Kontras Serahkan Surat ke MPR, Tolak Rencana Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto

Kontras Serahkan Surat ke MPR, Tolak Rencana Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) memberikan surat ke MPR RI yang isinya menolak rencana pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto.

Koordinator Kontras Dimas Bagus Arya mengatakan, mestinya MPR mempertimbangkan untuk tidak mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998.

“Jadi kami melihat bahwa pencabutan nama Soeharto itu bisa dipakai untuk melegitimasi beberapa manuver-manuver dari negara untuk memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto,” ujar Dimas di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/11/2024).

“Tanpa kemudian melihat kejahatan-kejahatan dan juga praktik-praktik yang merugikan negara selama era kepemimpinan Soeharto 32 tahun,” sambung dia.

Ia menyatakan, sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) mestinya gelar pahlawan juga mempertimbangkan rasa keadilan dan kemanusiaan.

Sementara, Kontras mengungkapkan, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, kekerasan, kolusi, korupsi, dan nepotisme banyak terjadi di pemerintahan Orde Baru.

“Serta tindakan-tindakan lainnya yang berkaitan dengan ejawantahan dari praktik pemerintahan yang otoriter dan totaliter, yang seharusnya tidak layak berdasarkan Undang-Undang GTK diberikan gelar pahlawan,” tuturnya.

Terakhir, Dimas berharap MPR RI mempertimbangkan surat yang diberikan oleh Kontras dan beberapa lembaga lain soal penolakan gelar pahlawan untuk Soeharto.

“Jadi, hari ini kami menyerahkan surat dan sudah diterima oleh sekretariat umum MPR RI per tanggal ini, kami memberikan surat desakan ini dan menyampaikan kira-kira aspirasi kami,” paparnya.

“Bahwasannya gelar pahlawan kepada Soeharto itu harusnya tidak diberikan oleh negara,” imbuh dia.

Diketahui MPR RI periode 2019-2024 mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998.

Ketua MPR RI kala itu, Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengatakan, nama Soeharto dicabut dari ketetapan itu karena sudah meninggal dunia sehingga ketentuan pidanannya gugur.

Di sisi lain, Bamsoet juga meminta agar jangan ada lagi dendam yang diwariskan pada anak bangsa atas peristiwa kelam di masa lalu.

Sumber