Kepada Pemerintahan Baru, Harapan-harapan Itu Dititipkan...
JAKARTA, KOMPAS.com - Seorang perempuan lansia hanya bisa menatap kerumunan orang di depan gerbang Istana Wakil Presiden (Wapres) di Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (14/11/2024).
Tatapannya kosong atau mungkin tidak sanggup lagi melihat dengan terang kerumunan di depannya.
Setelah beberapa saat memandangi kerumunan, matanya kembali menatap kaki kanannya. Beberapa kali, dia urut pergelangan kakinya dari atas sampai ke dekat telapak kaki.
Begitu seterusnya hingga tangan kanannya lelah dan kembali mengistirahatkannya. Tatapannya kemudian kembali terlempar jauh ke arah kerumunan.
Beberapa menit kemudian, dia bangun, dengan tas kecil telah menggantung di pundak kirinya.
Usahanya untuk berdiri menarik perhatian banyak orang. Dua orang kemudian mendekati dirinya sembari membantu lansia itu. Tidak lupa dia memegangi tongkatnya di sebelah kanan dirinya.
Kepada penjaga Istana Wapres, dia merogoh tas-nya dan memperlihatkan KTP-nya.
"Saya dari Surabaya, bisa masuk sekarang to, Pak?" kata dia polos kepada laki-laki bertubuh kekar.
Sayang, ucapannya hanya berbalas senyum dan sebaran kalimat maaf. Dia tidak bisa masuk ke Istana Wapres hari itu.
Dia adalah Warsiyem (70) asal Surabaya. Pada pukul 05.00, Kamis kemarin dia berangkat ke Jakarta menaiki pesawat dengan uang yang dia pinjam lewat tetangganya sebesar Rp 4 juta.
Kedatangannya ke Jakarta cuma ingin memohon kepada pemerintah agar menghapus utang modal usaha yang tidak bisa lagi dia bayar.
Kaki kanannya tidak lagi kuat untuk menopang tubuhnya setelah pada suatu subuh dia terjatuh dan membuat kaki kanannya patah dan mesti dijahit.
Warsiyem semula bekerja sebagai pedagang di suatu sekolah di Surabaya. Akan tetapi, setelah tragedi subuh itu, dia tidak lagi bisa bekerja.
Sementara sisa utangnya masih menumpuk dan memenuhi pikirannya.
"Saya punya pinjaman di bank. Pak Prabowo kan kalau punya pinjaman di bank mau dilunasin," kata dia kepada Kompas.com saat ditemui di Istana Wapres, Kamis (14/11/2024).
Informasi itu dia dapatkan dari pemberitaan. Sementara sang anak tidak percaya dengan kebijakan itu, Warsiyem memilih menagih janji itu ke Presiden Prabowo.
Sebab tak ada pilihan lain bagi perempuan itu. Dia mesti mengambil tindakan.
"Ya bagaimana mau kerja, wong kaki saya habis jatuh operasi, kan enggak bisa jualan," kata dia.
Ketika mengetahui kedatangannya ke Istana Wapres untuk program "Lapor Mas Gibran" sia-sia, Warsiyem juga tak tahu mesti tidur di mana.
Kepada penjaga gedung terhormat itu, dia meminta belas kasihan untuk tidur di pos penjagaan agar besok pagi dia tidak mesti berjalan jauh untuk melapor.
Bagaimana jika tidak diizinkan?
Warsiyem bilang bakal tidur di depan gerbang Istana Wapres. Tapi tentu banyak masyarakat yang hadir tak tega melihatnya.
"Ya saya mau tidur di sini aja. Enggak punya uang. Nanti transport (pulang) e, naik pakai apa?" kata perempuan itu.
Dia akhirnya dibantu oleh masyarakat yang juga ingin melaporkan sesuatu kepada Gibran dengan diberikan tempat tinggal. Pagi ini, Warsiyem akan tiba di Istana Wapres tuk sampaikan permintaan tolongnya sebagai warga negara.
Warsiyem bukan satu-satunya masyarakat yang punya keresahan untuk disampaikan dalam program "Lapor Mas Gibran". Ada puluhan bahkan ratusan orang yang datang silih berganti.
Muslianah (53) misalnya. Kedatangannya subuh-subuh di Istana Wapres tak kunjung memastikan dirinya dapat melaporkan permasalahannya.
Perempuan yang bertempat tinggal di Cengkareng, Jakarta Barat itu mengeluh sebab dia telah berada di lokasi sejak pukul 04.00 WIB, namun tak kunjung masuk.
