Kenaikan PPN 12 Persen: Ketakutan Orangtua hingga Ancaman bagi Pendidikan Swasta

Kenaikan PPN 12 Persen: Ketakutan Orangtua hingga Ancaman bagi Pendidikan Swasta

JAKARTA, KOMPAS.com – Awal tahun 2025 akan membawa perubahan besar bagi banyak orangtua di Indonesia, tak terkecuali di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).

Pemerintah menetapkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Kebijakan ini berdampak pada berbagai sektor, termasuk pendidikan swasta mewah, yang selama ini menjadi pilihan banyak keluarga untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak.

Di Kota Bogor, seorang warga bernama Widya Wulandari (39) merasakan langsung tekanan kebijakan ini.

Sebagai ibu rumah tangga yang anaknya bersekolah di sekolah swasta, Widya mengungkapkan keresahannya karena kemungkinan peningkatan biaya pendidikan.

“Setiap orangtua pasti ingin memberikan yang terbaik untuk anak, meskipun mahal tetap diusahakan. Namun, biaya sekolah swasta yang sudah tinggi akan semakin naik dengan pajak 12 persen. Jujur, saya bingung dan khawatir, bagaimana jika kami nanti tidak mampu lagi membayar biaya sekolah anak?” kata Widya saat diwawancarai, Selasa (18/12/2024).

Bagi Widya, opsi memindahkan anaknya ke sekolah negeri juga bukan solusi yang mudah.

Dengan daya tampung sekolah negeri yang terbatas, ia khawatir lonjakan jumlah siswa akan berdampak pada kualitas pembelajaran.

“Jika dipindahkan, sekolah negeri di Bogor kuotanya terbatas, masuknya saja sudah sulit. Jika banyak orangtua memindahkan anak dari sekolah swasta ke sekolah negeri, jumlah siswa pasti akan membeludak. Saya khawatir anak-anak kami jadi sulit fokus belajar,” tambah Widya.

Cerita serupa datang dari Inggrid Gita (28), seorang ibu muda yang bekerja di sektor swasta di Bogor.

Inggrid mengaku terkejut mengetahui kenaikan PPN juga berdampak pada sekolah swasta.

“Saya baru tahu sekolah swasta juga terdampak kenaikan PPN 12 persen ini. Kalau dipikir-pikir, berat sekali rasanya,” ucap Inggrid.

Beban finansial yang sudah berat kini terasa semakin menekan. Meskipun ia dan suaminya sama-sama bekerja, kebijakan ini memaksa mereka memutar otak untuk memenuhi kebutuhan lain.

“Saya dan suami sama-sama bekerja, tapi bukan berarti uang selalu ada. Kami juga punya kebutuhan lain yang harus dipenuhi. Tetapi pasti ada yang dikorbankan ya, mikir dulu deh apa yang harus dikurangi,” ungkapnya.

Devi Ain (38), seorang ibu rumah tangga, juga tak luput dari kekhawatiran serupa. Kenaikan PPN dianggap dapat memaksa keluarganya mengevaluasi ulang pilihan pendidikan untuk anak-anaknya.

“Pengeluaran untuk pendidikan sudah diatur, paling diprioritaskanlah. Tapi kalau tiba-tiba biaya melonjak karena PPN naik, ya mau tidak mau harus pikir-pikir lagi,” ujar Devi.

Jika biaya pendidikan menjadi terlalu berat, Devi mempertimbangkan opsi memindahkan anaknya ke sekolah negeri atau mencari sekolah swasta yang lebih terjangkau.

“Kalau ujung-ujungnya sampai harus jual motor atau kendaraan buat bayar sekolah, lebih baik tidak usah dipaksakan. Mungkin pindah ke sekolah negeri bisa menjadi opsi, atau ke sekolah swasta yang lebih terjangkau,” kata Devi.

Dengan demikian, kenaikan PPN 12 persen tidak hanya berdampak pada biaya pendidikan, tetapi juga memunculkan kekhawatiran akan membeludaknya siswa di sekolah negeri, yang kapasitasnya terbatas.

Bagi para orangtua, kebijakan ini bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi ancaman nyata bagi stabilitas rencana pendidikan keluarga mereka.

Kini, banyak keluarga seperti Widya, Inggrid, dan Devi harus menghadapi kenyataan pahit bahwa memberikan pendidikan terbaik bagi anak menjadi tantangan yang semakin berat di tengah kenaikan beban ekonomi.

(Reporter Ruby Rachmadina, Jessi Carina, Irfan Maullana)

Sumber