Keuntungan 19 Kali Lipat di Balik Investasi Vaksin
Bisnis.com, BANGKOK — Ramainya Posyandu dengan anak-anak yang menunggu giliran imunisasi menjadi pemandangan rutin, tetapi berbeda dengan vaksinasi lansia yang masih tampak jarang. Padahal, vaksinasi dapat memberikan perlindungan kesehatan juga kebermanfaatan ekonomi yang lebih luas.
Banyaknya anak yang menerima imunisasi bukan perasaan atau hasil pengamatan semata. Ketua Divisi Imunologi dan Penyakit Paru Interstisial Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) Fariz Nurwidya membenarkannya, bahwa tingkat partisipasi vaksinasi anak memang begitu tinggi, bisa mencapai 90%.
Angka itu muncul dari kemauan tinggi para orang tua untuk memastikan anaknya sehat, kebal dari berbagai penyakit. Para orang tua tidak akan tega melihat anaknya sulit tidur, merintih kesakitan, atau menangis sampai kelelahan. Sesuatu yang sangat bisa dimengerti.
Sayangnya, ada cara pandang yang berbeda terhadap kelompok lanjut usia (lansia), yakni anggapan bahwa wajar jika mereka sakit karena faktor umur. Upaya pencegahan atau preventif seperti melalui vaksinasi kerap tidak menjadi pilihan pertama untuk menjaga kesehatan orang tua.
"Perspektif sosial kita [di Indonesia], orang tua sakit itu lebih biasa daripada anak sakit. Itu harus kita ubah, bahwa orang tua yang sakit itu justru risikonya lebih tinggi daripada anak yang sakit," ujar Fariz saat berbincang dengan Bisnis di sela-sela forum global RespiVerse, Kamis (12/12/2024) malam di Bangkok, Thailand.
Risiko tinggi itu, menurut dokter Fariz, adalah karena akan muncul pengeluaran untuk berobat dan rehabilitasi pascaperawatan. Biaya yang muncul akan lebih besar apabila lansia tersebut memiliki penyakit kronik.
Kondisi itu tidak semata-mata menjadi masalah kesehatan saja. Fariz menuturkan bahwa di Indonesia, terdapat banyak lansia yang tidak memiliki kemampuan finansial setelah pensiun atau tidak lagi bekerja, sehingga ketika mereka sakit anak-anaknya akan turut menanggung biaya perawatan dan pemulihan.
Artinya, bukan hanya satu kepala yang akan membuat keputusan terkait pengobatan sang lansia.
"Sekarang kita mau menggiring persepsi baru bahwa golongan yang 50 tahun ke atas, 60 tahun ke atas itu juga patut mendapatkan vaksinasi, yang didukung oleh keluarga," ujarnya.
Dalam paparannya di acara Respiverse, yang diselenggarakan oleh perusahaan farmasi dan bioteknologi GSK, terdapat alasan kenapa Fariz menyandingkan anak dan lansia dalam hal vaksinasi. Imunitas seseorang terbilang masih lemah saat anak-anak, mencapai titik optimal saat dewasa, lalu kembali melemah saat menua.
Kondisi itu yang menurut Fariz membuat perlindungan dari vaksin menjadi penting di fase-fase lemah. Kesadaran itu sudah terbentuk saat bicara anak, tetapi belum begitu kuat saat menyangkut lansia.
"Jangan sampai kita terlalu fokus pada pengobatan, karena pengobatan mahal. Yang murah itu pencegahan," ujar Fariz.
Vaksinasi sebagai salah satu upaya pencegahan kerap dipandang sebagai pengeluaran. Padahal, menurut dokter yang meraih PhD dari Juntendo University tersebut, imunisasi adalah investasi.
Dia mencontohkan bahwa lansia yang sehat setelah vaksinasi bisa tetap berwisata, juga sedikit bekerja dan menghasilkan. Kesehatan dan kualitas hidup lansia yang baik bisa mendukung geliat ekonomi, atau bahkan setoran pajak saat mereka berpenghasilan.
"Di Tokyo, saya melihat banyak sekali lansia yang produktif. Bahkan, mereka itu, walaupun ada yang menderita PPOK [penyakit paru obstruktif kronis], dia jalan-jalan naik mobil dengan pakai oksigen, ada di bagian belakang mobilnya. Saking segitunya dia punya keinginan, dia tahu tidak boleh membatasi dirinya. Lansia boleh saja sakit, yang penting itu terkontrol," ujarnya.
