Korban Erupsi Lewotobi Dapat Rumah dan Dana Tunggu Rp 500 Ribu Per Bulan
LARANTUKA, KOMPAS.com – Pemerintah membangun rumah untuk para korban erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Langkah ini diambil sebagai respons terhadap dampak bencana yang telah memaksa ribuan warga mengungsi.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal TNI Suharyanto mengaku telah membentuk satuan tugas penanganan darurat.
Satgas yang melibatkan BNPB, BPBD, Kementerian Sosial, Kementerian Energi, dan Sumber Daya Mineral (ESDM), serta dibantu oleh TNI dan Polri ini, bertugas mendata semua korban erupsi.
“Waktu pengungsian cukup lama karena masyarakat di bawah radius tujuh kilometer dari Gunung Lewotobi tidak boleh kembali ke tempat masing-masing, meskipun berada di luar zona bahaya.”
Demikian ujar Suharyanto dalam konferensi pers yang disiarkan langsung melalui saluran YouTube BNPB Indonesia, Kamis pagi (7/11/2024).
Ia menambahkan, langkah-langkah rehabilitasi dan rekonstruksi telah dilakukan meskipun masa tanggap darurat belum selesai.
Proses pembangunan rumah dan relokasi tentu membutuhkan waktu, mulai dari perencanaan hingga persiapan.
Suharyanto mengaku menyadari, masyarakat tidak mungkin tinggal lama di tempat pengungsian.
“Meskipun semakin hari semakin baik dan lengkap apa yang dibutuhkan, kita sepakat bahwa tinggal di pengungsian tidak akan nyaman,” tegas dia.
BNPB, kata dia, akan memberikan opsi kepada setiap keluarga, termasuk bagi mereka yang memiliki keluarga di tempat lain dan ingin menumpang di sana.
“Kami akan mendata dan mereka berhak mendapatkan dana tunggu hunian, sambil menunggu rumah yang dibangun Pemerintah selesai,” ungkap Suharyanto.
“Target kami adalah enam bulan untuk menyelesaikan pembangunan, sehingga dana tunggu hunian adalah Rp 500 ribu per bulan selama enam bulan, totalnya Rp 3 juta per keluarga,” sebut Suharyanto.
Bagi warga yang tak memiliki keluarga, tetangga, atau saudara, pihaknya akan bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk membangun hunian sementara.
“Hunian sementara adalah rumah yang bersifat tidak tetap. Kami sudah berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk menentukan titik atau tempat yang bisa diterima masyarakat,” ujar dia.
Ia menambahkan, mekanisme hunian sementara ini akan tetap dibiayai oleh pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, serta kementerian terkait.
“Kami sudah melakukan pendataan mana saja masyarakat yang tidak bisa kembali ke tempat asalnya, karena dikhawatirkan akan menjadi korban apabila terjadi erupsi di kemudian hari,” lanjut dia.
Suharyanto lantas menekankan pentingnya memastikan tidak ada aktivitas manusia dalam radius aman tujuh kilometer dari gunung tersebut.
“Oleh karena itu, harus dilakukan pendataan dan menentukan tempat yang tepat untuk relokasi,” sambung dia.
Ia menyebutkan, ada beberapa aset tanah milik Pemerintah Daerah maupun milik masyarakat yang akan digunakan sebagai lokasi relokasi. “Hal ini perlu dirapatkan di tingkat menteri,” sambung dia.
“Nanti kami akan meminta rapat tingkat menteri yang dipimpin oleh Menko PMK, sehingga kementerian terkait dapat berkoordinasi."
"Berdasarkan pengalaman bencana erupsi di tempat lain, BNPB akan bekerja sama dengan Kementerian Perumahan Rakyat untuk membangun rumah bagi masyarakat yang terdampak dan direlokasi,” tambah dia.