Konteks dan Substansi Kemungkinan Pemberian Maaf Untuk Koruptor

Konteks dan Substansi Kemungkinan Pemberian Maaf Untuk Koruptor

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto soal kemungkinan memberi maaf kepada koruptor yang mengembalikan hasil korupsi harus dipahami secara substansial dan kontekstual. Inti pernyataan tersebut menyatakan pemberantasan korupsi adalah pengembalian kekayaan negara.

Tindak pidana korupsi terutama di sektor sumber daya alam telah menimbulkan kerugian negara yang sangat signifikan. Penegakan hukum selama ini yang hanya berorientasi pemenjaraan pada pelaku tentu kurang maksimal. Karena tujuan terpenting dalam pemberantasan korupsi adalah pengembalian kerugian keuangan negara.

Banyak kasus terjadi di mana pelaku tindak pidana korupsi terkesan lebih memilih pasang badan menjalani pidana dalam waktu lama daripada mengembalikan hasil kejahatan korupsi. Di sisi lain aparat penegakan hukum memiliki keterbatasan dalam melacak hasil korupsi baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri.

Pernyataan Pak Prabowo sebagai Presiden yang merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan harus ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum dengan tetap mematuhi konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan Putusan MK No 25/PUU-XVI/2016 maka ketentuan Pasal 2 dan 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, maka ‘kerugian negara atau perekonomian negara’ harus nyata.

Adapun pengembalian kerugian negara merupakan upaya untuk memulihkan kerugian negara. Maka dalam hal ini terdapat 2 konteks.

Konteks yang pertama, yakni jika dilakukan pada masa sebelum dan pada tahap penyelidikan, maka kerugian negara tersebut dapat dikatakan belum ditentukan sebagai kerugian negara.

Hal ini sama seperti pada Pasal 17-23 UU 15/2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, di mana Pejabat harus menindaklanjuti temuan BPK. Jika tidak barulah dilanjutkan kepada aparat penegak hukum.

Lebih lanjut dalam Pasal 23 UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara disebutkan bahwa lembaga negara yang memiliki kewenangan dalam mengelola keuangan negara melaporkan penyelesaian kerugian negara/daerah kepada BPK selambat-lambatnya 60 hari setelah diketahui terjadinya kerugian negara/daerah dimaksud.

Sedangkan dalam konteks kerugian negara, jika pihak yang bertanggung jawab mengembalikan kerugian dalam waktu 60 hari, kasus tersebut dapat dianggap selesai secara administratif. Namun, jika tidak, hasil audit dapat menjadi dasar penyelidikan tindak pidana korupsi. Setelah 60 hari, jika tindak lanjut tidak dilakukan atau kerugian negara tidak dikembalikan, BPK dapat menyerahkan temuan tersebut kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti secara pidana.

Konteks kedua, dalam hal telah masuk tahap penyidikan dan telah ditemukan atau ditentukan, kerugian negara maka penyidik dapat terus menindaklanjuti atau tidak menghapuskan unsur pidananya sebagaimana Pasal 4 UU Tipikor.

Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara memang tidak menghapuskan pidana akan tetapi dalam Penjelasan pasal 4 UU Tipikor menyebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara menjadi salah satu faktor yang meringankan.

Selain itu, ada ketentuan diskresi dari penegak hukum untuk menghentikan perkara atau penuntutan hukum, karena lebih memperhatikan kemanfaatan dan kepentingan negara atau mengedepankan pengenaan Sanksi Denda.

Demikian pula, sama halnya seperti prinsip pemutihan sebagaimana dilakukan sesuai dengan perubahan dalam UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan pada UU Cipta Kerja yaitu Pasal 110a dan Pasal 110b. Pemutihan ini dilakukan terhadap perkebunan yang memiliki izin berusaha dan sudah terlanjur namun belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, dapat dilanjutkan dengan syarat melakukan proses perizinan dalam kurun waktu 3 tahun. Jika dalam kurun waktu tersebut tidak mengurus izin, maka dikenakan denda.

Hal ini dilakukan untuk mengedepankan penerimaan negara dan langkah perbaikan. Bahkan. Tidak tertutup kemungkinan jika pengembalian hasil korupsi yang signifikan, maka Presiden bisa memberikan amnesti berdasarkan konstitusi.

Demi kepentingan negara, sebagaimana diatur dalam Konstitusi dan peraturan perundang-undangan, Presiden memiliki hak dan kewenangan untuk memberikan amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR. Yang perlu dikedepankan dalam hal ini adalah amnesti yang diberikan merupakan hak Presiden yang dilakukan untuk Kepentingan Negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD NRI 1945 dan Pasal 71 huruf i UU MD3. Amnesti diberikan untuk memberikan rasa keadilan dan tentunya Kemanfaatan.

Mempertimbangkan untuk memaafkan pelaku yang mengembalikan kerugian negara kepada negara secara filosofi dimungkinkan karena terjadi pergeseran penghukuman yang tidak lagi menekankan balas dendam dan efek jera kepada pelaku, tetapi menekankan pada keadilan korektif, restoratif dan rehabilitatif dimana hal tersebut telah diadopsi dalam ketentuan KUHP yang baru.

Beberapa praktik di negara lain dapat dilihat terkait dengan Amnesti koruptor yang memiliki praktik dan konsep beragam. Italia tahun 2001 menerapkan Scudo Fiscale untuk warga negara yang menyembunyikan aset di luar negeri.

Kemudian, pada 2012, Spanyol memberlakukan amnesti pajak untuk warga negara yang melaporkan aset tersembunyi. Pada 2009, Swiss memberlakukan program amnesti untuk warga negara yang melaporkan rekening bank tersembunyi.

Habiburokhman. Ketua Komisi III DPR RI.

Simak juga video Mahfud Kritik Wacana Prabowo Ampuni Koruptor Menurut Hukum Tak Boleh

[Gambas Video 20detik]

Sumber