Kisah Petani Muda di Kalteng, antara Mimpi dan Kenyataan di Ladang

Kisah Petani Muda di Kalteng, antara Mimpi dan Kenyataan di Ladang

PALANGKA RAYA, KOMPAS.com - Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) dihadapkan pada persoalan minimnya minat pemuda untuk terjun ke sektor pertanian.

Masalah ini menjadi kendala di tengah cita-cita pemerintah menjadikan Kalteng sebagai daerah penyangga pangan Ibu Kota Nusantara (IKN).

Di hari Sumpah Pemuda, petani muda dari generasi milenial di Kalteng menyampaikan keluhan mereka kepada pemerintah terkait kendala yang mereka hadapi selama ini.

Kendala yang mereka hadapi, sedikit banyak memicu rendahnya minat masyarakat, khususnya generasi muda, untuk menggarap sektor pertanian. 

Menurut Maryoto (33), petani dari Desa Tahai Jaya, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, rendahnya minat bertani anak muda tidak lepas dari banyak persoalan dan kendala yang dihadapi petani saat ini.

“Petani-petani muda sebenarnya tidak kurang, tetapi kadang di kelompok tani peran mereka kurang dilibatkan, peran pemerintah untuk mendukung petani juga masih kurang,” ungkap Maryoto saat dihubungi Kompas.com, Senin (28/10/2024).

Maryoto melihat, belum menjanjikannya sektor pertanian di benak kaum muda terjadi lantaran belum maksimalnya hilirisasi pertanian yang berjalan.

Pertanian, ujar Maryoto, tak hanya mengerjakan faktor hulu seperti proses produksi, tetapi juga faktor hilir seperti pengolahan hingga pemasaran hasil pertanian.

“Saya rasa, untuk meningkatkan minat anak muda di sektor pertanian, faktor hilir ini sangat penting, kan kalau bicara pertanian tidak hanya faktor hulu seperti turun ke sawah menanam padi, tapi juga ada proses bisnis dan pemasaran setelahnya,” ujar ketua Kelompok Tani (Poktan) Tani Mukti, Desa Tahai Jaya ini.

Dia berpendapat, salah satu bentuk hilirisasi itu adalah kemampuan daerah dalam mengolah gabah menjadi beras, memiliki produk dan label beras tersendiri. Pasar yang menerima hasil produksi itu juga harus jelas.

“Kalteng ini produksi pangannya sudah surplus, tapi kenapa masih ada keluhan beras mahal? Karena pasar hasil produksinya itu masuk di wilayah lain, pedagang dari Kalimantan Selatan membeli gabah hasil produksi kami, sama mereka diolah jadi beras, lalu dijual lagi ke Kalteng dengan harga yang lebih tinggi,” jelas Maryoto.

Maryoto menjelaskan, pada musim panen tahun ini saja, hampir terdapat ratusan ton gabah hasil produksi pihaknya yang dibeli pedagang dari luar daerah.

“Maka dari itu hilirisasi pertanian penting, penggunaan modernisasi pertanian juga perlu, anak-anak muda kan menyenangi inovasi,” ujarnya.

DOK. WARGA DESA TAHAI JAYA Petani dari Kelompok Tani (Poktan) Tani Mukti, Jumadi, saat menggarap sawahnya yang berada di Desa Tahai Jaya, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, Agustus 2024 lalu.

Sebelum terjun ke dunia pertanian empat tahun silam, Maryoto sempat berpikir enggan menjadi petani.

Sama seperti pandangan kebanyakan anak muda, dia ingin bekerja di perusahaan dan tidak ingin menjadi petani seperti orangtuanya.

“Saya dulu merasa sektor pertanian itu tidak menjanjikan, kalau jadi petani, saya beranggapan secara ekonomi nantinya mungkin begitu-begitu saja, karena saya melihat keadaan orangtua saya,” ungkapnya.

Namun, setelah bekerja di luar desa, merasakan begitu sulitnya mengadu nasib di kota, dia memutuskan pulang kampung dan menggarap 2,5 hektare lahan padinya.

“Butuh waktu tiga tahun bagi saya untuk menstabilkan keadaan ekonomi dari bertani, saya berpikir bagaimana caranya supaya para petani desa saya bisa berjaya,” ujarnya.

Muhammad Fakhrully Akbar (28), petani hortikultura di Palangka Raya melihat, perlu keberpihakan nyata dari pemerintah supaya sektor pertanian menjadi lapangan kerja yang menjanjikan.

