Konstitusi Gagal Menghentikan Politisi Barbar

Konstitusi Gagal Menghentikan Politisi Barbar

ADA politisi yang gemar melakukan korupsi, ada partai yang mencalonkan mantan-mantan koruptor, ada tersangka dan terpidana masuk dalam pemerintahan, ada pejabat yang diperiksa karena dituduh korupsi melenggang menjadi menteri. Mereka semua lolos dari sensor seleksi untuk berkuasa.

Sepertinya rekrutmen politik di negara kita masih gemar dengan politisi yang diduga melakukan korupsi. Kita masih gemar dengan politisi dan pejabat yang gemar mengumbar-umbar kejahatan tanpa rasa malu.

Ironisnya, mereka tetap dianggap sebagai orang yang paling pantas menyandang jabatan.

Politisi yang demikian itu saya definisikan sebagai orang-orang barbar (barbarian). Tidak ada standar moral dan etika dalam sistem orang barbar, siapa yang kuat itulah hukum.

Kalau korupsi, maka mereka akan menggunakan seluruh instrumen kekuasaan untuk melakukannya, termasuk agar aman dari kejahatannya.

Kalau berkompetisi, maka mereka akan menggunakan segala cara untuk menang. Tidak ada standar moralitas dan etika yang bisa membatasi sifat barbarian itu.

Politik, kata Mark Twain, adalah satu-satunya profesi yang memungkinkan Anda berbohong, mencuri, menipu, dan tetap dihormati.

Mengapa konstitusi kita tidak mampu menghalangi politisi barbar masuk pintu kekuasaan? Mengapa kita memilih orang-orang seperti itu untuk memerintah?

Pertanyaan ini cukup alot kalau diperdebatkan. Namun, dalam tulisan ini saya tidak menunjuk hidung siapapun sebagai “tersangka”-nya.

Tidak semua institusi politik dan institusi pemerintah diisi orang barbar. Sebaliknya, semua orang barbar belum tentu ada di institusi itu.

Tulisan ini hanya refleksi sekaligus pengingat, kita tidak perlu politisi yang datang kepanggung kekuasaan untuk merusak dan mencuri cita-cita kita. Kita butuh lebih dari politisi, yaitu cendekiawan dan negarawan.

Kita bernegara memerlukan kearifan dengan “maqom” kenegarawanan. Negarawan adalah mereka yang telah mencapai kearifan puncak, dan ketika melewati pembatas kekuasaan dan masuk ke dalamnya mereka memiliki standar moralitas dan etika yang luhur.

Bernegara bukan sekadar untuk memerintah, atau memilih politisi yang datang dan pergi membawa cita-cita bangsa. Lebih dari itu, bernegara membutuhkan kearifan tinggi dari semua warga negara republik.

Republik, kata James Wilson, salah satu Bapak Pendiri Amerika, dibangun dengan kumpulan kesadaran sosial atau moral yang alami.

Seorang yang mampu mengelola urusannya sendiri, dan bertanggungjawab atas perilakunya terhadap orang lain, itu tidak hanya menyatukan masyarakat, tetapi juga membuat pemerintahan republik yang demokratis.

Sebaliknya, republik selalu gagal apabila tidak diisi dan dipimpin oleh seorang yang memiliki kearifan. Republik akan runtuh, dan dalam sejarah, politisi yang meruntuhkan republik itu.

Politisi yang tidak bertanggungjawab atas kewajibannya, akan menjadi perusak tatanan republik. Dari politisi semacam ini, sistem bernegara dibentuk, dan tidak heran mereka yang akan menyumbang kegagalan itu.

Romawi Kuno adalah sejarah republik yang gagal. Dalam perjalanan sejarahnya Republik Romawi Kuno gagal menjadi republik dalam artian republik masa itu, akibat negara itu terlalu banyak memproduksi politisi.

Bersamaan dengan itu, pemilihan langsung diberlakukan dengan perluasan hak pilih rakyat di semua daerah yang sebelumnya dibatasi. Persis seperti pemilihan langsung sekarang.

Namun, hasilnya Romawi menjadi Republik para oligark, di mana panglima-panglima dengan kekuasaan dan tentaranya menggunakan kekerasan dan perang untuk mencapai jabatan sebagai konsul. Republik Romawi akhirnya runtuh, digantikan oleh sistem kekaisaran.

