Kilas Pernyataan Para Capim KPK di Depan DPR: Ungkap Ego Sektoral sampai Ingin Hapus OTT
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggelar uji kelaikan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap 10 calon pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Para Capim yang mengikuti kegiatan tersebut adalah Setyo Budiyanto, Poengky Indarti, Fitroh Rohcahyanto, Michael Rolandi Cesnanta Brata, Agus Joko Pramono, Ahmad Alamsyah Saragih, Djoko Poerwanto, Ibnu Basuki Widodo, Ida Budhiati, dan Johanis Tanak.
Sosok dari beberapa kandidat bukanlah sosok yang asing.
Mereka juga menyampaikan sejumlah pernyataan yang menarik ketika menjalani tes di hadapan Komisi III.
Berikut ini rangkuman pernyataan menarik para Capim saat menjalani uji kelaikan dan kepatutan.
Capim KPK Setyo Budiyanto dalam uji tersebut melontarkan pendapat supaya operasi tangkap tangan (OTT) kerap dilakukan lembaga antirasuah itu sebaiknya lebih selektif berdasarkan skala prioritas, bukan mengejar kuantitas.
Setyo juga menekankan OTT harus benar-benar memperhatikan kelengkapan alat bukti dan mengantisipasi risiko kesalahan dalam pelaksanaan tugas.
“Memang OTT ini tidak perlu harus banyak, harus betul-betul selektif, prioritas tapi masih diperlukan untuk saat ini. Betul-betul selektif, prioritas dalam rangka mengantisipasi hal hal, misalnya praperadilan dan lain-lain,” kata Setyo dalam uji kelayakan dan kepatutan capim KPK di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/11/2024).
“Jadi harus betul-betul selektif dilaksanakan secara rigid, secara bersih tanpa melakukan hal yang tidak perlu. Meminimalisir kesalahan, tidak melakukan hal yang menimbulkan risiko , tapi bisa membuka perkara yang lebih besar lagi,” ujar dia melanjutkan.
Eks direktur penyidikan KPK ini pun menekankan bahwa OTT masih perlu untuk dikerjakan oleh KPK.
Sebab, OTT kerap kali menjadi pintu bagi KPK untuk membuka perkara korupsi yang lebih besar.
"(OTT) ini diharapkan bisa membuka perkara yang bisa dikatakan nanti ya big fish begitu,” kata dia.
Setyo juga menilai RUU perampasan Aset mesti didukung jika berhasil disahkan karena dianggap langkah revolusioner dalam dunia hukum Indonesia.
Jika akhirnya terpilih menjadi pimpinan KPK, ia berjanji siap menjalankan perampasan aset jika peraturannya berhasil disahkan.
"Kalau KPK kan tinggal kami ini pelaksana saja. Masalah nanti prosesnya kan tinggal dari DPR RI saja. Kalau ada, kami laksanakan, itu saja. Kalau tanggapan saya seperti itu," ucapnya.
Setyo juga yang mengungkap terkadang pimpinan KPK enggan menemui Kpaolri dan Jaksa Agung buat berkoordinasi akibat ego sektoral.
"Seringkali pimpinan merasa tidak perlu bertemu, terutama pimpinan di level KPK menganggap mungkin karena levelnya sudah terlalu tinggi tidak mau ketemu dengan Jaksa Agung, tidak mau ketemu dengan Kapolri menganggap yang harus ketemu adalah level deputi," kata Setyo.
Dalam uji tersebut, Capim KPK Poengky Indarti menegaskan preferensinya terhadap pengembalian kerugian keuangan negara melalui upaya pencegahan korupsi, dibandingkan menjerat pelaku korupsi.
"Kalau sudah melakukan tindakan korupsi, maka yang bersangkutan memang perlu dipidana dan harus dipidana karena sudah terjadi kejahatannya," ujar Poengky saat menjawab pertanyaan anggota DPR, Pulung Agustanto, di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Senin (18/11/2024).
"Tapi saya lebih prefer atau lebih menyukai pengembalian kerugian negara, Bapak, dengan cara pencegahan, kalau ada pencegahan itu lebih baik sehingga tindakan korupsi tidak terjadi," sambungnya.
Calon pimpinan (capim) KPK Fitroh Rohcahyanto ingin memperketat proses penetapan seseorang sebagai tersangka serta peningkatkan status perkara dari penyelidikan ke penyidikan.
Fitroh mengatakan, hal itu diperlukan demi memastikan penyidik benar-benar memiliki dua alat bukti yang kuat sebagai modal dalam menghadapi gugatan praperadilan yang diajukan tersangka kasus korupsi.
“Insya Allah nanti kalau saya dipercaya (menjadi pimpinan) di sana (KPK), itu betul-betul lebih ketat,” ujar Fitroh saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan capim KPK, Senin (18/11/2024).
