Kompolnas: Polisi Pelaku Kekerasan Tak Cukup Disanksi Etik, Harus Pidana

Kompolnas: Polisi Pelaku Kekerasan Tak Cukup Disanksi Etik, Harus Pidana

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Ghufron Mabruri, menyatakan bahwa polisi yang terlibat tindakan kekerasan tak cukup bila hanya diberi sanksi etik, tetapi juga harus mendapat sanksi pidana.

"Termasuk juga pelaku yang terlibat di dalam kekerasan tadi ada sanksi yang tentu saja tidak cukup hanya sekedar etiknya aja, tapi dugaan pidananya juga perlu diproses sesuai tindakannya," kata Ghufron dalam jumpa pers bersama Amnesty International Indonesia, Senin (9/12/2024).

"Saya kira itu salah satu upaya yang penting untuk didorong ke depan untuk memastikan ketidakberulangan (kekerasan oleh polisi) itu tadi," lanjut dia.

Ia menegaskan, setiap penggunaan kekuatan yang berlebihan dilakukan anggota kepolisian, termasuk dalam hal pemakaian senjata api, harus dituntaskan kasus per kasus.

Anggota yang menjadi pelaku, lanjut Ghufron, harus dimintai pertanggungjawabannya.

Lebih dari itu, Ghufron menilai bahwa fenomena ini memerlukan evaluasi secara menyeluruh sejak tataran kebijakan.

Polisi yang memegang senjata juga perlu diberikan pengetahuan dan keterampilan serta psikotes secara berkala.

Ghufron mengakui, masih ada pekerjaan rumah untuk memastikan mekanisme kontrol, pengawasan, dan akuntabilitas penggunaan kekuatan berlebih oleh Polri, termasuk dalam hal senjata api.

"Tidak hanya internal tapi juga pengawasan eksternal bisa masuk ke dalam memastikan prosesnya benar-benar dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada, dan memastikan itu transparan," tegas dia.

Secara umum, hasil pemantauan Amnesty International Indonesia pada kurun Januari-November 2024, ditemukan 116 kasus kekerasan melibatkan polisi dengan 29 di antaranya merupakan pembunuhan di luar hukum serta 26 lainnya berupa penyiksaan dan tindakan kejam.

Polisi, menurut pemantauan Amnesty sepanjang 2024, juga terlibat dalam 28 kasus intimidasi dan kekerasan fisik, 21 penangkapan sewenang-wenang, 7 penggunaan gas air mata tak sesuai prosedur, 3 penahanan inkominikado, 1 penghilangan sementara, dan 1 pembubaran diskusi.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, beranggapan bahwa kasus kekerasan oleh kepolisian ini terus berulang karena terjadi pemakluman selama bertahun-tahun.

Ia menegaskan, angka-angka ini menunjukkan bahwa semua tindakan kekerasan ini bukan berasal dari tindakan oknum polisi yang berbuat menyimpang, tetapi memang mencerminkan pola kebijakan represif Korps Bhayangkara.

"Kekerasan polisi ini terus berulang karena tidak pernah ada evaluasi yang menyeluruh, terlebih di level pengambil kebijakan, di level komando," jelas Usman.

"Jadi tindakan-tindakan yang jelas-jelas menyalahi kode etik penegak hukum, menyalahi pedoman-pedoman dasar penggunaan kekuatan yang berlebih, itu justru dibenarkan," tambah dia.

Sumber