Komitmen Politik Mewujudkan Generasi Emas
Tahun politik 2024 telah berlalu. Tahun di mana terjadi kontestasi politik terpanjang dalam sejarah Indonesia, karena pada tahun yang sama dilakukan pemilihan anggota legislatif berbagai tingkatan, kepala negara, hingga kepala daerah. Semuanya terjadi di seluruh wilayah administratif yang diatur dengan mekanisme pemilihan langsung. Lebih dari seratus juta warga negara menggunakan hak pilihnya untuk mendapatkan para pemimpin politik terbaik.
Perlu ditelisik, apa yang menjadi alasan warga negara menggunakan hak konstitusionalnya tersebut? Terlepas kisah-kisah buram tentang politik uang dan sembako, ketidaknetralan aparat pemerintah dan sebagainya, tentunya sebagian besar warga memiliki harapan akan masa depan yang lebih baik. Semua politisi yang berkontestasi pun menyatakan hal yang sama. Mereka tampil di publik untuk kepentingan rakyat dan demi masa depan bangsa yang lebih baik.
Pertanyaannya, apa yang menjadi ancaman bagi masa depan yang lebih baik itu? Jika menggunakan diskursus masa depan, tentunya tidak akan ada penolakan bahwa generasi muda harus diutamakan. Lalu, bagaimana situasi generasi muda saat ini, dan apa acaman terhadap mereka untuk tumbuh berkembang bersama mewujudkan situasi yang ideal bagi depannya?
Sepertinya cukup sulit menemukan konsepsi atau gagasan yang brilian dari para politisi untuk kepentingan generasi masa depan. Kebanyakan politisi lebih mengandalkan populisme pragmatis untuk mendapatkan suara publik. Banyaknya jumlah pemilih muda yang mencapai 56 persen dari populasi pemilih menjadi alasan untuk menunjukkan simpati mereka terhadap kelompok itu. Mereka cenderung untuk mengakomodasi kepentingan generasi muda berupa keterwakilan pemuda dan gimik lifestyle yang pada kenyataannya dikendalikan oleh industri.
Diskursus generasi yang mencuat saat ini lebih dihiruk-pikukkan oleh pengelompokan generasi berdasarkan periode tahun kelahiran setiap 20-25 tahun. Istilah-istilah seperti generasi Baby Boomers, Gen X, Milenial (Gen Y), dan Gen Z merujuk pada kajian generasi di Amerika Serikat yang ditulis oleh William Strauss dan Neil Howe (1991). Buku mereka yang berjudul Generations The History of America’s Future 1584 to 2069 selain mengelompokkan generasi juga menyatakan bahwa sejarah Amerika Serikat (AS) bergerak dalam pola siklus 80-100 tahun; terbagi menjadi empat jenis generasi yang berulang Idealist, Reactive, Civic, dan Adaptive.
Ancaman GenerasiMenggunakan terminologi Barat khususnya AS merupakan sesuatu yang lumrah terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hal itu juga menunjukkan kemampuan universalisasi AS sebagai sumber pemikiran dan praktik global di banyak sektor kehidupan. Namun, apakah tidak ada yang relevan dengan situasi lokal? Beberapa pastinya ada, tetapi sebagian besar adalah bentuk konstruksi sosial mau pun struktural yang dirancang demi kepentingan global.
Di Indonesia, teori Strauss-Howe tentang siklus generasi bisa relevan pada generasi muda (terutama Gen Y dan Z) yang menunjukkan ciri-ciri adaptive atau reactive, karena lebih berorientasi pada nilai konsumsi dan pencarian kepuasan instan. Hal ini dapat dipandang sebagai reaksi terhadap ketidakpastian ekonomi global atau krisis sosial yang dialami oleh generasi sebelumnya.
Saat ini arus utama pengelompokan dapat dipandang sebagai upaya penyesuaian adaptasi zaman yang digerakkan oleh perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi. Sebagian besar orang melupakan perspektif kritis untuk melihat fenomena penyimpangan perilaku generasi muda, karena asyik masyuk dengan berbagai kenikmatan dan kemudahan yang diberikan oleh teknologi.
