Korupsi dan Pengampunan, Apakah Negara Bisa Memaafkan?

Korupsi dan Pengampunan, Apakah Negara Bisa Memaafkan?

WACANA kontroversial mengampuni koruptor kembali mengemuka. Koruptor bisa diampuni asalkan mengembalikan uang hasil korupsi ke negara.

Korupsi merupakan tindakan yang merusak bangsa ini. Kejahatan korupsi setara dengan pembunuhan massal (genosida) atau kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).

Berdasarkan data Indonesian Corruption Watch (ICW), kerugian negara akibat korupsi dari 2013 hingga 2023 tercatat sebesar RP 238,14 triliun.

Menurut Bung Hatta, salah satu proklamator kemerdekaan Indonesia, korupsi adalah musuh besar bagi negara karena bisa merusak sendi-sendi kehidupan bangsa, menciptakan ketidakadilan, dan menghambat kemajuan.

Hatta menekankan pemimpin harus jujur, tidak serakah, dan mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.

Mahfud MD pernah menyatakan, jika bangsa ini tidak ada korupsi, maka negara mampu memberikan gaji kepada seluruh orang di Indonesia sebesar Rp 20 juta per bulan tanpa kerja, termasuk anak kecil.

Penyataan Mahdud MD tersebut memberikan penekanan bahwa Indonesia sesungguhnya negeri kaya raya jika dikelola dengan benar. Sekali lagi dengan catatan tidak ada celah korupsi di negeri ini.

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang dirilis Lembaga Transparancy International (TI) tahun 2024 hanya di angka skor 34, tidak bergerak dari tahun lalu.

Jika mendekati angka 100, maka negara semakin bersih. Sebaliknya, jika mendekati angka 0, maka negara semakin korup dan kotor. Jadi kita bisa menilainya sendiri, angka 34 lebih dekat dengan angka 0 atau angka 100?

Skor 34 pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) mencerminkan situasi memprihatinkan. Angka tersebut menggambarkan secara jelas tingginya tingkat korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di Indonesia.

Meskipun ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang masih menjalankan fungsinya, tetapi stagnasi skor ini mengindikasikan bahwa tantangan dalam pemberantasan korupsi masih sangat besar.

Hal ini menandakan, meskipun ada perbaikan di beberapa sektor, secara keseluruhan sistem pemerintahan, hukum, dan penegakan anti-korupsi masih perlu diperkuat agar bisa benar-benar efektif dalam memberantas praktik korupsi yang sudah merusak banyak aspek kehidupan negara.

Selama dua periode pemerintahan Jokowi, Indek Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia tidak menunjukkan peningkatan signifikan.

Oleh karena itu, semestinya agenda pemberantasan korupsi menjadi tugas penting dan prioritas strategis bagi pemerintahan saat ini. Sebaliknya, tidak disederhanakan dengan memaafkan koruptor begitu saja.

Ada tiga pandangan dalam pemberian maaf kepada koruptor. Pertama, pandangan sosial.

Dari sudut pandang masyarakat, memaafkan koruptor kerap kali dianggap sebagai penghianatan pada keadilan sosial.

Korupsi tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menciptakan kemiskinan terstruktur pada rakyat hingga hilangnya kepercayaan rakyat kepada institusi negara.

Kedua, pandangan agama. Dalam berbagai ajaran agama, memberikan maaf merupakan bagian dari nilai luhur yang diajarkan agama sebagai bentuk kebesaran hati dan kemanusiaan.

Menurut agama, manusia adalah tempat salah dan lupa. Namun, konteks pemberian maaf kepada koruptor sering kali memunculkan perdebatan. Bahkan dalam ajaran salah satu agama secara tegas bahwa seorang pencuri bisa dipotong tangannya agar memiliki efek jera.

Ketiga, sudut pandang hukum. Pemberian maaf kepada koruptor bisa dalam bentuk grasi atau amnesti yang diberikan oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas. Pertimbangannya soal kemanusiaan dan rekonsiliasi nasional.

Namun, kebijakan ini kerap kali menimbulkan kontroversi karena dianggap melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air. Dengan demikian, pemberian maaf kepada koruptor perlu dikaji ulang dan membutuhkan pendekatan matang.

Dampak korupsi di Indonesia sangat luas dan memengaruhi berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.

Tentu secara umum, korupsi menghambat pembangunan, menciptakan kesenjangan sosial dan merusak tatanan demokrasi yang semestinya menghadirkan rasa keadilan sosial di masyarakat Indonesia.

Pertama, korupsi memiliki dampak pada ekonomi. Korupsi menggerogoti perekonomian negara, mengalihkan sumber daya yang semestinya digunakan untuk pembangunan negara dan pemberdayaan sumber daya manusia, tetapi malah dimanfaatkan untuk memperkaya individu atau kelompok tertentu.