Kenapa Romawi gagal? Karena sistem rekrutmen politiknya dibuat dan diakali oleh politisi dan oligarki untuk keuntungan mereka.

Begitu juga dengan kegagalan republik Weimar. Republik Weimar menganggap bahwa politik liberal mereka kuat, tapi gagal menghalau politisi populis seperti Hitler.

Indonesia, dalam banyak hal memiliki unsur-unsur untuk menjadi republik yang gagal itu. Kita tidak pernah membayangkan bahwa sistem eleksi dan seleksi dalam politik dan demokrasi kita memberi jalan bagi mereka yang tidak memiliki komitmen terhadap hukum, komitmen terhadap demokrasi, terpilih dalam pemerintahan.

Seperti kata Jeffrey Winters, pengamat politik dari Universitas Northwestern Amerika Serikat, demokrasi kita lebih dekat pada "demokrasi kriminal" (Winters, 2011).

Demokrasi kriminal adalah demokrasi yang dipenuhi oleh perilaku korupsi, hukum tidak berfungsi, tidak tercapainya keadilan, hukum hanya untuk mereka yang memiliki kuasa dan uang, pejabat dikendalikan oleh oligarki politik dan ekonomi.

Dalam politik, kita menyaksikan kandidasi politik tidak lagi memperhatikan prestasi, melainkan berdasarkan kedekatan dan uang.

Tidak ada seleksi politik untuk mencari calon yang berintegrits. Justru sebaliknya, mereka yang lolos seleksi politik, terutama dari partai, adalah mereka yang menunjukkan "keberingasan" dan "kemunafikan" dan penipuan terhadap segala kebijakan politik.

Mereka yang tidak memiliki komitmen terhadap kesejahteraan rakyat dan pembangunan nasional.

Mereka yang dipilih untuk mengisi jabatan publik, baik melalui pemilihan maupun melalui seleksi, akan mendapatkan kesempatan untuk dipilih apabila mereka membuktikan bahwa mereka akan mengabaikan prinsip dan mengorbankan kehormatan demi kepentingan partai dan oligarki yang mereka layani secara lahir batin.

Bahkan orang-orang yang tidak memiliki integritas mendapatkan akses mudah untuk mendapatkan posisi di pemerintahan. Sebaliknya, mereka dengan integritas dan rasa malu akan tanggungjawabnya akan tersingkir dengan sendirinya.

Semakin kelihatan barbar untuk mengakali hukum dan konstitusi, maka semakin dijunjung untuk memerintah dan mengisi jabatan pemerintah. Seleksi politik yang demikian dalam sistem kita, selalu dimotori oleh partai politik.

Dari partai politik, kandidasi pencalonan pejabat diseleksi. Seseorang yang ingin mendapatkan jabatan sebagai anggota legislatif sedari awal sudah harus memperoleh restu partai politik.

Proses untuk mendapatkan rekomendasi pencalonan memerlukan biaya mahal. Bahkan setelah mendapatkan kemenangan, partai politik masih menjadi penentu pemenang.

Misalnya, seorang anggota DPR terpilih melalui pemilu, belum tentu dapat menjadi anggota DPR kalau partai tidak menghendakinya, meskipun dipilih langsung oleh rakyat dan mendapatkan mandat dari rakyat untuk menjadi anggota DPR.

Setiap kandidat untuk jabatan publik memerlukan dukungan partai, dan partai politik menginginkan kesetiaan para anggotanya. Bagi mereka yang memiliki uang, mereka harus membayar seluruh proses politik, mulai dari penentuan pemilihan hingga penetapan.

Sementara bagi calon yang direstui partai, memiliki kemampuan untuk melayani partai dan bandar-bandar politik, diberikan donasi politik melalui bandar-bandar itu.

Dari para donor, partai memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk menarik kandidat yang menarik dan mengikat mereka pada kemauan partai. Bahkan tidak jarang pada donator menyiapkan uang dengan merekomendasikan nama calon mereka di partai.

Siklus ini menjadikan partai politik sebagai saluran korupsi. Partai politik lewat anggota-anggota parlemen, dikendalikan untuk kepentingan bisnis dan kepentingan pribadi lainnya.

Para bandar-bandar politik cukup memberikan sejumlah besar uang dan dukungan logistik kepada partai politik dan calon anggota parlemen untuk memenangkan mereka. Partai harus memenuhi komitmen mereka kepada para donatur itu.

