Kisah Aktivis Perlindungan Anak di Sumbawa, 20 Tahun Hadapi Ragam Tantangan Pendampingan Kekerasan Seksual
KOMPAS.com - Selama 20 tahun menjadi aktivis yang mendampingi kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah perjuangan yang tak mudah bagi Fatriatulrahma.
Sebagai Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), perempuan berusia 48 tahun ini masih terus mendampingi anak yang berhadapan dengan hukum sebagai korban maupun pelaku dan saksi.
Sosok yang akrab disapa Atul ini mengatakan, menjadi pendamping korban kekerasan seksual adalah pekerjaan berat.
“Saya tidak ada jam kantor. Saya kerja sampai malam. Tiba-tiba ditelepon. Harus ke kantor polisi malam hari dan keliling dengan sepeda motor mengunjungi keluarga korban,” kisah Atul saat ditemui Rabu (6/11/2024).
Selain harus memahami kondisi korban, seorang pendamping juga perlu siap menghadapi risiko seperti ancaman, kekerasan secara fisik, verbal dan pelecehan lainnya.
Menurutnya, hal penting adalah empati yang harus ditanam di lubuk hati. Ia juga turut merasakan penderitaan dan trauma yang dialami korban.
"Saya harus kuat agar bisa mendukung korban kekerasan seksual. Karena jiwa saya sudah di sini meski tak ada gaji atau tunjangan,” ucapnya.
Setiap ia mengunjungi anak-anak di tempat rehabilitasi seperti Sentra Paramitha, anak-anak korban berhamburan datang memeluk.
"Di situ saya bahagia. Saya sudah menganggap mereka seperti anak sendiri,” katanya.
Disebutkan, hal paling rumit ketika terjadi kasus inses antara anak dan bapaknya.
"Iya, ada kasus anak itu diperkosa oleh ayahnya di hadapan dua saudaranya yaitu laki-laki dan perempuan masih kecil. Tugas dua saudaranya itu kipas bapaknya saat ia perkosa kakak mereka," ceritanya.
Kasus ini terungkap karena korban dan saksi berani bercerita ke orang terdekat. Kasus ini diselesaikan proses hukum.
Bapak kandung korban dihukum 13 tahun penjara. Sementara, ibunya jadi PMI. Kondisi korban maupun saksi trauma, hingga dilakukan rehabilitasi di Sentra Paramitha dan Yayasan Anak (YPAI).
"Alhamdulillah, dua saudaranya masih sekolah dan jalani rehabilitasi di Lombok. Dulu mereka masih SD saat kasus itu, sekarang sudah SMA alhamdulillah tumbuh menjadi anak yang insyaallah baik,” kata Atul.
Dijelaskan, kasus yang menjadi tantangan dalam pendampingan adalah dugaan pencabulan yang dilakukan oleh terduga pimpinan pondok pesantren (Ponpes) di Kecamatan Labangka.
“Dalam waktu 3 hari kami selesaikan pemeriksaan terhadap 27 anak korban beserta orang tuanya sebagai saksi dalam kasus dugaan pencabulan oleh pimpinan Ponpes di Kecamatan Labangka."
"Dua psikolog juga melakukan pemeriksaan untuk alat bukti. Namun tidak tahu kenapa berkas kasus itu tidak bisa dilanjutkan. Padahal berkas sudah dipenuhi semua,” katanya.
Sejak dilaporkan pada akhir Mei 2023, penyidik seolah kehabisan cara. Padahal kasus sudah naik ke tahap penyidikan pada Juli 2023.
Hingga batas waktu penahanan berakhir, tersangka terpaksa dilepaskan menjadi tahanan kota karena berkas tak kunjung lengkap alias P21. Hingga kini kasus itu tak selesai.
Ia mengakui kasus dugaan pencabulan terhadap anak, paling susah dibuktikan oleh penyidik.
Berbeda dengan pemerkosaan atau persetubuhan meskipun hukumannya sama beratnya.
"Angka kasus pencabulan paling banyak terjadi dan itu pembuktiannya lebih sulit juga, kadang kita sebagai pendamping litigasi stres dengan kasus pencabulan,” ceritanya.
Atul menjelaskan, jaksa kerap kali mencari apakah ada saksi yang melihat peristiwa pencabulan itu? Apakah betul saksi melihat langsung kejadian pencabulan?
Padahal jawabnya, kebanyakan saksi tidak melihat langsung.
“Kita juga tidak bisa paksa saksi. Pembuktian itu yang susah, kita buktikan dengan hasil pemeriksaan psikologis korban, sebagai alat bukti pelengkap dari keterangan korban tapi itu saja kadang masih belum cukup," ungkapnya.
Selanjutnya, pada kasus dugaan pencabulan yang dilakukan oleh guru mengaji kepada seorang anak SD dan itu ada saksi yang juga teman korban.
Pada saat pemeriksaan ditanya lagi apa benar saksi melihat bahwa guru ngaji melakukan pencabulan pada anak korban?
Menurutnya, bagaimanapun pelaku selalu menyangkal atau tidak mengakui perbuatan dugaan pencabulan yang menyeret namanya.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak sekarang ini juga banyak yang berawal dari proses kenalan di medsos.
Kemudian mereka pacaran dan pengiriman video-video nonkonsensual hingga terjadi kasus kekerasan seksual di ranah online yang berakhir pula pada dunia nyata atau terjadinya persetubuhan.
“Saya kerap ditelepon oleh anak korban usia SMP dan SMA/SMK katanya dia diperkosa," ucap Atul.
