KY Sudah Prediksi Vonis Harvey Moeis Picu Gejolak di Masyarakat
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Yudisial (KY) mengungkapkan bahwa putusan perkara korupsi yang melibatkan Harvey Moeis berpotensi memicu gejolak di masyarakat.
Harvey Moeis terbukti merugikan negara hingga Rp 300 triliun dalam tata niaga komoditas timah.
Juru Bicara KY Mukti Fajar Nur Dewata menyatakan bahwa putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat kepada Harvey Moeis lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum.
“Merespons hal itu, Komisi Yudisial (KY) menyadari bahwa putusan ini akan menimbulkan gejolak di masyarakat,” kata Mukti dalam keterangannya kepada Kompas.com, Jumat (27/12/2024).
Mukti menambahkan bahwa KY telah menerjunkan tim untuk memantau jalannya persidangan sejak awal.
Tim tersebut memantau proses pembuktian, termasuk pemeriksaan saksi dan ahli.
“Hal ini sebagai upaya agar hakim dapat menjaga imparsialitas dan independensinya agar bisa memutus perkara dengan adil,” tutur Mukti.
Lebih lanjut, KY berencana mendalami putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat yang dipimpin oleh Ketua Majelis Eko Aryanto.
KY akan mengevaluasi apakah hakim telah melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Namun, Mukti menegaskan bahwa pendalaman ini tidak akan menyentuh substansi putusan.
“Adapun forum yang tepat untuk menguatkan atau mengubah putusan, yakni melalui upaya hukum banding,” ujar Mukti.
KY juga mengajak masyarakat untuk melapor jika mengetahui adanya dugaan pelanggaran kode etik hakim dalam perkara Harvey Moeis.
“KY meminta agar laporan tersebut disertai bukti-bukti pendukung agar dapat diproses,” tambah Mukti.
Vonis yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis menjadi sorotan publik karena dianggap terlalu ringan.
Sebelumnya, mantan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, vonis Harvey Moeis tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat.
Mahfud menilai bahwa vonis tersebut tidak sebanding dengan kerugian negara yang mencapai Rp 300 triliun.
Ia menegaskan bahwa kerugian tersebut bersifat konkret, bukan sekadar potensi.
“Artinya uang konkret yang dicuri dari negara. Sesudah dihitung lagi jadi Rp 300 triliun. Hanya dikabulkan perampasannya Rp 210 miliar ditambah denda Rp 1 miliar berarti Rp 211 miliar. Ini sungguh tidak adil,” tegas Mahfud.
Ia juga mencatat bahwa jumlah uang pengganti yang dibebankan kepada Harvey hanya sekitar 0,07 persen dari total kerugian negara.
“Tidak sampai setengah persen. Anda bayangkan itu,” ujarnya.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat memutuskan bahwa Harvey Moeis terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
Hakim menyatakan bahwa tuntutan jaksa yang meminta Harvey dihukum 12 tahun penjara terlalu berat mengingat perannya dalam kasus tersebut.
Hakim pun menyatakan Harvey Moeis bersalah dan dihukum 6 tahun dan 6 bulan penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair 6 bulan kurungan.
Hakim Eko Aryanto menjelaskan bahwa Harvey tidak memiliki kedudukan struktural di PT Refined Bangka Tin (RBT) dan tidak memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan kerja sama dengan PT Timah Tbk.
“Menimbang bahwa tuntutan pidana penjara selama 12 tahun terhadap diri terdakwa Harvey Moeis majelis hakim mempertimbangkan tuntutan tersebut terlalu berat jika dibandingkan dengan kesalahan terdakwa,” kata Hakim Eko di ruang sidang, Senin (23/12/2024).