Ia menyebutkan, langkah ini juga diperlukan untuk menunjukkan adanya kepastian hukum dalam setiap perkara yang ditangani KPK.
Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (capim KPK) Michael Rolandi Cesnanta Brata menilai, Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) saat ini masih menjadi formalitas belaka.
"Saat ini dirasakan penyampaikan LHKPN itu hanya formalitas ketika tanggal 31 Maret disampaikan, tetapi tidak isi kualitas penyampaiannya itu menjadi penyampaian dalam hal kualitas apa yang dilaporkan," kata Michael dalam uji kelayakan dan kepatutan capim KPK di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/11/2024).
Oleh karenanya, Michael berjanji akan meningkatkan kualitas LHKPN sebagai upaya meningkatkan kualitas tindakan pencegahan korupsi.
Hal ini ia masukkan dalam salah satu misinya sebagai capim KPK.
"Nah ini menurut saya suatu bahan atau bagian dalam melakukan pencegahan yang penting," ujar pejabat Pemerintah Provinsi Jakarta itu.
Guna meningkatkan kualitas pencegahan, Michael juga akan mendorong terciptanya deteksi dini berupa aplikasi terkait korupsi, khususnya untuk diterapkan di daerah.
Menurut dia, adanya platform deteksi dini dapat mencegah terjadi penyimpangan mulai dari perencanaan, penganggaran pelaksanaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban.
Calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Djoko Pramono memberikan klarifikasi terkait dua kasus yang disebutkan menyeret namanya.
Dua kasus tersebut adalah dugaan transaksi janggal senilai Rp 115 miliar pada 2013, serta tindak pidana korupsi suap proyek Sistem Penyedia Air Minum (SPAM) di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada 2020.
Agus mengungkapkan kekecewaannya terhadap KPK, karena merasa pemanggilannya pada 2020 tidak berkaitan dengan fakta kasus, melainkan berkaitan dengan statusnya sebagai saksi a de charge untuk mantan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rizal Djalil.
Agus menjabat sebagai Wakil Ketua BPK pada periode 2019-2023.
“Jadi saya cukup kecewa dengan sikap KPK pada saat itu karena saya diberitahu bahwa saya akan jadi saksi a de charge, padahal saya adalah Wakil Ketua BPK saat itu,” ujar Agus dalam fit and proper test menjawab pertanyaan Nasir Djamil dan Rudianto Lallo, di Komisi III DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/11/2024).
Ia menegaskan bahwa sebagai pimpinan lembaga negara, KPK seharusnya menjelaskan lebih dulu duduk perkara terkait pemanggilannya.
“Saya selaku pimpinan lembaga negara harusnya antar sesama lembaga negara menyampaikan pada kami duduk perkara permasalahannya itu apa, bukan sebagai personnya tapi sebagai jabatannya,” papar Agus.
Calon Pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alamsyah Saragih mendukung usulan agar lembaga anti-rasuah tersebut memfokuskan penanganan pada kasus korupsi yang berskala besar dan strategis.
Alamsyah mengungkapkan bahwa KPK seharusnya memusatkan perhatian pada kasus-kasus besar dan strategis, yang berpotensi mengganggu program nasional dan berdampak signifikan pada kerugian negara.
"KPK memang harus masuk ke wilayah korupsi yang besar, nilainya atau yang strategis, karena bisa mengganggu program strategis nasional," katanya.
Alamsyah juga menyoroti keterbatasan kapasitas KPK dalam menangani semua perkara korupsi, mulai dari tingkat terbawah hingga level atas.
Menurutnya, kolaborasi antara KPK, kepolisian, dan kejaksaan sangat penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Kenapa harus terbatas pada itu, Pak? Size-nya kecil, KPK itu, mau disuruh menangani keseluruhan, mana punya sampai ke polsek. Kecamatan sampai bawah, makanya dia harus memilih ke wilayah-wilayah yang lebih strategis dampaknya," kata Alamsyah.
Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (capim KPK) Joko Poerwanto berpandangan, satuan kerja terkait pemberantasan korupsi di institusi Polri dan Kejaksaan Agung bukan sebuah masalah.
Menurut dia, hal tersebut justru akan memperkuat upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penegakan hukum.
“Kalau orang bilang kenapa negara kita punya tiga institusi? Sebenarnya itu harus memperkuat. Jadi saya kira tidak merupakan hambatan apapun, Kortas Tipikor, maupun kejaksaan,” ujar Joko saat uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR RI, Selasa (19/11/2024).
“Jadi kembali kepada rasa memiliki kita bersama. Kalau negara ini bangsa ini semuanya tidak menginginkan korupsi saya kira akan lebih baik lagi,” kata dia.