"Saya nomor 56, yang dari jam 04.00 WIB subuh itu nomor 55 udah masuk. Tapi saya belum masuk, dibilang karena sudah habis kuotanya," kata dia kepada Kompas.com saat ditemui di Jakarta Pusat, Kamis (14/11/2024).
Dia mengeluh sebab para penjaga Istana Wapres menyebut bahwa kuota hanyalah 60 orang pada hari ini. Sementara dia menyaksikan beberapa orang yang nomor antreannya setelah dirinya, berhasil masuk.
Ketika ditanya ihwal urusannya, Muslianah menyebut ingin ‘curhat’ urusan sertifikat tanah di rumahnya yang sejak 1970 dia tinggali.
"Saya inget wasiat orang tua saya biar punya sertifikat rumah. Saya janda. Saya takut ada mafia-mafia yang datang ke rumah saya," kata dia.
"Maksud saya lapor ke sini, biar saya bisa (punya sertifikat rumah) karena saya pernah ikut PTSL tapi sampai 5 tahun cuma dijanjiin doang," lanjut dia sambil menahan tangis.
Akan tetapi, hingga orang terakhir telah keluar dari gerbang Istana Wapres, dirinya tetap tidak kunjung dipanggil. Sementara dia masih teguh berdiri di depan gerbang tersebut.
"Besok saya harus dateng lagi," kata dia menyemangati dirinya sendiri.
Ada juga Asmiati (51), seorang mantan asisten rumah tangga (ART) yang datang ke Istana Wapres untuk ‘curhat’ atas pengalaman tidak mengenakan yang dia alami selama tujuh tahun berprofesi sebagai ART. Dua tahun di antaranya dia tidak digaji oleh sang majikan.
Asmiati datang dari Pasar Minggu, Jakarta Selatan subuh-subuh untuk mengantre laporan ke program "Lapor Mas Wapres".
"Jadi saya pingin minta sama Pak Prabowo bikin UU ART yang dipertegas, biar ada efek jera sama majikan yang sewenang-wenang sama orang kecil kayak saya," kata dia saat ditemui di Istana Wapres, Kamis (14/11/2024).
Asmiati mengaku pengalaman tidak mengenakan itu dia alami ketika tahun 1988 hingga 1995. Dua tahun terakhir, dia mengaku tidak digaji oleh majikannya.
Laporannya ke Istana Wapres tidak muluk-muluk. Setidaknya, mantan majikannya meminta maaf kepada dia atas perlakuan yang pernah dia alami.
"Saya ingin proses hukum buat mereka. Seenggak-enggaknya mereka minta maaf lewat media kayak begini kalau enggak kasih ganti kerugian sama saya," tambah dia.
Akan tetapi, kendati datang lebih awal, Asmiati juga tidak mendapatkan kesempatan untuk bisa ‘curhat’ kepada petugas di dalam.
Tapi Asmiati tidak patah arang. Jika dirinya tidak berhasil masuk, dia bakal datang besok lagi untuk melapor.
"Insyallah (datang lagi). Makanya saya minta ketemuan langsung sama Pak Prabowo untuk bilang sama Pak Prabowo bikin UU yang lebih jelas untuk para ART biar enggak sewenang-wenang majikan kepada orang kecil," tambah dia.
Akbar Hasan (44) bahkan datang Makassar untuk melaporkan ihwal nasib istrinya di kota tersebut. Akbar bekerja sebagai jurnalis di salah satu perusahaan media di Makassar. Tulisannya berkaitan erat dengan dipecatnya sang istri.
"Saya mau lapor terkait pemecatan istri saya yang dipecat oleh walikota Makassar. Istri saya sudah mengabdi 14 tahun. Dia dipecat karena saya sering menulis kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat sehingga istri saya yang jadi korban," kata dia mengawali kalimatnya.
Ketika pertama kali mendengar informasi "Lapor Mas Gibran", Akbar segera memesan tiket ke Jakarta. Bahkan, ini bukan kali pertama dia datang ke Istana Wapres.
Dia telah tiga kali datang ke istana itu demi ‘curhat’ kepada pemerintah pusat terkait permasalahannya. Dia punya tabungan kepercayaan terhadap Prabowo Subianto untuk membantunya menyelesaikan permasalahannya di Makassar.
"Bagi saya, dampak dari profesi saya, istri saya yang dikorbankan. Saya hanya minta keadilan," tutup dia.
Namun sayang, Akbar mesti memperpanjang penginapannya hari ini. Kuota telah habis dan dia mesti datang lagi hari esok. Kepada pemerintahan baru, Akbar menitipkan harapannya.