Kian Banyak Lansia Jepang Hidup Sendiri, Picu Kekhawatiran Lonely Death

Kian Banyak Lansia Jepang Hidup Sendiri, Picu Kekhawatiran Lonely Death

Ikuko Arai akhirnya pensiun di usia 85 tahun, tepatnya pada 30 November. Ia mengaku senang bisa menyelesaikan perannya di sebuah organisasi nirlaba di Tokyo, tetapi ada kekhawatiran yang menghantuinya.

Ia khawatir berhenti bekerja akan membuatnya terisolasi dari masyarakat Jepang, yang berpotensi membuatnya sampai pada sebuah fenomena yang dikenal sebagai "lonely death" atau "meninggal dalam kesepian". Arai sudah tinggal sendiri sejak suaminya meninggal dunia 16 tahun silam.

Fenomena ini memang umum terjadi di negara yang populasinya menua dengan cepat. Pada akhir November lalu, sebuah laporan yang diterbitkan oleh Institut Nasional Jepang terkait Populasi dan Keamanan Sosial memproyeksikan bahwa di tahun 2050, jumlah lanjut usia (lansia) berusia 65 tahun ke atas yang tinggal sendiri di Jepang akan mencapai 10,83 juta orang, meningkat 1,5 kali lipat dibanding tahun 2020.

"Kecemasan yang muncul karena hidup sendiri sangat besar," kata Arai kepada DW. "Saya bisa membuat daftar semua kekhawatiran saya, tetapi saya akan melakukan yang terbaik selama saya sehat."

"Sampai sekarang, saya tidak merasa terisolasi secara sosial karena pekerjaan saya, dan saya selalu sibuk, tetapi sekarang saya sudah pensiun, dan saya tidak akan punya kesibukan itu lagi, jadi ini adalah moment of truth saya," ujarnya.

"Saya berencana mencoba menerapkan beberapa strategi biar saya tidak merasa terisolasi," tambahnya.

Bekerja di sebuah organisasi nirlaba bernama Asosiasi Perempuan untuk Masyarakat Lansia yang Lebih Baik (WABAS) selama 32 tahun membuat Arai memiliki pemahaman yang kuat tentang tantangan yang dihadapi para lansia di kehidupan masyarakat Jepang yang serba cepat.

"Kami mendirikan asosiasi ini pada tahun 1983 dengan misi menyelamatkan para istri agar tidak terus-menerus harus memberikan perawatan bagi para lansia, dan membuat masyarakat Jepang menjadi tempat yang lebih baik bagi para lansia," katanya.

"Dalam masyarakat kita, sudah lama diasumsikan bahwa merawat orang tua lanjut usia adalah peran anak laki-laki tertua dan istrinya, dan karena laki-laki bekerja, maka istrinya harus mengubah karier dan rencana hidupnya untuk merawat orang tua," tambahnya. "Namun, hal itu telah berubah secara dramatis."

"Kita hidup di era di mana para lansia tidak lagi tinggal bersama anak dan cucu mereka dalam satu rumah, mereka hidup sendiri. Banyak di antaranya, terutama perempuan, menginginkan kemandirian dan mengatakan bahwa mereka bisa bertahan hidup dengan uang pensiun dan tabungan mereka, tetapi tentu saja ada beberapa dampak negatifnya," pungkas Arai.

Isolasi sosial hanyalah salah satu tantangan yang dihadapi para lansia ketika anak-anak mereka tidak tinggal di dekat mereka. Para lansia juga berpotensi mengalami kesulitan finansial, terutama ketika kondisi kesehatan mereka turun.

Ada kekhawatiran pula yang kini berkembang di kalangan komunitas lansia terkait kelompok kriminal terorganisir yang secara aktif mengincar para lansia yang tinggal sendirian, kata Arai. Jepang memang telah mengalami serentetan kasus pembobolan rumah, di mana para lansia terluka atau bahkan dibunuh oleh penyusup.

"Kami ingin pemerintah mencipatakan masyarakat yang aman bagi para lansia," kata Arai. "Kami merasa sudah waktunya meningkatkan jumlah kelompok pengawas masyarakat dan mencari cara membantu para lansia menciptakan ikatan baru di lingkungan mereka."

Hiroshi Yoshida, seorang profesor ekonomi penuaan di Universitas Tohoku, mengatakan bahwa tantangan bagi para lansia Jepang di era modern sangatlah besar.

Menurutnya, masih banyak yang harus dilakukan untuk memastikan para lansia tidak menghabiskan hari-hari terakhir mereka sendirian dan menderita "kodokushi", istilah dalam bahasa Jepang yang berarti "lonely death" atau "meninggal dalam kesepian."

"Umur rata-rata orang Jepang saat ini sudah mencapai 80-an tahun, dan di masa depan, mungkin akan mencapai 100 tahun, tetapi kami melihat lebih banyak masalah kesehatan fisik dan mental pada orang-orang tua ini, yang menambah tekanan pada sistem perawatan kesehatan," jelas Yoshida kepada DW.

"Isolasi sosial kini menjadi masalah di daerah perkotaan, tetapi masih banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan komunikasi antara orang-orang lanjut usia di daerah pedesaan," tambahnya.

Yoshida merujuk pada sebuah studi internasional yang telah mendeteksi adanya hubungan antara lansia yang tinggal sendiri dan menderita kesepian, jatuhnya harga diri dan memburuknya masalah kesehatan.

"Untuk menghadapi masyarakat yang menua ini, pemerintah perlu membuat jaringan yang memungkinkan orang untuk berkomunikasi satu sama lain dengan lebih mudah dan mengatur kegiatan sosial bersama," kata Yoshida.

"Hal itu akan membantu kesehatan fisik dan mental generasi ini dan mengurangi beban keuangan untuk merawat mereka karena mereka lebih sehat dan bahagia," tambahnya.

Sama seperti Arai, Yoshida percaya bahwa perempuan adalah solusi bagi masyarakat Jepang yang menua. Dia menganjurkan agar perempuan usia kerja tidak diwajibkan menjadi pengasuh bagi kerabat yang lebih tua karena hal itu akan membuat mereka kehilangan karier, pendapatan yang lebih besar, dan daya beli, yang seharusnya dapat membantu meningkatkan konsumsi dan ekonomi secara keseluruhan.

"Kita membutuhkan lebih banyak perempuan dalam angkatan kerja untuk meningkatkan produktivitas ekonomi secara keseluruhan, dan hal ini berarti bahwa laki-laki perlu lebih banyak membantu di rumah," pungkasnya.

Diadaptasi dari artikel DW bahasa Inggris

Sumber