KPK Sindir Imigrasi soal Kasus Tambang Ilegal di Lombok yang Melibatkan WN China
MATARAM, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyindir kinerja Imigrasi Mataram terkait penanganan hukum kasus tambang ilegal di wilayah Sekotong, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang melibatkan Warga Negara Asing (WNA) asal China.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Korsup Wilayah V KPK, Dian Patria mengingatkan agar Imigrasi Mataram dan aparat penegak hukum (APH) serius menangani kasus tambang emas ilegal di Sekotong.
"Perlu keterbukaan, atensi. Imigrasi ini kok lebih mudah tangkap teroris daripada orang asing," ujar Dian pada Senin (11/11/2024).
Dian mengingatkan jangan sampai ada transaksi di balik kasus tersebut, seperti suap dan gratifikasi.
Dalam hal ini, Dian mengungkit kasus dugaan suap yang menyeret Imigrasi pada tahun 2019.
Dian mengaku mendapatkan beberapa informasi bahwa penanganan kasus yang bertempat di Desa persiapan Belongas, Kecamatan Sekotong tersebut melenceng.
"KPK sudah pernah ada kasus (dengan Imigrasi). Imigrasi dari Mataram masuk penjara. Itu aja tanggapan saya," ungkap Dian.
Begitu juga dengan penanganannya. Lebih-lebih saat ini ada informasi bahwa plang larangan aktivitas tambang emas yang dipasang KPK bersama sejumlah pihak telah dicabut.
"APH harus tegas. Ini ada apa, sudah bertahun-tahun," ujarnya.
Sebelumnya, Imigrasi menyebut tujuh dari 15 tenaga kerja asing asal China sudah meninggalkan Indonesia sejak beberapa waktu lalu.
Kasi Intelejen dan Penindakan (Inteldak) Kantor Imigrasi Kelas I TPI Mataram Iqbal Rifai mengatakan, sesuai dengan Kitas yang mereka miliki, para WNA tersebut bukan merupakan pekerja pada tambang ilegal.
"Mereka berada di wilayah Sekotong dan belum tentu juga berada di tambang kemarin yang sempat bermasalah," kata Iqbal, Selasa (22/10/2024) lalu.
Pihak Imigrasi mengaku dua kali melayangkan surat pemanggilan terhadap mereka. Namun para TKA China belum juga mengindahkannya.
Iqbal mengatakan, delapan WNA yang masih berada di Indonesia tersebut belum dilakukan pencekalan. Alasannya, karena belum ada aparat penegak hukum yang meminta delapan WNA tersebut meninggalkan Indonesia.
Berdasarkan data perlintasan Imigrasi, 15 WNA tersebut terlihat meninggalkan Lombok setelah kejadian pembakaran kamp tambang ilegal di Sekotong.
"Datanya mereka bergerak setelah kejadian (pembakaran camp)," kata Iqbal.