Kepentingan Turkiye dengan Tumbangnya Rezim Presiden Assad di Suriah
PARA pengungsi Suriah di seantero Turkiye bersorak-sorai menyambut jatuhnya pemerintahan Presiden Bashar Al Assad hari Minggu (8/12/2024). Banyak dari mereka melihat peristwa itu sebagai peluang untuk bisa kembali ke tanah air sendiri.
Kantor berita AP melaporkan, orang-orang mengibarkan bendera Suriah dan Turkiye di alun-alun utama Kilis, sebuah kota perbatasan di Turkiye selatan. Di Provinsi Hatay, yang juga terletak di perbatasan Suriah, banyak orang mengatakan sudah waktunya mereka pulang setelah bertahun-tahun tinggal di Turkiye, yang menampung sekitar tiga juta pengungsi Suriah.
“Kami bebas sekarang, semua orang harus kembali ke tanah airnya,” kata Mahmud Esma kepada kantor berita DHA di gerbang perbatasan Cilvegozu.
Turkiye, yang berbagi perbatasan sepanjang 911 kilometer dengan Suriah, telah menjadi pendukung utama kelompok-kelompok pemberontak atau opsisi yang ingin menggulingkan Assad sejak pecahnya perang saudara tahun 2011.
Kantor berita Reuters melaporkan, sekitar enam bulan lalu, para pemberontak Suriah berkomunikasi dengan Turkiye tentang rencana serangan besar-besaran. Mereka merasa telah mendapat persetujuan implisit dari Turkiye sebelum melancarkan serangan yang akhirnya menumbangkan rezim Assad.
Meskipun para pejabat Turkiye membantah klaim keterlibatan, sejumlah pengamat percaya bahwa serangan para pemberontak, yang tampaknya selaras dengan tujuan jangka panjang Turkiye, tidak akan terlaksana tanpa persetujuan Ankara.
Kejatuhan Assad telah memungkinkan Turkiye, melalui proksinya di Suriah, yaitu Tentara Nasional Suriah (Syrian National Army), untuk melawan pasukan Kurdi di Suriah yang bersekutu dengan musuh bebuyutan Turkiye, Partai Pekerja Kurdistan (atau PKK).
Kelompok militan yang memimpin serangan terhadap rezim Assad hingga akhirnya tumbang, yaitu Hayat Tahrir al-Sham (HTS), dimasukkan dalam daftar organisasi teroris oleh Ankara. Namun, Turkiye telah beroperasi bersama kelompok itu selama bertahun-tahun di Suriah utara dan Turkiye diyakini memiliki pengaruh signifikan terhadap kelompok tersebut.
Turkiye telah menegaskan dukungannya terhadap keutuhan wilayah Suriah. Namun hal yang paling tidak diinginkan Turkiye adalah terbentuknya wilayah otonom Kurdi di perbatasannya atau gelombang baru para pengungsi yang disebabkan oleh ketidakstabilan di Suriah.
Ankara telah melakukan sejumlah serangan ke wilayah Suriah sejak tahun 2016 dengan tujuan memukul mundur kelompok ISIS atau militan Kurdi dan menciptakan zona penyangga di sepanjang perbatasannya. Kini, Turkiye menguasai sebagian wilayah di Suriah utara.
Turkiye menempatkan pasukan di wilayah Suriah barat laut dan memberikan dukungan kepada beberapa kelompok pemberontak yang ambil bagian dalam serangan terhadap rezim Assad, termasuk Syrian National Army (SNA) atau Tentara Nasional Suriah.
Turkiye sebelumnya terlibat dalam sejumlah upaya diplomatik untuk menyelesaikan konflik antara rezim Assad dengan para pemberontak, termasuk mengadakan pembicaraan dengan pendukung utama Assad, yaitu Rusia dan Iran.
Belum lama ini Ankara mengupayakan rekonsiliasi dengan Assad demi mengurangi ancaman terhadap Turkiye dari milisi Kurdi dan memastikan kembalinya para pengungsi dengan aman. Namun Assad menolak tawaran Turkiye.
Sejumlah pejabat Turkiye secara tegas membantah klaim keterlibatan mereka dalam mendukung para pemberontak Suriah. Turkiye menyatakan, pihaknya menentang perkembangan yang dapat memperburuk ketidakstabilan di kawasan itu.
“Semua pernyataan yang mengklaim Turkiye memprovokasi atau bahwa Turkiye mendukung hal ini tidak benar. Itu semua bohong,” kata Omer Celik, juru bicara partai yang berkuasa di Turkiye, partai dari Presiden Turkiye Recep Tayyip Erdogan, pada pekan ini.
Namun para analis mengatakan, serangan pemberontak tidak akan mungkin terjadi tanpa lampu hijau dari Turkiye. Sumber Reuters di pihak oposisi Suriah mengatakan, pemberontak telah menunjukkan rincian rencana serangan yang akhirnya menumbangkan rezim Assad kepada Turkiye, setelah berbagai upaya Ankara untuk melawan Assad gagal.
Pesannya para pemberontaka adalah "Jalan lain itu tidak berhasil selama bertahun-tahun. Mari mencoba jalan yang kami tawarkan. Anda tidak perlu melakukan apapun, asal jangan campur tangan."
