LBH Jakarta Desak KPK Usut Dugaan Korupsi Polisi dalam Kasus Pemerasan di DWP 2024
JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki dugaan korupsi yang melibatkan sejumlah polisi dalam kasus pemerasan pada acara Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024.
“Kami mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera mengusut dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus pemerasan di pergelaran DWP 2024 ini,” kata Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, dalam keterangan resmi, Kamis (2/1/2025).
Menurut Fadhil, tindakan pemerasan yang dilakukan sejumlah oknum anggota polisi termasuk tindak pidana korupsi. Ia menyebut tindakan tersebut harus diproses menggunakan Pasal 12 huruf e UU Tipikor.
“Untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan dengan penyidik Polri karena adanya code of silence atau upaya saling melindungi, maka proses hukum pidana sebaiknya dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 11 (1) UU KPK,” imbuhnya.
LBH Jakarta juga menilai sanksi etik saja tidak cukup untuk anggota polisi yang terbukti melakukan pemerasan. Fadhil mendesak agar atasan para anggota tersebut ikut diperiksa.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022, setiap atasan di Polri memiliki kewajiban untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran bawahan.
“Dalam konteks ini, maka sudah jelas terdapat kelalaian dari atasan pelaku terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang dari pelaku,” tegasnya.
LBH Jakarta juga meminta Divisi Propam Polri untuk melaksanakan sidang etik secara transparan dan akuntabel kepada publik. Namun, berdasarkan beberapa sidang etik terakhir, LBH Jakarta menilai Propam Polri kurang transparan dalam menjelaskan proses hukum terhadap anggota yang bermasalah.
“Hingga kini belum jelas identitas keseluruhan dan jumlah pasti anggota Polri yang disidang. Termasuk juga ketidakjelasan mengenai motif, pola, pembagian peran, dan apa ketentuan etik yang dilanggar, serta sejauh mana proses hukum pidana yang akan dikenakan terhadap anggota Polri tersebut,” kata Fadhil.
LBH Jakarta bahkan menduga ada unsur kesengajaan dalam minimnya transparansi proses sidang etik ini. Fadhil menyebut, hal tersebut mungkin dilakukan untuk melindungi karier anggota Polri yang terlibat dan menjaga nama baik institusi.
“Kami menduga kuat bahwa hal ini merupakan suatu kesengajaan untuk mendistorsi kesalahan atau pelanggaran polisi dalam kasus pemerasan di DWP 2024,” lanjutnya.
LBH Jakarta menegaskan pentingnya transparansi dan akuntabilitas agar kepercayaan publik terhadap institusi Polri tetap terjaga.
“Kami mendesak, Kapolri dalam hal ini Kadiv Propam Polri untuk bertindak transparan dan akuntabel dalam menangani penegakan etik dan profesi terhadap anggota Polri yang terlibat dalam kasus pemerasan DWP 2024,” tegas Fadhil.
Sebagai informasi, 18 oknum polisi terlibat dalam pemerasan terhadap 45 warga Malaysia saat menonton DWP di Kemayoran, Jakarta Pusat, pada 13-15 Desember 2024. Belasan anggota tersebut berasal dari Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, dan Polsek Kemayoran.
Divisi Propam Mabes Polri menyita barang bukti berupa uang senilai Rp 2,5 miliar yang diduga milik korban pemerasan. Uang tersebut disimpan dalam rekening pengepul yang telah disiapkan.
Kasus ini juga memicu mutasi jabatan di tingkat Polsek, Polres, hingga Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya oleh Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto, dengan total 34 orang dimutasi untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Bahkan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo turut memutasi sejumlah anggota, termasuk Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak dan Kombes Ahmad David, yang kini menjabat Dirresnarkoba Polda Metro Jaya.