Ketua AMPI Usul Ada UU Lobi, Golkar: Berat, Kita Penuh Kepura-puraan

Ketua AMPI Usul Ada UU Lobi, Golkar: Berat, Kita Penuh Kepura-puraan

Ketua Umum DPP AMPI Jerry Sambuaga mengusulkan adanya UU yang mengatur tentang lobi dalam pemilu. Sekjen Partai Golkar Sarmuji pun menjawab jika UU tentang lobi berat untuk dilakukan.

Mulanya, Jerry mengaku ada kekhawatiran melihat banyaknya anak muda yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, tapi kesulitan dalam biaya. Jerry menilai perlu adanya UU tentang lobi untuk memudahkan para caleg mencari biaya.

"Gimana anak-anak muda ini yang kerjanya mungkin ya sambil kerja, tapi juga sambil nyari sponsor dan segala macam untuk bisa nyaleg dengan ongkos yang demikian luar biasa. Kita tahu bersama lah mas, ini semua udah rahasia umum. Nah, saya punya usul. Gimana kalau ini caleg-caleg ini bisa dapat atau bisa fundraising?" kata Jerry dalam acara AMPI Talks 4.0 Kenal lebih dekat dengan Sekjen DPP Golkar, di DPP Golkar, Jakarta Barat, Kamis (19/12/2024).

Jerry mengatakan fundraising atau penggalangan dana dalam UU Pemilu hanya bisa dilakukan oleh calon independen atau DPD RI. Jerry lantas mencontohkan pemilu di Amerika Serikat.

Jerry menuturkan Amerika Serikat memiliki UU lobbyist. Jerry mengatakan UU ini bertujuan melakukan lobi-lobi agar menghasilkan uang.

"Jadi contoh misalnya saya ini maju misalnya dari Sulsel. Dia akan didekati atau mendekatilah lobbyist perusahaan rokok. Perusahaan rokok masih bekerja 10 mingguan. Tapi disclaimer ke publik. Saya dapet uang dari perusahaan rokok Rp 10 M. Jadi kalau orang masyarakat sudah tahu, ‘Oh, berarti kalau milih ini akan mengadvokasi perusahaan rokok’. Demikian juga sebaliknya," jelasnya.

"Yang mengadvokasi akan milih. Jadi ini partisipasi publik. Lobbyist itu partisipasi publik. Ini di Amerika undang-undangnya ada. Disahkan. Saya nggak bilang ini sempurna. Tapi ini mungkin salah satu ide. Jadi kita-kita yang muda muda ini juga bisa dapet kesempatan untuk nge-fundraising," sambungnya.

Menurutnya, cara itu pernah dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat akan maju Pilkada 2017 sebagai calon independen. Saat itu, menurut Jerry, Ahok melakukan fundraising, dengan cara siapa pun yang duduk bersama Ahok, harus membayar uang.

"Jadi siapa yang bisa duduk bareng Ahok. Dia bisa harus bayar Rp 10 juta. Makin deket Rp 50 juta. Makin deket lagi Rp 100 juta. Fundraising. Ini mungkin ya kalau ini dibuat jadi sebuah produk hukum. Mungkin ada sedikit kesempatan gitu," jelasnya.

Sarmuji pun kemudian menjawab usulan tersebut. Sarmuji menilai hal itu sulit dilakukan di Indonesia. Menurutnya, politik di Indonesia penuh dengan kepura-puraan.

"Ya sebenarnya ini ide baik ya. Terlepas ada urusan pencalegan atau nggak. Sebenarnya undang-undang lobbyist itu bisa jadi terapkan ya. Karena itu lebih transparan. Lebih transparan dalam politik dan pembiayaan politik," ungkapnya.

"Tetapi mohon maaf. Kita ini lingkungan kita itu masih penuh kepura-puraan. Sulit kita itu. Berat. Coba kalau gak penuh kepura-puraannya," lanjut dia.

Padahal Sarmuji mengatakan partai politik di Indonesia merupakan sesuatu yang sangat penting. Namun dia juga turut menyayangkan kecilnya bantuan keuangan dari negara untuk partai politik.

"Di dalam Undang-Undang Kepartaian, berbisnis nggak boleh. Korupsi jelas nggak boleh. Tapi bantuan negara sangat kecil. Tugas partai politik sangat besar. Organisasinya sangat besar. Pertanyaannya, duitnya dari mana? Dari mana duitnya? Itu karena kita penuh kepura-puraan," paparnya.

Sarmuji menuturkan seandainya bantuan keuangan negara ke partai politik dinaikkan, prosesnya pun akan luar biasa. Padahal dia menyebutkan KPK pun pernah merekomendasikan agar bantuan negara dari partai politik harus besar.

"Jadi untuk sampai pada kesimpulan, UU lobbyist penting atau nggak, nanti pasti akan ada sangat banyak resistensinya. Andai kan itu diusulkan oleh prolegnas saja yang nggak banyak. Ini sama-sama melegalkan korupsi. Pasti begitu. Pasti ada juga suara-suara. Menjadi pintu masuk gratifikasi yang legal," tuturnya.

"Padahal kita sebenarnya mesti belajar pada negara-negara yang sudah lebih dulu maju dalam demokrasi. Indonesia ini kan demokrasinya belum tua, belum dewasa sebenarnya. Kita kan pura-pura dewasa, terasa sudah dewasa," imbuh dia.

Sumber