Ilmu marketing berkembang pesat dengan segala varian turunannya. Dalam industri teknologi informasi bermunculan influencer marketing, tidak hanya barang dan jasa, tetapi juga nilai-nilai baru dipromosikan untuk siap dikonsumsi terutama oleh para generasi muda. Persoalan-persoalan riil yang mengancam generasi seperti banyaknya kasus malnutrisi yang berakibat stunting, gangguan kesehatan mental, kekerasan seksual, pernikahan dini, penyalahgunaan narkoba, hampir tanpa penanganan serius.
Hingga saat ini belum ada rilis resmi dari pemerintah yang menyebutkan pencapaian target penurunan stunting telah mencapai 14 persen pada akhir 2024. Pencapaian tersebut seakan sulit diperoleh mengingat pada akhir 2023 prevalensi stunting masih di angka 21,5 persen dan hanya turun 0,1 persen dari tahun sebelumnya.
Dari beberapa kasus yang saya jumpai di beberapa lokasi, penurunan angka stunting terjadi karena faktor definisi. Stunting dialamatkan pada anak-anak usia di bawah lima tahun (balita). Kendati belum ada perbaikan gizi yang signifikan, ketika usianya melampaui lima tahun, nama anak tersebut hilang dalam daftar stunting.
Ancaman lain yang berakibat pada trauma psikologis adalah kekerasan seksual. Pada 2024 World Population Review (WPR) mencatat kasus pemerkosaan di Indonesia terjadi sebanyak 1.164 per 100.000 penduduk. Jika menggunakan data WPR yang mencatat jumlah penduduk Indonesia saat ini sebanyak 283.953.758, maka pemerkosaan di Indonesia dapat mencapai angka 3.305.222 kasus. Sebagian besar korbannya adalah anak dan remaja.
Bahaya penyalahgunaan narkoba juga tidak dapat disepelekan. Meski tergolong dalam extra ordinary crime, kenyataannya temuan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan( PPATK), transaksi ilegal narkoba terbukti sangat tinggi. Data yang mereka catat dari dalam rentang 2016 - 2021 mencapai Rp 400 triliun. Angka ini paralel dengan pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan Budi Gunawan yang menyebut prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia pada 2024 yang telah mencapai 3,3 juta orang. Pengguna utamanya adalah generasi muda.
Peneguhan Komitmen NegaraMelihat kenyataan ancaman terhadap generasi muda yang begitu besar, pemerintah yang dipimpin oleh elite-elite politik perlu mengupayakan strategi pencegahan dan penanggulangan yang holistik. Tentu ini bagian dari harapan dari seluruh rakyat baik yang berpartisipasi dalam pemilu lalu maupun tidak.
Meski dibayang-bayangi dengan kepentingan kekuasaan yang dalam pemilu lalu diperoleh dengan biaya tinggi, komitmen politik masih tetap diharapkan. Tentu ini bukan sebatas harapan utopis, karena proses politik yang mahal punya kecenderungan melahirkan kekuasaan yang koruptif dan manipulatif. Harapan ini adalah harapan konstitusional, karena jika tidak diwujudkan akan memiliki konsekuensi pelanggaran konstitusi.
Uraian di atas hanya memuat sedikit dari deret panjang masalah yang dihadapi oleh generasi muda. Ada deretan masalah lain tentang akses pendidikan, kesempatan kerja, dan sebagainya. Pemerintahan baru saat ini memiliki legitimasi yang kuat untuk mewujudkan visi-visi ideal dan janji-janji politik yang disebutkan pada masa kampanye. Agar pencapaian tersebut diperoleh dengan efek jangka panjang dan berkelanjutan, mempersiapkan komunitas adalah kunci utamanya. Pemerintah perlu membangun ekosistem pendukung melalui penguatan kapasitas keluarga, peningkatan peran organisasi masyarakat, serta kolaborasi aktif dengan sektor swasta. Komunitas harus dilibatkan dalam merancang, melaksanakan, dan memantau program-program agar selaras dengan kebutuhan lokal. Dengan terciptanya ekosistem yang inklusif dan suportif, generasi muda dapat tumbuh dalam lingkungan yang sehat, aman, dan penuh peluang untuk masa depan cerah.
Hal tersebut perlu dilakukan agar pada 2045 yang diproyeksikan sebagai tahun emas memang dapat terwujud generasi emas.
Dwi Munthaha konsultan mitigasi stunting berbasis komunitas pedesaan