Sayangnya, manfaat vaksin sebagai upaya pencegahan kerap tidak terlihat secara kasat mata, sehingga menurut Fariz vaksinasi memang kerap belum dilihat sebagai investasi. Berbeda dengan investasi lain dengan imbal hasil yang lebih terlihat.
"Return-nya [dari vaksinasi] misalnya pengurangan angka kunjungan ke IGD, pengurangan durasi rawat inap jika sakit. Kalaupun sakit dan harus dirawat, durasinya memendek. Artinya, lebih sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk oksigen, infus, obat, makanan pasien.
VP & Regional Medical Head for Vaccines, Emerging Markets-Regional GSK Arnas Berzanskis (kiri), Ketua Divisi Imunologi dan Penyakit Paru Interstisial FK UI Fariz Nurwidya (kedua kiri), Regional Medical Lead of Biologics for Emerging Market GSK Gur Levy (kanan) dalam media workshop Respiverse pada Kamis (12/12/2024) malam. / Bisnis-Wibi Pangestu PratamaPerbesar
VP & Regional Medical Head for Vaccines, Emerging Markets-Regional GSK, Arnas Berzanskis yang juga menjadi pembicara dalam acara Respiverse, mengungkap bahwa para cendekiawan terus mengukur manfaat ekonomis dari investasi vaksin, dari faktor kesehatan, peningkatan kualitas hidup, hingga produktivitas secara ekonomi.
Arnas mengutip studi Sim et al. (2020) bahwa setiap investasi US$1 dalam program imunisasi akan memberikan imbal hasil hingga US$19,8 dalam kurun 2021—2030.
Perhitungan manfaat ekonomi itu diperoleh dari pendekatan biaya penyakit dan statistik nilai kehidupan, lalu estimasinya digabungkan dengan biaya program imunisasi, sehingga diraih imbal hasil atas program investasi.
Perhitungan itu dilakukan terhadap imunisasi atas 10 patogen yang mencakup 94 negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Hasilnya, berdasarkan pendekatan biaya penyakit, investasi US$1 akan menghasilkan manfaat US$19,8 pada 2021—2030. Bahkan, berdasarkan pendekatan statistik nilai kehidupan, imbal hasil investasinya mencapai US$52,2.
Arnas mencontohkan imbal hasil investasi itu dari aspek biaya langsung (direct cost). Misalnya, seseorang membayar vaksin seharga 40 pound sterling, lalu dia jadi terhindar dari perawatan rumah sakit yang dapat menelan biaya 2.000 pound.
Sejalan dengan yang Fariz jelaskan, Arnas juga menyebut bahwa seseorang yang sakit, terutama lansia, bisa membuat keluarga harus merawatnya sehingga mereka tidak bekerja. Terdapat potensi kehilangan secara ekonomis dari mereka yang mestinya bisa bekerja, berpenghasilan, dan berkonsumsi.
Terdapat perhitungan lain yang tercantum dalam laporan Adult Vaccination A Key Component of Health Ageing. Setiap investasi 1 euro untuk vaksinasi orang berusia di atas 50 tahun akan memberikan imbal hasil 4 euro.
Kenapa rasionya berbeda dengan negara-negara berkembang? Menurut Arnas, negara-negara Eropa memiliki basis layanan kesehatan yang tinggi, sehingga tambahan manfaatnya menjadi ‘hanya’ empat kali lipat.
"Di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, basis sistem layanan kesehatan itu tidak terjangkau bagi mayoritas [masyarakat]. Sehingga setiap investasi [melalui vaksinasi] akan memberikan imbal hasil yang jauh lebih tinggi," ujar Arnas.
Perhitungan itu menurutnya begitu rumit, karena kondisi setiap negara yang berbeda-beda. Model perhitungannya bisa menjadi lebih mudah di negara maju karena komponen penghasilan dan pengeluaran relatif lebih terukur, sedangkan di negara berkembang kondisinya lebih kompleks, seperti bagaimana mengukur potensi kehilangan ekonomis jika seseorang pekerja informal tidak mendapatkan penghasilan karena harus merawat lansia yang sakit.
Kenapa perhitungan imbal hasil investasi vaksinasi itu penting? Riset Sim et al. (2020) menunjukkan bahwa nilai itu sangat penting dalam membantu para pengambil kebijakan dalam merencanakan dan memobilisasi program imunisasi, termasuk bagi kalangan lansia.
Angka imbal hasil investasi dari vaksinasi pun dapat mendorong pemerintah untuk mewujudkan manfaat itu secara penuh.
"Realisasi manfaat penuh imunisasi akan bergantung pada investasi berkelanjutan dan komitmen terhadap program imunisasi," dikutip dari riset tersebut.