Koalisi Masyarakat Sipil Kritik Pembentukan Dewan Pertahanan Nasional
JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi masyarakat sipil mengungkapkan keprihatinan terhadap pembentukan Dewan Pertahanan Nasional (DPN) yang dianggap tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Penambahan kewenangan yang luas dalam Pasal 3 huruf F dari peraturan presiden terkait DPN menjadi sorotan utama.
"Koalisi memandang, penambahan wewenang ini tidak sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara," ujar Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputro dalam konferensi pers di Kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (19/12/2024).
Ardi menjelaskan bahwa kewenangan yang mencakup klausul "DPN memiliki fungsi pelaksanaan fungsi lain yang diberikan presiden" memiliki makna yang cukup luas.
Ia menilai penambahan wewenang ini bersifat karet dan dapat menimbulkan multiinterpretasi.
"Luasnya kewenangan DPN memiliki potensi penyalahgunaan wewenang yang tinggi," ucapnya.
Ia juga menekankan bahwa dengan adanya kewenangan yang luas dan dapat ditafsirkan secara berbeda, DPN berpotensi menjadi lembaga superbody yang dapat membahayakan demokrasi dan hak asasi manusia.
"Dengan kewenangan multitafsir itu, DPN potensial disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dilantik oleh Presiden sebagai Ketua Harian Dewan Pertahanan Nasional.
Selain itu, Wakil Menteri Pertahanan Donny Ermawan juga dilantik sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Nasional.
Dalam pelantikan yang berlangsung di Istana, Jakarta, pada Senin (16/12/2024), Presiden memimpin acara tersebut.
"Memutuskan, menetapkan, mengangkat sejak tanggal pelantikan masing-masing Menteri Pertahanan sebagai Ketua Dewan Pertahanan Nasional. Dua, Wamenhan sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Nasional. Diberikan hak keuangan dan fasilitas lain sesuai UU yang berlaku," ujar pembawa acara saat membacakan keputusan presiden.