Korupsi Pengadaan Truk, Eks Sestama Basarnas Didakwa Perkaya Diri Sendiri Rp 2,5 M dan Pengusaha Rp 17,9 M
JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Sekretaris Utama Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Sestama Basarnas) Max Ruland Boseke didakwa memperkaya diri sendiri Rp 2,5 miliar dalam korupsi pengadaan truk angkut personel dan rescue carrier vehicle tahun anggaran 2014.
Max juga disebut memperkaya Direktur CV Delima Mandiri sekaligus penerima manfaat PT Trikarya Abadi Prima, William Widarta selaku pemenang lelang dalam proyek ini sebesar Rp 17.944.580.000
“Memperkaya WIlliam Widarta sebesar Rp 17.944.580.000 dan memperkaya terdakwa Max Ruland Boseke sebesar Rp 2.500.000.000,” kata Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Richard Marpaung dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (14/11/2024).
Jaksa Richard menyebut, penerimaan tidak sah yang diterima Max Ruland dan William merugikan keuangan atau perekonomian negara sebesar Rp 20.444.580.000.
Dalam proses lelang pengadaan ini, kelompok kerja (pokja) disebut membuat dokumen lelang dengan spesifikasi teknis dan harga-harga barang yang akan dibeli.
Dalam rapat pokja telah disepakati dan diatur bahwa perusahaan William Widarta akan menjadi satu-satunya peserta yang memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan panitia pengadaan.
Selain itu, dalam proses pengadaan ini, Anjar Sulistiyono yang ditunjuk sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) tidak mengkaji ulang dokumen pengadaan.
Ia langsung menjadikan dokumen itu sebagai kerangka acuan kerja (KAK) dan dasar penetapan harga perkiraan sendiri (HPS).
“HPS tidak dikalkulasikan berdasarkan keahlian serta tidak didasarkan pada data yang dapat dipertanggungjawabkan,” tutur Jaksa Richard.
Dalam proyek ini, Basarnas membeli puluhan truk angkut personel 4 WD dengan pembiayaan Rp 42.558.895.000. Padahal, dana yang sebenarnya digunakan untuk pembiayaan itu hanya Rp 32.503.515.000.
Artinya, terdapat selisih pembayaran sebesar Rp 10.055.380.000.
Sementara itu, pembayaran rescue carrier vehicle sebesar Rp 43.549.312.500 dari nilai pembiayaan sebenarnya Rp 33.160.112.500. Artinya terdapat selisih Rp 10.389.200000.
Kedua selisih itu kemudian dihitung sebagai kerugian keuangan negara, sebagaimana Laporan Hasil Perhitungan Investigatif Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Karena perbuatannya, Max, Anjar, dan William didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Korupsi juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.