LBH Jakarta Kritik Sidang Etik Kasus Polisi Peras Penonton DWP yang Tak Transparan

LBH Jakarta Kritik Sidang Etik Kasus Polisi Peras Penonton DWP yang Tak Transparan

JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai, sidang etik terhadap puluhan anggota Polri yang terlibat kasus pemerasan penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024 tak transparan. 

“LBH Jakarta menyayangkan minimnya transparansi kepada publik terkait proses sidang etik, serta tindak lanjut proses hukum pidana terhadap anggota Polri yang terlibat dalam kasus pemerasan Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024,” ujar Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan melalui keterangan resminya, Kamis (2/1/2025).

Fadhil mengatakan, informasi yang diterima publik mengenai sidang etik yang digelar sejak Selasa (31/12/2024) tidaklah cukup karena masyarakat harus mengira-ngira siapa yang tengah disidang.

Sejauh ini, baru tiga dari 34 anggota Polri yang dimutasi ke Pelayanan Markas (Yanma) Polda Metro Jaya yang telah menjalani sidang etik di Divis Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri. Kendati demikian, publik tidak sepenuhnya tahu identitas tiga polisi yang telah menjalani proses sidang itu.

Oleh karena proses sidang tidak transparan, LBH Jakarta menyangsikan komitmen Polri dalam menyelesaikan kasus ini.

“Hingga kini belum jelas identitas keseluruhan dan jumlah pasti anggota Polri yang disidang. Termasuk juga ketidakjelasan mengenai motif, pola, pembagian peran, dan apa ketentuan etik yang dilanggar, serta sejauh mana proses hukum pidana yang akan dikenakan terhadap anggota Polri tersebut,” imbuh Fadhil.

Bahkan, LBH Jakarta menduga ada unsur kesengajaan dalam hal ketiadaan transparansi sidang etik ini. LBH menilai, minimnya transparansi sudah menjadi budaya dalam tubuh kepolisian ketika sedang menghadapi kasus pelanggaran hukum yang melibatkan anggotanya.

Fadhil curiga, hal ini dilakukan untuk melindungi karier para polisi yang diduga terlibat kasus pemerasan, sekaligus menjaga nama baik institusi Polri yang hari-hari ini kerap mendapat catatan merah.

“Kami juga menduga kuat bahwa hal ini merupakan suatu kesengajaan untuk mendistorsi kesalahan atau pelanggaran polisi dalam kasus pemerasan di DWP 2024,” lanjut Fadhil.

Untuk itu, demi menjaga kepercayaan publik dan akuntabilitas, LBH Jakarta mendesak agar Polri, dalam hal ini Propam, melangsungkan sidang etik secara transparan dan terbuka.

“Kami mendesak Kapolri dalam hal ini Kadiv Propam Polri untuk bertindak transparan dan akuntabel dalam menangani penegakan etik dan profesi terhadap anggota Polri yang terlibat dalam kasus pemerasan DWP 2024,” tegas Fadhil.

LBH Jakarta juga meminta agar Propam tidak hanya memeriksa anggota yang diduga terlibat, tapi juga menyelidiki atasan para anggota Polri yang telah dimutasi.

Mengacu Pasal 6 ayat (1) Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri, setiap pejabat Polri yang berkedudukan sebagai atasan memiliki kewajiban untuk segera menyelesaikan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh bawahan dan mengarahkan, mengawasi, dan mengendalikan pelaksanaan tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang dilaksanakan oleh bawahan.

“Dalam konteks ini, maka sudah jelas terdapat kelalaian dari atasan pelaku terhadap pelaksanakan tugas dan wewenang dari pelaku,” kata Fadhil.

LBH Jakarta menilai, proses hukum yang tengah berlangsung saat ini seharusnya menjadi momen untuk melakukan reformasi dalam struktur organisasi Polri.

Oleh sebab itu, LBH Jakarta mendesak Presiden Prabowo Subianto dan DPR RI mereformasi Polri secara menyeluruh.

“Presiden Republik Indonesia untuk melaksanakan reformasi Polisi secara total dengan memperhatikan aspek permasalahan struktural, instrumental, dan kultural dari Kepolisian RI,” tutup Fadhil.

Sebelumnya diberitakan, Divisi Profesi dan Pengamanan (Div Propam) Polri melanjutkan sidang kode etik profesi Polri (KEPP) terhadap seorang polisi terduga pelanggar dalam kasus pemerasan di acara Djakarta Warehouse Project (DWP) pada Kamis (2/1/2025).

Div Propam Polri telah menggelar sidang etik pada Rabu (31/12/2025) terhadap dua anggota kepolisian yang diduga terlibat dalam kasus pemerasan di DWP.

Sidang tersebut berlangsung hingga dini hari dan memutuskan memberikan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) kepada kedua polisi.

Mereka adalah mantan Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak dan seorang polisi berinisial Y.

Inisial Y diduga adalah AKP Yudhy Triananta Syaeful, mantan Panit 1 Unit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya. Dugaan ini muncul berdasarkan daftar 34 polisi yang dimutasi.

"Hasilnya, dua terduga pelanggar yang berinisial D dan Y telah dijatuhi sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) oleh Majelis Komisi Sidang Kode Etik Profesi Polri," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko dalam keterangannya, Rabu (1/1/2025).

Truno menegaskan bahwa setelah sidang etik terhadap dua anggota Polri, pihaknya akan melanjutkan sidang etik pada hari ini dengan terduga pelanggar berinisial M.

"Untuk satu (M) terduga pelanggar, sidang etik masih terus berjalan dan akan dilanjutkan pada Kamis (2/1/2025) besok," tambah Truno.

Truno tidak merinci identitas polisi berinisial M. Namun, berdasarkan informasi dari Kompas.com, M diduga merupakan mantan Kasubdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, AKBP Malvino Edward Yusticia.

Nama Malvino termasuk dalam daftar 34 orang yang dimutasi Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto sebagai Perwira Menengah (pamen) Yanma Polda Metro Jaya untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Truno memastikan pihaknya akan menyampaikan informasi ini kepada media dalam konferensi pers setelah sidang etik terhadap M selesai dilakukan.

Sumber