Komitmen dan kesetiaan itu adalah imbalan bagi donatur agar mereka bekerja untuk mendorong agenda yang diinginkan donatur, mengamankan pasal, bahkan hingga titik-koma dari undang-undang yang menguntungkan para bandar itu.

Para politisi yang dipilih demikian adalah warga negara kita yang paling tidak berprinsip, tetapi merupakan satu-satunya pilihan yang tersedia bagi rakyat dalam pemilihan umum yang ‘bebas’.

Kita semua tahu tentang "bos partai", merekalah yang mengendalikan calon-calon politik itu. Politisi tidak diseleksi berdasarkan standar moral dan etika tinggi, tetapi dipilih berdasarkan “dosa-dosa” politiknya.

Kenapa yang disediakan untuk dipilih dalam pemilihan umum, mereka yang memiliki masalah dan tersandera?

Karena, bagi bos-bos partai dan bandar-bandar partai, mereka inilah satu-satunya yang memiliki komitmen untuk mengurus kepentingan mereka.

Selain tidak memiliki rasa malu untuk berperilaku barbar (korupsi, penyelewenang, melanggar hukum), mereka juga tersandera oleh masalah-masalah mereka sendiri, sehingga jabatan hanya untuk melayani kepentingan bos dan bandar.

Hanya mereka yang tidak bermoral yang memiliki kelincahan untuk mengumpulkan "dana gelap", dan seluruh leksikon manipulasi politik.

Inilah yang mendasar dalam demokrasi kita, yaitu membiarkan partai politik mengendalikan sistem politik sepenuhnya, bahkan dengan cara-cara yang beringas.

Akibatnya, hukum tidak berjalan, pembangunan hanya menjadi slogan politik, kesejahteraan rakyat hanya utopia.

Dalam sistem demikian itu, demokrasi, politik dan konstitusi hanya menjadi alat bagi para kriminil untuk memperluas kejahatan mereka. Itulah yang disebut Winters sebagai demokrasi kriminal - demokrasi tanpa hukum.

Kita saksikan bersama, hukum di Indonesia justru tunduk kepada penguasa. Predikat sebagai negara demokrasi merosot, kekuasaan benar-benar menjadi pemilik negara, dan oligarki bebas menguasai segalanya.

Konstitusi kita setelah diamandemen, tidak memiliki pijakan kearifan yang bisa menjadi penangkal orang-orang barbar untuk naik tahta. Konstitusi hanya menyediakan kompetisi yang bebas, dengan syarat administrasi yang formal-formal saja.

Kekosongan nilai moral dalam konstitusi itupun dituangkan dalam peraturan pelaksana seperti undang-undang. Dan aturan pelaksana justru memberikan karpet merah bagi mereka yang tidak memiliki komitmen terhadap cita-cita bangsa.

Tidak mengherankan, setiap saat kita melihat begitu banyak orang yang bermasalah, baik itu korupsi, masalah moral, integritas, dapat kembali menduduki jabatan penting dalam pemerintahan.

Ada mantan koruptor jadi Anggota DPR, ada elite yang sudah dipanggil aparat penegak hukum karena korupsi diberi lagi jabatan. Belum lagi tindakan “maksiat” berupa penggunaan obat-obat terlarang dan mabuk-mabukan serta elite yang senang dengan tindakan premanisme dan brutalitas.

Mereka justru diberi kekuasaan untuk terus memerintah. Lewat partai politik, mereka melakukan segala hal, dan dengan rekomendasi partai politik mereka tidak sepi dari jabatan yang menterang itu.

Standar moralitas pejabat Indonesia sungguh sangat rendah sekali. Seharusnya, seorang pejabat, jangankan terbukti melakukan kejahatan berupa korupsi dan tindakan pidana berat lainnya, terbukti melakukan perbuatan tercela atau ada dugaan bahwa dia memiliki perilaku tercela, harusnya sudah diwaspadai dari awal.

Namun sistem seleksi dan election kita tidak pernah punya standar untuk menghalangi calon-calon pejabat seperti ini.

Sehingga bangsa ini semakin kekurangan panutan dan teladan, yang pada akhirnya akan dipimpin oleh segerombolan orang-orang dengan integritas dan moralitas rendah.