Hal ini yang menyebabkan anggaran menjadi tidak efektif, program pemerintahan tidak berjalan sesuai rencana, kualitas insfrastruktur dan layanan kepada rakyat semakin menurun.

Sementara itu, pertumbuhan perekonomian negara semakin melambat dibadingkan dengan negara-negara yang bersih dari praktik korupsi. Jad, tidak ada negara maju yang memiliki tingkat korupsi akut.

Kedua, keadilan sosial. Korupsi memperburuk keadilan sosial. Amanah sila kelima tidak akan terwujud jika negara masih dikuasai kleptokrat.

Sumber daya yang semestinya digunakan untuk mempercepat program pembangunan justru diselewengkan oleh para koruptor yang berada di posisi kekuasaan.

Hal ini akan memperburuk kualitas hidup banyak warga yang semestinya memperoleh hak-hak dasar mereka sesuai dengan amanah undang-undang, hak kehidupan yang layak dan pendidikan.

Akibatnya kita tidak akan mungkin bisa berkompetisi di tengah dunia global kalau tingkat pendidikan bangsa ini masih rendah.

Ketiga, dampak politik. Korupsi juga memiliki dampak signifikan terhadap dunia politik, menggrogoti integritas sistem pemerintahan dan merusak kepercayaan pada lembaga-lembaga negara.

Misalnya, ketika pejabat negara terlibat korupsi, maka tidak hanya sebagai bentuk penghianatan kepada rakyat yang memberikan amanah kepadanya, tetapi juga menciptakan dan menggambarkan iklim politik yang penuh dengan penyalahgunaan kekuasaan, memperburuk tranparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan politik.

Kebijakan yang semestinya prorakyat pada akhirnya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu.

Akibatnya tingkat partisipasi politik semakin menurun seiring dengan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada elite politik.

Oleh karena itu, sebelum mengambil tindakan memaafkan koruptor, perlu ada pembenahan tata kelola pemerintahan yang baik. Akuntabilitas dan keadilan merupakan dua pilar utama dalam sistem dan pemerintahan yang ideal.

Dalam konteks pengampunan, keduanya sangat penting untuk memastikan bahwa keputusan presiden tidak hanya adil, tetapi juga dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat Indonesia.

Transparansi dalam proses pengampunan koruptor sangat penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan pemerintahan.

Setiap langkah atau kebijakan yang diambil akan berdampak jangka panjang, maka perlu dijelaskan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.

Hal ini juga dilandasi dengan dasar hukum dan alasan mengapa keputusan itu diambil dan mekanisme evaluasi yang memungkinkan publik untuk mengawasi dan memberikan masukan dan saran.

Tanpa transparansi memadai, sistem pengampunan akan sulit diterima oleh masyarakat. Sebaliknya malah menambah tingkat ketidakpercayaan pada sistem hukum dan pemerintah.

Korupsi sebagai pelanggaran yang merusak tatanan negara dan mengakibatkan kemiskinan terstruktur tidak semestinya dianggap sebagai tindakan yang layak diampuni begitu saja.

Korupsi adalah kejahatan ekstraordinary yang telah menghianati kepercayaan rakyat dengan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, yang mengakibatkan kerusakan ke banyak hal dalam tata kelola pemerintahan. Memaafkan koruptor berarti kita berpihak pada kejahatan besar.

Memaafkan koruptor tanpa memberikan hukuman setimpal hanya akan memperburuk sistem yang sudah rusak, dan semakin mendorong terjadinya praktik koruspi di masa yang akan datang.

Pengampunan terhadap koruptor itu artinya memberikan izin bagi pelaku untuk mengulangi tindakan serupa tanpa rasa takut akan konsekuensi hukum, yang pada akhirnya merugikan kepetingan negara.

Selain itu, memberikan pengampunan kepada koruptor merusak prinsip keadilan sosial yang menjadi dasar negara demokrasi.

Keputusan hukum harus merepresentasikan rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya bagi segelintir yang memiliki kekuasaan atau kedudukan penting dalam negara ini.

Sering kita prihatin, pencuri ayam saja diganjar setimpal oleh masyarakat, jika kita bandingkan kerugiannya sangat jauh dengan praktik korupsi di negara ini.

Oleh karena itu, negara harus menegaskan bahwa tidak ada tempat bagi koruptor dalam sistem pemerintahan hukum yang bersih, serta juga memastikan bahwa pelaku diberi hukuman tegas dan setimpal sesuai dengan perbuatannya.

Dengan menegakkan hukum secara adil, negara tidak hanya memberikan efek jera, tetapi juga mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap integritas institusi negara.

Sumber