Joko menilai, sudah seharusnya KPK bisa menyelaraskan tugas-tugasnya dengan Kejaksaan Agung maupun Polri dalam pemberantasan korupsi.
Hal tersebut pun menjadi salah satu komitmen Joko jika nantinya terpilih menjadi salah satu dari lima pimpinan KPK periode 2024-2029.
“Jadi itu bukan hal yang menjadikan hambatan, tapi justru merupakan sarana bagaimana kita secara sistematis menentukan apa yang menjadi tugas kita bersama,” kata Joko.
Calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ibnu Basuki Widodo menyebut, tindak pidana korupsi (tipikor) telah berlangsung sejak dahulu sampai sekarang. Namun, korupsi masih terus terjadi.
Ia menyampaikan ini dalam uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) capim KPK di Komisi III DPR RI, Jakarta, Selasa (19/11/2024).
"Pemberantasan tindak pidana korupsi telah dilakukan sejak lama sampai dengan sekarang namun ternyata tidak kunjung habis. Padahal berbagai tindakan telah dilakukan untuk melakukan pemberantasan tersebut," ujar Ibnu dalam paparannya.
Capim KPK berlatar belakang hakim ini pun menegaskan perlunya monitoring dan evaluasi atau monev menyeluruh.
Menurut Ibnu, monev perlu guna meningkatkan dan memperbaiki upaya pemberantasan korupsi.
"Untuk itu perlu dilakukan monev secara menyeluruh, baik SDM, integritas, baik bagaimana cara pencegahan dan penindakan korupsi itu," ucapnya.
Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ida Budhiati menyorot tantangan KPK saat ini adalah menghadapi persepsi publik yang negatif.
Menurutnya, hal ini juga terjadi lantaran pimpinan KPK saat ini masih belum menunjukkan perilaku yang akuntabel, profesional, dan berintegritas.
"Pimpinan belum mampu menunjukkan perilaku yang akuntabel, profesional, dan berintegritas," kata Ida dalam uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) capim KPK di Komisi III DPR RI, Jakarta, Selasa (19/11/2024).
Ida juga menyebut pimpinan KPK masih belum menjadi teladan dan belum menunjukkan konsistensi, sinergitas, internalisasi nilai-nilai budaya KPK.
"Selain itu juga belum dapat memberikan teladan bahwa pemimpin KPK mempunyai integritas yang tinggi," ujarnya.
Akan tetapi menurutnya, tantangan ini bisa diatasi dengan keberadaan Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Sebab, keberadaan Dewas KPK menjadi alat check and balances (saling kontrol dan seimbang) di kelembagaan internal KPK yang sejalan dengan tata kelola negara modern.
"Banyak pihak mempunyai pandangan bahwa undang-undang KPK itu mempunyai sejumlah kelemahan. Tetapi di dalam hasil perenungan saya, di dalam revisi undang-undang KPK, justru ada politik hukum dari pembentuk undang-undang untuk memperkuat kelembagaan KPK, yaitu dengan dibentuknya Dewan Pengawas," ungkapnya.
Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak mengaku ingin meniadakan operasi tangkap tangan (OTT) seandainya terpilih sebagai ketua KPK di masa depan.
Hal itu ia sampaikan dalam sesi tanya jawab pada uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK di Komisi III DPR RI, Selasa (19/11/2024).
"Seandainya saya bisa jadi, mohon izin, jadi ketua, saya akan tutup, close, karena itu (OTT) tidak sesuai dengan pengertian yang dimaksud dalam KUHAP," kata dia di hadapan anggota Dewan.
Ia mengungkapkan, dari segi pengertian, "operasi" dalam kamus bahasa Indonesia diibaratkan seperti operasi bedah di mana para dokter dan tenaga kesehatan harus sudah siap dan mempunyai perencanaan matang sebelum melakukan tindakan.
"Sementara pengertian ’tertangkap tangan’ menurut KUHAP adalah suatu peristiwa yang terjadinya seketika itu juga pelakunya ditangkap dan menjadi tersangka," ujar Tanak.
"Kalau pelakunya melakukan perbuatan dan ditangkap, tentu tidak ada perencanaan. Kalau ada satu perencanaan, operasi itu terencana, peristiwa yang terjadi suatu seketika itu tertangkap, ini suatu tumpang tindih yang tidak tepat," ucap Wakil Ketua KPK ini.
Ia mengaku, sejak awal menganggap OTT merupakan tindakan yang tidak tepat berdasarkan argumentasi tersebut. Namun, ia kalah suara dengan mayoritas pimpinan KPK lain yang setuju OTT sebagai langkah pemberantasan korupsi yang perlu dilakukan.
"Mayoritas mengatakan itu menjadi tradisi, apakah tradisi itu bisa diterapkan, tidak bisa juga saya menantang," ujar dia.