Keadaan ini mengharuskan kita untuk mengevaluasi kembali sistem ketatanegaraan kita. Ada yang salah dari sistem politik dan demokrasi Indonesia pasca-Perubahan UUD 1945.

Situasi politik dan kenegaraan yang sedang dihadapi Indonesia sekarang ini memerlukan seorang presiden seperti yang diinginkan oleh para pendiri bangsa ini.

Presiden diasumsikan oleh pembuat UUD 1945 sebelum diubah, merupakan pancaran kearifan, pengintegrasi, dan bapak bagi seluruh bangsa Indonesia.

Asumsi ini, menurut Margarito Kamis (2019), khas Indonesia, integratif. Presiden berada di pusat seluruh soal bernegara. Semua soal berbangsa dan bernegara menjadi tanggung jawabnya.

Presiden bukan sekadar mengelola negara, dia harus orang yang mampu mengintegrasikan seluruh bangsa, dan dia adalah bapak bagi seluruh bangsa Indonesia.

Pekerjaan presiden harus mencerminkan parpaduan unsur otak dan hati. Presiden harus menempatkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia di atas kepentingan apapun, termasuk kepentingan partai politik.

Presiden harus, dari waktu ke waktu, menampilkan eksistensi pemerintahannya sebaik-baiknya. Harus benar-benar menampilkan dirinya sebagai orang arif, pengintegrasi, bapak bangsa yang besar ini.

Di tengah semrawutnya kondisi perpolitikan Indonesia sekarang ini, ada angin segar yang datang dari Presiden baru Indonesia, Prabowo Subianto.

Dalam pidatonya di Sidang Istimewa MPR di Senayan, 20 Oktober 2024 , Prabowo dengan tegas dan lugas menyatakan Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Dengan keras Prabowo mengatakan “Kita harus menghadapi kenyataan, masih terlalu banyak kebocoran, penyelewengan dan korupsi di Negara kita.”

“Kita harus berani mengakui terlalu banyak kebocoran-kebocoran dari anggaran kita, penyimpangan-penyimpangan, kolusi di antara pejabat politik, pejabat pemerintah, di semua tingkatan, dengan pengusaha-pengusaha nakal, pengusaha-pengusaha yang tidak patriotik," tegasnya.

Pidato ini adalah blueprint pemerintahan Prabowo. Dan dia mempertegas pada Rapat Paripurna Kabinet, bahwa pidatonya di MPR itu adalah garis umum kebijakan yang akan diambil selama pemerintahannya.

Semua rakyat bersorak mendengarkan pengakuan yang jujur dari seorang presidennya untuk pertama kalinya setelah reformasi. Sebuah arah kebijakan yang benar-benar ingin memperbaiki bangsa dari penyimpangan, dari korupsi dan dari pejabat dan pengusaha yang “bajingan”.

Prabowo telah menunjukkan bahwa dia tidak takut untuk menghadapi para “mafia” anggaran dan hukum di Indonesia. Tegas dan jujur itulah yang memberi harapan bagi rakyat. Untuk hal ini, Prabowo memiliki kearifan seorang pemimpin republik.

Setelah membongkar semua “citra-citra” di balik angka-angka kesuksesan yang fatamorgana itu, dia menghendaki negara yang bedaulat penuh dengan swasembada di berbagai bidang pangan dan energi. Karena itu, dia mengingatkan bahwa korupsi dan penyelewenangan harus diberantas.

Selain harapan itu, kita juga berharap pada presiden baru untuk memikirkan secara komprehensif mengenai seleksi sistem politik dan hukum kita. Ini wajib dilakukan perubahan-perubahan secara mendasar, sehingga tidak melanggengkan politik yang merusak bangsa.

Karena akar masalah yang paling mendasar dalam persoalan bangs akita adalah sistem politik dan hukum kita.

Persoalan rekrutmen pejabat politik, kita tidak punya pintu gerbang untuk menghalangi orang-orang yang tidak bermoral mendapatkan posisi dalam kekuasaan. Inilah yang menjadi tugas utama Presiden untuk diperbaiki.

Sebagai anak bangsa ini, saya secara pribadi menaruh harapan besar kepada Presiden Prabowo untuk mengubah tatanan politik kita yang sudah semakin hancur ini, sehingga bisa diperbaiki Kembali.

Sumber