“Sampai sekarang kami masih bergantung ke tengkulak, sebenarnya pemerintah daerah bisa membuat regulasi untuk melindungi hasil-hasil pertanian di Kalteng untuk bisa dijual di pasarnya sendiri,” ungkap Akbar saat dihubungi via telepon, Senin.

DOKUMENTASI PRIBADI Petani milenial dari Palangka Raya, Muhammad Fakhrully Akbar, menunjukkan buah semangka hasil panen dari kebunnya yang berada di Jalan Tjilik Riwut, Kecamatan Rakumpit, beberapa waktu lalu.

Akbar melihat, kondisi pasar di Kalteng, khususnya Palangka Raya sendiri, masih didominasi oleh hasil-hasil pertanian dari provinsi tetangga.

“Bukan kami menolak, tapi Palangka Raya itu bisa juga, lho, menghasilkan buah-buahan dan sayuran yang berkualitas,” ujar pemilik kebun buah Oibama Palangka Raya ini.

Namun, karena kondisi pasar yang sudah dikuasai tengkulak, petani-petani di Kalteng akhirnya gulung tikar karena hasil produksi mereka ditolak oleh pasar.

“Penjual-penjual buah dan sayur di lapak-lapak itu, jadi menolak produksi petani lokal, karena takut dimarahi tengkulak,” ucapnya.

Maka dari itu, perlu adanya peraturan daerah (perda), baik dari pemerintah kota maupun pemerintah provinsi, untuk melindungi hasil-hasil pertanian dari petani lokal.

“Insyaallah harga-harga sayur dan buah-buahan bisa terjangkau kalau hasil produksi petani lokal itu punya pasar yang jelas,” ujarnya.

Akibat keadaan ini, Akbar melihat rekan-rekan petani yang seumuran dengannya menyerah menjadi petani. Sebagian besar mengadu nasib dengan mendaftar CPNS tahun ini.

“Mereka padahal sudah semangat menggarap lahannya bertahun-tahun, tapi memang perlu ada perhatian lebih serius dari pemerintah supaya sektor ini menjanjikan,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (DTPHP) Provinsi Kalteng, Sunarti, belum memberikan respons saat dihubungi Kompas.com untuk konfirmasi perihal beberapa persoalan yang disampaikan para petani itu.

Sebelumnya, Sunarti menjelaskan, Kalteng mengalami fenomena kekurangan jumlah petani. Saat ini, Kalteng didominasi oleh petani yang berusia tua, sementara anak-anak mudanya punya minat yang rendah untuk menjadi petani.

“Kita punya lahan, tapi tidak ada petani yang menggarap, kalau lahannya ada tapi petaninya nggak ada, terus yang garap siapa?” ungkap Sunarti saat dihubungi Kompas.com, Kamis (17/10/2024).

Sunarti mengungkapkan, kondisi petani di Kalteng saat ini banyak yang sudah sepuh, dalam rentang usia di atas 50 tahun.

Berkurangnya jumlah petani terjadi karena sukarnya regenerasi petani, tersebab sebagian besar anak muda di Kalteng enggan menjadi petani.

“Kami sudah sosialisasi, mengajak anak-anak muda lulusan SMK pertanian, sarjana pertanian, untuk ke pertanian mengelola lahannya,” ungkap Sunarti.

Pemprov Kalteng mendorong anak-anak muda di Kalteng untuk turun menggarap lahan pertanian. Dia mempersilakan anak muda untuk membuat kelompok tani mandiri, pemerintah akan menyediakan lahan dan sarana penunjang.

“Silakan buat kelompok tani, kami akan bagi lahannya, sekitar 200 hektar bisa dikelola oleh 12-20 orang, nanti alat dibantu, semuanya dibantu,” ujarnya.

Sunarti mencontohkan, salah satu lahan cetak sawah sudah pihaknya buka saat ini ada pada sejumlah desa di Kecamatan Dadahup, Kabupaten Kapuas, namun saat ini sebagian besarnya tidak ada yang menggarap.

“Sudah kami buka di Dadahup itu, tapi mana yang menggarap?” ungkap Sunarti.

Pihaknya sudah mendatangkan 400 lebih mahasiswa untuk menggarap sebagian lahan sawah yang berada di Kecamatan Dadahup. Terdiri dari 375 mahasiswa yang menempuh studi Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dan 40 sisanya lulusan diploma empat pertanian.

Pihaknya juga berencana menggaet korporasi untuk menggarap lahan-lahan itu. Nantinya, lahan pertanian yang digarap perusahaan akan menerapkan sistem bagi hasil dengan pemilik lahan.

“Kalau tidak begini tidak akan selesai, mesti korporasi yang turun menggarap juga,” tutur Sunarti.

Sumber