Sejumlah pejabat Turkiye menyatakan, Ankara telah menunda serangan selama berbulan-bulan. Namun, pasukan pemberontak akhirnya melancarkan serangan setelah pasukan pemerintah Suriah menyerang wilayah yang dikuasai pemberontak. Serangan pasukan pemerintah Suriah itu melanggar perjanjian de-eskalasi antara Rusia, Iran, dan Turkiye.
Menurut para pejabat itu, sebagaimana dilaporkan AP, serangan tersebut awalnya dimaksudkan hanya terbatas, tetapi kemudian diperluas setelah pasukan pemerintah Suriah mulai mundur dari posisi mereka.
Saat berbicara di Qatar hari Minggu lalu, Menteri Luar Negeri Turkiye, Hakan Fidan mengatakan, Turkiye “sangat mementingkan persatuan nasional, stabilitas, kedaulatan, dan keutuhan wilayah dan kesejahteraan rakyat Suriah. Dengan demikian jutaan warga Suriah yang terpaksa meninggalkan rumah mereka dapat kembali ke tanah air mereka.”
Jatuhnya rezim Assad di Suriah dapat menimbulkan beberapa risiko bagi Turkiye, termasuk terjadinya gelombang pengungsi baru ke perbatasan Turkiye jika terjadi kekacauan.
Sinan Ulgen, direktur Center for Economics and Foreign Policy Studies yang berbasis di Istanbul, mengatakan bahwa Turkiye menginginkan Suriah yang stabil.
“Risiko pertama yang ingin dihindari Turkiye dengan segala cara adalah disintegrasi Suriah, di mana berbagai kelompok kekuasaan berusaha mendapatkan otonomi di wilayah mereka masing-masing,” kata Ulgen. Dia menyoroti Unit Perlindungan Rakyat (YPG) Kurdi Suriah yang terkait PKK di timur laut Suriah.
Menurut Ulgen, masa transisi yang stabil akan memungkinkan Turkiye menyalurkan bantuan ekonomi ke Suriah demi menciptakan situasi yang memungkinkan kembalinya para pengungsi.
Sejumlah analis berpendapat, serangan pemberontak dapat memicu ketegangan dengan pendukung Suriah, yaitu Iran dan Rusia. Turkiye, yang merupakan anggota NATO, berupaya menyeimbangkan hubungan erat dengan Ukraina dan Rusia dalam menghadapi invasi besar-besaran Moskwa terhadap negara tetangganya.
Ulgen mencatat, Rusia tidak menuduh Turkiye atas pencapaian para pemberontak. Dia mengatakan, hal itu sebagian karena Rusia tidak ingin Turkiye “berubah menjadi lebih anti-Rusia” dalam sikapnya terkait perang di Ukraina.
“Saya tidak berpikir hal itu akan menyebabkan keretakan dalam hubungan Turkiye-Rusia.”
Perkembangan itu meningkatkan harapan bahwa Turkiye dapat mencapai tujuan strategisnya di Suriah, termasuk mengamankan perbatasan selatan dan memfasilitasi pemulangan para pengungsi Suriah dengan selamat.
Sejak tahun 2022, Turkiye telah berupaya menormalisasi hubungan dengan Suriah. Namun, Assad berkeras meminta penarikan pasukan Turkiye dari Suriah utara, sementara Turkiye menyatakan pihaknya tidak dapat menarik diri selama ancaman dari milisi Kurdi masih ada.
Masih harus dilihat apakah perubahan pemerintahan di Suriah akan memungkinkan Turkiye untuk mengusir YPG dari perbatasannya. HTS dilaporkan telah menjalin hubungan baik dengan YPG, yang memimpin Pasukan Demokratik Suriah.
Turkiye melihat YPG sebagai organisasi teroris meskipun kelompok itu bersekutu dengan AS dalam melawan kelompok ISIS.
Fidan yang menyerukan agar integritas teritorial Suriah dijaga, menyatakan bahwa Turkiye sedang "waspada" untuk "memastikan bahwa organisasi teroris, khususnya Daesh dan PKK, tidak memanfaatkan keadaan." Fidan merujuk pada kelompok Negara Islam (ISIS) dan YPG.
Tentara Nasional Suriah yang didukung Turkiye mengusir YPG dari Tal Rifaat, di utara Aleppo, dalam serangan terakhir. Pada hari Minggu lalu, sejumlah pejabat keamanan Turkiye mengatakan mereka telah menguasai sebagian besar kota Manbij yang selama ini dikuasai Kurdi.
Ozgur Unluhisarcikli, direktur German Marshall Fund di Ankara, mencatat bahwa Turkiye berharap bisa memberikan pengaruh yang signifikan dalam perubahan Suriah.
“Akan ada negosiasi yang akan menentukan masa depan Suriah,” kata dia. “Turkiye akan berpengaruh, begitu pula Amerika Serikat dan negara-negara Timur Tengah yang akan membiayai pembangunan kembali Suriah.”
Gonul Tol, direktur Program Turkiye di Middle East Institutes yang berbasis di AS, mencatat bahwa Turkiye mungkin tidak dapat mengendalikan HTS karena kelomopok itu mengejar kepentingannya sendiri. “HTS adalah kartu liar. Apakah Turkiye benar-benar ingin organisasi militan itu menguasai negara tetangganya?” katanya.