Kisah Ijun, Pembatik Disabilitas di Sumbawa yang Makin Eksis Berkarya
SUMBAWA, KOMPAS.com - Keterbatasan tak menjadi alasan bagi Ijun (28) untuk berkreasi.
Penyandang disabilitas fisik di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat ini terus eksis berkarya dan berusaha mandiri secara ekonomi.
Setelah dua bulan belajar membatik, kini Ijun semakin percaya diri dengan kreativitasnya membatik motif khas Sumbawa.
"Saya tak punya kesulitan saat membatik. Hanya butuh waktu dua bulan untuk belajar," katanya, Kamis (16/1/2025).
Ia mengaku suka menggambar sejak kecil. "Saya suka menggambar, dan ternyata hobi itu mendukung saya dalam membatik," ujarnya.
Ijun menyebut, proses menyanting satu lembar kain batik motif Sumbawa cukup rumit.
Karya ini diselesaikannya dalam waktu tiga bulan.
"Iya, ini tergantung tingkat kesulitan sketsa dan motifnya," cerita Ijun.
"Alhamdulillah, tambah hari saya tambah mudah dalam melukiskan batik di atas kain," katanya.
Namun demikian, proses penyantingan tak selalu berjalan mulus. Kadang, tangannya terkena cairan malam yang panas.
Ia ingin membuktikan kepada orang-orang bahwa ia bisa mandiri, sehingga tak disepelekan lagi.
"Saya punya cita-cita membahagiakan orangtua dengan kerja keras sendiri dan tak mau menyusahkan mereka," katanya.
Membatik yang dilakukan Ijun masih menggunakan teknik tradisional.
Keahlian tangan Ijun dibutuhkan untuk membuat pola, motif, dan warna pada batik.
Ia mengatakan, proses awal membatik diawali dengan ngeblat atau menjiplak gambar menggunakan pensil ke atas kain batik yang akan dibuat.
Setelah itu, ia bisa mulai mencanting kain batik.
Jika sudah, ia akan melakukan quality control terhadap kain batik tersebut sebelum berlanjut ke proses pewarnaan.
Pada tahap ini, Ijun akan memastikan apakah gambar yang sudah dicanting tembus sampai ke bagian belakang kain atau tidak.
Jika tidak tembus, proses mencanting harus diulang karena ini akan berpengaruh pada proses pewarnaan;
misalnya, gambar bisa lumer atau pecah.
Setelah digambar dan dicanting, kain akan melalui proses pewarnaan dan dijemur.
Selanjutnya, akan dilakukan penguncian warna atau fiksasi selama beberapa jam atau beberapa hari.
Batik yang telah jadi selanjutnya dijual melalui berbagai platform online atau dari penawaran mulut ke mulut dengan harga berkisar antara Rp 300.000-Rp 500.000.
“Iya, ini pertama kali saya ikut pameran dari hasil karya batik di Kantor Bupati Sumbawa. Saya senang sekali,” kata Ijun.
Meski ia terbilang baru belajar membatik, karyanya patut diapresiasi.
Sebab, motif batik tulis yang dihasilkan khas Sumbawa dengan lonto engal cukup sulit.
Motif lonto engal atau bunga lontar tersebut memiliki makna kekerabatan, kebersamaan, dan harmonisasi dengan lingkungan dalam kehidupan sehari-hari orang Sumbawa.
Selain itu, penggunaan pewarna alami dalam beberapa produk batik Sumbawa yang dilakukan Ijun menambah nilai seni dan ekologi batik.
Di samping itu, Ijun masih menghadapi beberapa tantangan, seperti pemasaran batik Sumbawa yang lebih luas, produksi yang masif, modal, dan kesinambungan bahan baku.
Namun, dengan dukungan berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta, diharapkan batik Sumbawa ini dapat terus berkembang dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi difabel.
“Semoga kreativitas dan semangat inklusivitas membatik ini dapat menghasilkan karya seni yang indah sekaligus memberikan dampak positif bagi masyarakat,” ujarnya.
Orang dengan disabilitas harus memiliki keterampilan bisnis dasar dan kesadaran warisan budaya.
Berbagai pelatihan vokasi yang sudah diikuti Ijun juga menanamkan nilai-nilai seperti kelestarian lingkungan, kesetaraan gender, dan inklusi sosial.