"Namun setelah saya tanya kembali ternyata dia ini diancam oleh pacarnya yang akan menyebarkan video-video saat mereka berhubungan intim dan sepanjang ini biasanya minta uang dan lain-lain sebagainya."
Hal ini tentu harus diantisipasi sebagai langkah preventif atau pencegahan. Bagaimana memperkuat komunikasi yang efektif pada orang tua agar membatasi saat-saat anak ini memegang gawai.
Ia menyebutkan, di Sumbawa belum ada pendamping sosial (peksos) anak, padahal wajib ada karena diatur dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Jika kementerian sosial belum menganggarkan, sambungnya, maka daerah seharusnya bisa.
Lebih jauh, dalam regulasi kabupaten layak anak misalnya pada kasus anak yang diversi susah untuk didapatkan data, karena pendamping sosial anak tidak ada.
Dalam salah satu unsur penilaian kabupaten layak anak (KLA) juga tertuang bagaimana angka kasus-kasus kekerasan terhadap anak.
Dijelaskan, Sumbawa jauh lebih maju karena sudah memiliki UPTD PPA di dinas pengendalian penduduk keluarga berencana pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (P2KBP3A).
“Ada 57 desa yang ada di Kabupaten Sumbawa. Saya harus tangani sendiri yang sifatnya sukarela dan jujur saya cukup kewalahan. Sementara di kabupaten lain ada dua sampai tiga pendamping sosial anak,” keluhnya.
Ia mengakui bahwa pernah diusulkan untuk menjadi pendamping sosial anak kepada kementerian sosial tetapi sampai saat ini belum ada pemberitahuan apapun.
Padahal Atul pernah mendapatkan penghargaan dari kementerian sosial atas prestasinya sebagai pekerja sosial maupun penghargaan dari mantan gubernur NTB atas dedikasi selama ini memperjuangkan hak-hak anak.
“Saya juga pernah menerima penghargaan dari Kak Seto, mengikuti beragam pelatihan dan pendampingan,” cerita Atul.
Kompas.com/Susi Gustiana Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak Sumbawa, Fatriatulrahma bersama penyidik PPA Polres Sumbawa.
Ia mengatakan untuk mencegah kasus-kasus kekerasan terhadap anak khususnya kekerasan seksual perlu edukasi yang lebih masif dengan kolaborasi pentahelix antarsektor karena masalahnya ini sudah terjadi dari hulu Ke hilir.
"Saya sekarang aktif sosialisasi pendidikan seksual dan reproduksi, pencegahan kekerasan seksual, perundungan dan narkoba kepada anak-anak baik itu SD maupun SMP,” katanya.
Sosialisasi kepada semua elemen khususnya anak dan orang tua juga mesti dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan. Hal itu karena di Kabupaten Sumbawa ada 24 kecamatan dan sekolahnya tentu ada banyak sekali.
Selain itu, perlu juga penguatan peran dan fungsi keluarga. Karena selama ini sambungnya, komunikasi di dalam keluarga yang tidak terbangun dengan baik.
Orang tua tidak tahu bagaimana aktivitas anak saat sekolah maupun pulang sekolah siapa temannya dan bagaimana hubungannya dengan orang-orang sekitar.
Pembagian peran pengasuhan anak juga masih di titik beratkan kepada relasi gender perempuan sehingga diharapkan pembagian peran yang setara antara laki-laki dan perempuan.
“Kasus-kasus kekerasan seksual Ini bisa jadi seperti gunung es yang terlihat bisa sedikit, tetapi yang terjadi sebenarnya banyak hanya saja tidak terlapor,” paparnya.
Ada perbedaan jumlah kasus yang cukup signifikan antara data yang laporan (LP) dengan jumlah pengaduan.
Terkadang pihak dinas hanya melihat laporan yang ada di unit PPA Reskrim Polres Sumbawa, padahal nyatanya ada juga kasus lain di unit lain dan satuan lain di kepolisian yang melibatkan anak.
Persoalan anak ini tidak hanya kekerasan seksual tetapi banyak hal lagi misalnya pencurian, narkoba, kasus-kasus ringan seperti penganiayaan.
"Tentu angka pengaduan lebih banyak, bisa sampai ratusan. Dan saya mencatat itu. Untuk saat ini saya belum rekap totalnya karena biasanya akhir tahun."
"Kasus anak berhadapan dengan hukum sebagai korban dan pelaku banyak yang berakhir dengan diversi dan itu perlu dilakukan pembinaan,” ujarnya.
Lebih jauh, ia mengucapkan angka pembuangan bayi juga cukup banyak di Sumbawa. Saat bayi yang dibuang itu meninggal maka hal itu menjadi tanggung jawab aktivis anak.
“Saya pakai uang sendiri dan kadang juga dibantu oleh teman-teman penyidik di kepolisian untuk sama-sama kami membiayai penguburan bayi yang sudah meninggal karena dibuang oleh orang tuanya."
"Biasanya kami patungan untuk biaya pemakaman dengan cara Islam dengan membayar tukang gali kubur, orang yang mandikan jenazah dan membeli perlengkapan lain-lain sebagainya."
"Itu tidak ada tanggungan dari dinas manapun karena tidak ada tupoksinya,” paparnya.
Ia mengharapkan semua pihak bisa mengambil peran untuk memberikan perlindungan dan menjamin hak-hak anak dapat terpenuhi.
Tentu dengan mencegah maupun menangani tindak kasus kekerasan seksual terhadap anak sesuai undang-undang perlindungan anak.