Kontras Sebut Pelanggaran HAM Paling Banyak Dilakukan Institusi Polri
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat bahwa kekerasan yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) paling banyak dilakukan oleh institusi Polri.
Kekerasan yang dimaksud mencakup peristiwa extrajudicial killing (pembunuhan di luar keputusan pengadilan), penyiksaan, dan penyalahgunaan wewenang.
“Dari berbagai catatan pemantauan yang selalu dilakukan oleh Kontras setiap tahunnya, angka peristiwa kekerasan atau pelanggaran hak asasi manusia yang tertinggi selalu dilakukan oleh institusi kepolisian,” ungkap Wakil Koordinator Kontras Andi Muhammad Rezaldy dalam tayangan YouTube Yayasan LBH Indonesia, Minggu (8/12/2024).
Berdasarkan data Kontras, sejak 2020 hingga awal Desember 2024, telah terjadi 353 kasus kekerasan yang mengakibatkan 410 orang tewas di institusi Polri.
Khusus untuk peristiwa extra judicial killing, antara Desember 2023 hingga November 2024 tercatat 45 kasus.
“Terkait dengan peristiwa extrajudicial killing, dari Desember 2023 hingga November 2024, terdapat 45 peristiwa yang mengakibatkan 47 korban tewas,” jelas Andi.
Dari 47 korban tersebut, 27 orang di antaranya berkaitan dengan tindakan kriminal, sedangkan 20 orang lainnya tidak terkait dengan tindakan kriminal.
“Hal ini memperlihatkan ada persoalan yang sangat mendasar dan serius mengenai penggunaan kekuatan oleh institusi kepolisian,” tambahnya.
Meskipun Polri memiliki berbagai peraturan internal yang membatasi penggunaan kekuatan dalam menjalankan tugas, kenyataannya, banyak anggota kepolisian yang cenderung menggunakan kekuatan secara berlebihan.
Dalam konteks penggunaan senjata api, polisi tidak bisa langsung menggunakannya tanpa melalui tahapan tertentu, seperti tembakan peringatan dan pendekatan penggunaan kekuatan secara lunak.
“Dan yang terjadi, polisi cenderung menggunakan penggunaan kekuatan yang sangat ekseksif dan mengakibatkan banyak sekali peristiwa yang mengakibatkan terhadap korban luka maupun korban jiwa,” ujarnya.
Lebih lanjut, Andi mengungkapkan bahwa pelanggaran hukum atau HAM yang dilakukan oleh anggota kepolisian sering kali tidak ditindak secara tegas.
Bahkan, koalisi masyarakat sipil yang berusaha melaporkan kekerasan oleh oknum polisi sering kali menemui penolakan.
“Apabila laporan diterima, prosesnya sangat lambat dan sering kali anggota kepolisian yang bertanggung jawab hanya diproses secara etik atau disiplin,” jelasnya.
Dia menambahkan, dari banyaknya kasus kekerasan oleh anggota polisi, yang sering kali diproses adalah polisi di level bawah atau berpangkat rendah.
Sementara itu, anggota polisi dengan pangkat lebih tinggi jarang dihadapkan pada mekanisme peradilan pidana.
“Kondisi ini menunjukkan adanya kultur permisif dalam institusi kepolisian untuk melindungi anggotanya,” ujar Andi.
“Yang dikhawatirkan adalah jika proses penegakan hukum menyentuh anggota dengan pangkat tinggi, itu dapat membongkar peristiwa-peristiwa lain. Ini menjadi persoalan yang sangat serius,” katanya.