barang-barang yang memang dikategorikan sebagai mewah premium dan dikonsumsi, terutama untuk kelompok yang paling mampu, akan dikenakan PPN 12," ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024).
Rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen itu ditolak oleh masyarakat dan dikritisi banyak pihak sehingga pemerintah pun mencari jalan keluar dan kembali mempertimbangkan ulang.
Sejumlah elemen masyarakat menggelar aksi tolak kenaikan PPN 12 persen di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (19/12/2024).
Inisiator gerakan Bareng Warga, Rasyid Azhari menilai, kenaikan PPN 12 persen akan berdampak luas pada perekonomian masyarakat.
Menurutnya, alasan pemerintah mengatakan bahwa kenaikan PPN 12 persen hanya dikenakan untuk barang mewah merupakan sebuah cara untuk meredam isu ini.
"Harus dibatalkan karena dampaknya sangat luas. Harusnya didengarkan ya, itu doang harapannya," katanya.
Warganet di media sosial juga ramai-ramai menandatangani petisi penolakan kenaikan PPN menjadi 12 persen. Penandatanganan petisi penolakan kenaikan PPN 12 persen tersebut dibuka seiring digelarnya demonstrasi tolak kenaikan PPN tersebut.
Petisi dibuat oleh akun dengan nama "Bareng Warga" dengan judul "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!".
Petisi Penolakan Kenaikan PPN 12 persen itu telah diserahkan ke Kantor Kementrian Sekretaris Negara (Kemensesneg) oleh perwakilan aksi massa di Jakarta Pusat, saat aksi demontrasi berlangsung.
Di sisi lain, diskusi seolah berjalan alot. Menteri-menteri ekonomi beberapa kali enggan berbicara lebih detil mengenai rencana kenaikan PPN sebesar 12 persen di berbagai kesempatan.
Tak terkecuali, pasca rapat internal dengan Presiden Prabowo Subianto di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat.
Hal ini mengingat, keputusan pengenaan tarif baru itu belum final, meski sempat dinyatakan hanya untuk barang mewah.
Setelah berbagai kritik dan protes, pemerintah akhirnya memutuskan bahwa PPN 12 persen hanya akan dikenakan untuk barang dan jasa mewah.
Keputusan ini disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo usai rapat internal bersama Sri Mulyani Indrawati dan jajaran eselon Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di Gedung Djuanda I, Kemenkeu, Jakarta Pusat, Selasa (31/12/2024) malam.
Prabowo menjelaskan bahwa obyek PPN 12 persen termasuk barang-barang mewah seperti jet pribadi, yacht, dan rumah bernilai tinggi.
Ia menegaskan bahwa kenaikan PPN tidak akan berpengaruh pada barang kebutuhan pokok.
"Saya ulangi ya supaya jelas, kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya dikenakan untuk barang dan jasa mewah," jelas Prabowo.
Barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, dan sayuran akan tetap dikenakan tarif PPN 0 persen, dan sejumlah barang premium seperti daging wagyu dan salmon juga akan bebas dari PPN.
Dalam pengumumannya Prabowo mengungkapkan, ia merasa perlu menyampaikan keterangan pers untuk menghilangkan keraguan ketika pemerintah mengambil langkah menaikkan tarif PPN alih-alih membatalkannya ketika penolakan terjadi secara meluas.
"Sehingga saya setelah berkoordinasi dan diskusi dengan Menteri Keuangan dan jajaran beberapa kementerian lain, saya rasa perlu bahwa untuk menyampaikan sendiri masalah PPN 12 persen," kata Prabowo dalam konferensi pers, Selasa malam.
Berikut ini barang dan jasa yang dikenakan PPN 12 persen
Sementara itu, pemerintah tidak akan mengenakan tarif PPN 12 persen pada barang kebutuhan pokok yang selama ini berlaku tarif PPN 0 persen.
Barang-barang yang diberikan pembebasan PPN ini meliputi beras, daging, ikan, telur, sayur, susu segar, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, rumah sederhana, dan air minum.
Pemerintah pun tidak jadi mengenakan tarif PPN 12 persen pada sejumlah barang dan jasa premium seperti wagyu dan daging kobe, ikan mahal seperti salmon premium dan tuna premium, serta udang dan crustacea premium seperti king crab.
Justru, kedua bahan makanan premium tersebut dibebaskan dari PPN karena termasuk dalam bahan kebutuhan pokok masyarakat yang diberikan fasilitas PPN nol persen oleh pemerintah.
Barang dan jasa pokok lain yang bebas PPN juga termasuk ternak dan hasil ternak, hasil pemotongan hewan, ikan dan biota laut lainnya, jasa pendidikan pemerintah maupun swasta, hingga jasa dan layanan kesehatan medis pemerintah maupun swasta.
"Barang dan jasa yang selama ini mendapatkan pengecualian yaitu PPN-nya nol persen, maka tidak sama sekali membayar PPN," ucap Sri Mulyani.
Di sisi lain, ada barang-barang yang tetap dikenakan PPN 11 persen, seperti yang berlaku sejak April 2022 berdasarkan Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Sri Mulyani bilang, barang dan jasa yang dikenakan tarif PPN 11 persen alias tidak ada kenaikan PPN meliputi kebutuhan masyarakat luas seperti sampo dan sabun.
"Yang lainnya, yang selama ini sudah 11 persen, tidak ada kenaikan. Jadi, mulai shampoo, sabun, dan segala macam, yang sudah sering di media sosial, itu sebenarnya tetap tidak ada kenaikan PPnBM," ujar dia.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Deni Surjantoro menambahkan, layanan digital seperti Netflix dan Spotify tetap berlaku tarif PPN 11 persen.
Artinya, tidak ada kenaikan untuk kelompok barang maupun jasa tersebut.
"Ya, tetap sama (tarif PPN 11 persen). Intinya yang 12 persen hanya (barang dan jasa mewah). Kayak sabun, odol, segala macem ya tetap 11 persen gitu ya," tegas Deni ketika dikonfirmasi wartawan terkait tarif PPN untuk Netflix.
Menyikapi protes masyarakat, pemerintah memutuskan untuk tidak mengenakan tarif PPN 12 persen pada barang-barang kebutuhan dasar dan masih memberikan bantuan stimulan untuk mendukung daya beli masyarakat, termasuk bantuan beras dan diskon tarif listrik.
Pemerintah berkomitmen memberikan bantuan senilai Rp 38,6 triliun sebagai respons terhadap kebijakan ini, menunjukkan bahwa mereka menyadari dampak ekonomi yang mungkin ditimbulkan oleh kenaikan tarif PPN.
"Paket stimulus ini nilainya semua adalah Rp 38,6 triliun," jelas Prabowo.
Keputusan untuk menerapkan PPN 12 persen hanya untuk barang mewah ini diharapkan dapat meredakan ketegangan di masyarakat, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa memberatkan kelas menengah dan masyarakat luas.