Kisah Penghuni Kolong Jembatan Pakin di Tengah Kencangnya Narasi Jakarta Kota Global
JAKARTA, KOMPAS.com - Kisah kemiskinan akut di Jakarta belum bisa hilang, meski narasi bahwa Jakarta sedang bertransformasi menjadi kota global, sedemikian kencangnya.
Salah satu wajah kelam Jakarta ada di kolong Jembatan Pakin yang terletak di Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara.
Memprihatinkannya orang-orang yang tinggal di tempat lembab dan bau itu seakan mengingatkan para penguasa bahwa ada pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan sebelum bercita-cita tinggi.
Penelusuran Kompas.com, ada sekitar 20 jiwa yang tinggal di bawah beton jembatan yang menghubungkan daerah Pademangan dengan Penjaringan itu. Mereka terdiri dari lansia, usia produktif, dan anak-anak.
Beberapa di antara mereka mengaku, sudah puluhan tahun tinggal di bawah Kolong Jembatan Pakin.
"Udah lama, 30-an tahun mah ada," kata Miah (60) salah seorang penghuni Kolong Jembatan Pakin, saat ditemui Kompas.com, Jumat sore, (8/11/2024).
Gelap, pengap, dan bau merupakan kata yang mengambarkan kondisi permukiman puluhan warga di bawah Kolong Jembatan Pakin.
Letaknya yang berada persis di bawah beton Jembatan Pakin membuat permukiman ini tidak terlihat orang.
Untuk masuk ke permukiman ini, maka harus menuju ke tepi Kali Krukut yang berada persis di depan Museum Bahari.
Kali Krukut tersebut juga sebagai pembatas antara wilayah Pademangan dengan Penjaringan, Jakarta Utara.
Di sisi lain, area masuk permukiman ini juga ditutupi oleh akar pohon tua berwarna cokelat yang membuat kondisi di sana semakin sulit diakses.
Untuk masuk ke permukiman tersebut, kebanyakan orang harus menundukan kepala karena tingginya hanya sekitar dua meter.
Namun, semakin ke dalam, ketinggian kolong jembatan bertambah menjadi 2,5 meter.
Meski demikian, banyak warga yang sudah belasan hingga puluhan tahun merasa nyaman tinggal di Kolong Jembatan Pakin.
Salah satunya, Jumiati (48), yang mengaku sudah tinggal di Kolong Jembatan Pakin kurang lebih selama 26 tahun.
Meski rumahnya hanya berdinding triplek, atapnya beton Jembatan Pakin, dan lantainya tak berkeramik, Jumiati tetap melengkapi tempat tinggalnya dengan berbagai prabot.
Antara lain kasur berukuran sekitar 160×200 cm, lemari kayu, penanak nasi otomatis, dan lainnya.
Tak jauh dari tempat tidurnya, terdapat dapur tempat di mana Jumiati memasak. Dapur Jumiati terlihat begitu sederhana, hanya ada kompor gas satu tungku yang ditataki meja kayu berwarna hitam.
Tak ada pembatas antara tempat tidur Jumiati dan keluarga dengan dapur tersebut. Kondisi itulah yang membuat kondisi rumah Jumiati semakin pengap dan lembab.
Lampu di dalam rumahnya pun tak pernah padam selama 24 jam akibat minimnya cahaya matahari.
KOMPAS.com/ SHINTA DWI AYU Miah (60) warga Kolong Jembatan Pakin, Pademangan, Jakarta Utara, Jumat (8/11/2024).
Tinggal di kolong jembatan terpaksa Jumiati dan keluarga lakukan karena tak mampu mengontrak rumah.
"Ya, gimana, ya, penghasilan Bapak (suami)-nya enggak cukuplah, anak kan sekolah," kata Jumiati.
Suaminya yang berprofesi sebagai tukang ojek online, memiliki pendapatan yang tak menentu.
Jika ramai penumpang, maka suami Jumiati bisa membawa pulang uang sebesar Rp 100.000.
Namun, uang Rp 100.000 bagi Jumiati, sangat pas-pasan untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari.
"Ya, kalau sehari mah habis Rp 100.000 buat jajan ama ongkos anak sekolah," ujar Jumiati.
Senasib dengan Jumiati, Miah juga tak mampu mengontrak rumah karena suaminya hanya bekerja sebagai tukang parkir.
Dalam satu hari, pendapatan suaminya hanya sebesar Rp 30.000-Rp 40.000. Uang itu hanya cukup untuk membeli makan dan air bersih.
"Mau mengontrak rumah enggak ada uang, suami markir di ruko paling dapat uang Rp 30.000 - Rp. 40.000 enggak cukup, buat bayar air," ungkap Miah.
Rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta merelokasi penghuni Kolong Jembatan Pakin ke Rusun Petak Habitat Ancol, Jakarta Utara, disambut baik oleh para penghuni kolong jembatan itu.
Wacana relokasi tersebut disampaikan oleh Penjabat (Pj) Gubernur Jakarta, Teguh Setyabudi usai berkunjung ke Kolong Jembatan Pakin.
"Setelah berbincang dengan warga yang tinggal di bawah jembatan, mereka ingin mempunyai hunian yang layak. Kalau tinggal di dalam kolong jembatan tentunya penyakit sangat rentan sekali menyerang mereka," ujar Teguh, dalam keterangannya, Rabu (6/11/2024).
Terkait rencana relokasi, Miah dan Jumiati mengaku tak keberatan, karena mereka juga ingin mendapat tempat tinggal yang lebih layak.
"Ya, kita sih mau-mau aja, biar ada tempat tinggal yang layak lah," ucap Jumiati.
Namun, ia berharap, agar relokasi tersebut bisa bersifat gratis, karena jika harus membayar, Jumiati mengaku tak mampu.
Senada dengan Jumiati, Miah juga tak keberatan pindah ke rusun asal gratis.
"Saya penginnya gratis lah, enggak ada duit bayarnya," pungkas Miah.