Kronologi Tumbangnya Rezim Presiden Bashar Al Assad di Suriah

Kronologi Tumbangnya Rezim Presiden Bashar Al Assad di Suriah

DAMASKUS, KOMPAS.com - Rezim Presiden Bashar Al Assad di Suriah akhirnya tumbang pada Minggu (8/12/2024) pagi, setelah pasukan oposisi menguasai ibu kota Damaskus.

Pemerintahan Assad, yang mendapatkan dukungan militer Iran dan Rusia, bahkan tumbang dengan kecepatan mencengangkan, yakni tak lebih dari dua pekan di tangan kelompok pemberontak.

Meski demikian, Assad, seorang otoriter yang tega membunuh rakyatnya sendiri dengan gas beracun dalam perang perang saudara, telah mendapat tekanan dari pasukan pemberontak selama satu dekade lebih.

Ia dilaporkan telah kabur ke Rusia, saat pasukan pemberontak mendekati Damaskus. 

Pada Minggu malam, media pemerintah Rusia dan dua pejabat Iran menyebut Assad telah tiba di Rusia. Media pemerintah Rusia, TASS, melaporkan, Assad dan keluarganya telah diberikan suaka politik. 

Runtuhnya kekuasaan Assad atas Suriah menandai puncak pemberontakan selama hampir 14 tahun dan momen penting dalam perang saudara yang menewaskan banyak orang, menggusur separuh populasi, dan mengundang kekuatan dari luar.

Perang saudara Suriah bagaimanapun diperkirakan telah menewaskan sedikitnya 500.000 orang.

Sementara itu, sekitar 6,8 juta warga Suriah telah lari dari negara itu.

Gelombang para pengungsi itu, yang pergi hingga ke Eropa, turut mengubah peta politik di Eropa dengan memicu gerakan sayap kanan anti-imigran di benua itu.

Untuk memahami situasi di Suriah, berikut adalah kronologi tumbangnya rezim Presiden Bashar Al Assad di Suriah yang dapat Anda simak

Protes-protes pertama terhadap Assad dengan cepat menyebar ke seluruh negeri dan ditanggapi dengan gelombang penangkapan dan penembakan oleh pasukan keamanan pada 13 tahun lalu.

Sebagaimana dilansir Reuters, beberapa pengunjuk rasa mengangkat senjata dan unit militer membelot saat pemberontakan berubah menjadi pemberontakan bersenjata yang akan mendapatkan dukungan dari negara-negara Barat dan Arab serta Turkiye.

Sebuah pengeboman di Damaskus menjadi aksi pertama yang dilakukan oleh afiliasi baru Al Qaeda di Suriah, Front Nusra, yang memperoleh kekuasaan dan mulai menghancurkan kelompok-kelompok dengan ideologi nasionalis.

Negara-negara besar dunia bertemu di Jenewa dan sepakat tentang perlunya transisi politik, tetapi perbedaan pendapat mereka tentang cara mencapainya akan menggagalkan upaya perdamaian yang disponsori PBB selama bertahun-tahun.

Assad mengerahkan angkatan udaranya ke kubu oposisi, ketika pemberontak menguasai wilayah, dan perang meningkat dengan pembantaian di kedua pihak.

Hizbullah Lebanon membantu Assad meraih kemenangan di Qusayr, menghentikan momentum pemberontak dan menunjukkan meningkatnya peran kelompok yang didukung Iran itu dalam konflik tersebut.

Amerika Serikat telah menyatakan penggunaan senjata kimia sebagai garis merah, tetapi serangan gas di Ghouta timur yang dikuasai pemberontak di dekat Damaskus menewaskan banyak warga sipil tanpa memicu tanggapan militer AS.

Kelompok ISIS tiba-tiba merebut Raqqa di timur laut dan menguasai lebih banyak wilayah di Suriah dan Irak.

Pemberontak di Kota Tua Homs menyerah dan setuju untuk pindah ke pinggiran kota.

Itu menjadi kekalahan besar pertama mereka di wilayah perkotaan besar dan memelopori kesepakatan "evakuasi" di masa mendatang.

AS membangun koalisi anti-ISIS dan memulai serangan udara, membantu pasukan Kurdi membalikkan gelombang jihad, tetapi menciptakan ketegangan dengan sekutunya, Turkiye.

Dengan kerja sama yang lebih baik dan lebih banyak pasokan senjata dari luar negeri, kelompok pemberontak merebut lebih banyak wilayah dan merebut Idlib barat laut, tetapi kelompok militan Islam berperan lebih besar.

Pada tahun tersebut, Rusia bergabung dalam perang itu membela Assad dengan serangan udara yang mengubah konflik melawan pemberontak selama bertahun-tahun yang akan datang.

Khawatir dengan kemajuan yang dicapai pasukan Kurdi di perbatasan, Turkiye melancarkan serangan dengan pemberontak sekutu, menciptakan zona baru kendali Turkiye.

Tentara Suriah dan sekutunya mengalahkan pemberontak di Aleppo, yang pada saat itu dipandang sebagai kemenangan terbesar Assad dalam perang tersebut.

Front Nusra memisahkan diri dari Al Qaeda dan mulai mencoba menampilkan dirinya lebih moderat, mengadopsi rangkaian nama baru dan akhirnya memutuskan bernama Hayat Tahrir Al Sham (HTS).

Israel mengakui serangan udara terhadap Hizbullah di Suriah, yang bertujuan untuk melemahkan kekuatan Iran dan sekutu-sekutunya yang sedang berkembang.

Pasukan pimpinan Kurdi yang didukung Amerika Serikat mengalahkan ISIS di Raqqa.

Serangan itu dan serangan tandingan oleh tentara Suriah, mengusir kelompok tersebut dari hampir seluruh wilayahnya.

Tentara Suriah merebut kembali Ghouta timur, sebelum dengan cepat merebut kembali kantong-kantong pemberontak lainnya di Suriah tengah, dan kemudian benteng selatan pemberontak di Deraa.

ISIS kehilangan sisa wilayah terakhirnya di Suriah.

AS memutuskan untuk mempertahankan sejumlah pasukan di negara itu untuk mencegah serangan terhadap sekutu-sekutu Kurdinya.

Rusia mendukung serangan pemerintah yang diakhiri dengan gencatan senjata dengan Turkiye yang membekukan sebagian besar garis depan.

Assad menguasai sebagian besar wilayah dan semua kota utama, tampak sangat berkuasa.

Sementara itu, pemberontak menguasai wilayah barat laut. Pasukan yang didukung Turkiye menguasai jalur perbatasan.

Pasukan pimpinan Kurdi menguasai wilayah timur laut.

Serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober memicu pertempuran antara Israel dan Hizbullah di Lebanon, yang pada akhirnya mengurangi kehadiran kelompok tersebut di Suriah dan melemahkan Assad.

Pemberontak melancarkan serangan baru di Aleppo.

Dengan sekutu Assad yang terfokus di tempat lain, pasukannya dengan cepat runtuh.

Delapan hari setelah jatuhnya Aleppo, para pemberontak telah merebut sebagian besar kota besar dan memasuki Damaskus, menggulingkan Assad dari kekuasaan.

 

Sumber