LHKP Muhammadiyah Sarankan Pemerintah Perluas PPh Tarif Progresif Ketimbang Naikkan PPN
JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Hikmah Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyarankan agar pemerintah memperluas cakupan pajak penghasilan (PPh) dengan tarif progresif ketimbang menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Tarif progresif untuk PPh ini dinilai akan meningkatkan kontribusi kelompok berpenghasilan tinggi dan mengurangi beban pajak masyarakat miskin.
"Pemerintah dapat memperluas cakupan tarif progresif untuk mengurangi beban pajak masyarakat berpenghasilan rendah, dan meningkatkan kontribusi dari kelompok berpenghasilan tinggi," tulis keterangan pers LHKP Muhammadiyah, Selasa (31/12/2024).
Selain itu, LHKP Muhammadiyah juga menyarankan adanya implementasi pajak kekayaan yang baik, seperti pajak atas properti, warisan, atau aset finansial individu kaya yang bisa mendukung redistribusi pendapatan dan mempersempit ketimpangan ekonomi.
LHKP juga menyoroti agar pemerintah bisa mengurangi insentif fiskal yang tidak tepat sasaran.
"Evaluasi ulang kebijakan seperti tax allowance dan tax holiday agar manfaatnya dirasakan lebih luas oleh masyarakat, bukan hanya oleh korporasi besar," tulis LHKP Muhammadiyah.
Salah satu rekomendasi yang dikeluarkan oleh LHKP Muhammadiyah adalah meminta pemerintah membatalkan kenaikan PPN dengan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Sebagai informasi, pemerintah akan menaikkan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen terhitung 1 Januari 2025.
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mengatakan, kenaikan PPN itu diperlukan sebagai upaya meningkatkan penerimaan negara guna mendukung stabilitas ekonomi nasional.
"Kenaikan itu sesuai dengan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Langkah ini bertujuan menjaga keseimbangan fiskal di tengah tantangan ekonomi global," kata dia dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (16/12/2024).
Sri Mulyani mengatakan, kebijakan kenaikkan PPN ini bersifat selektif dan hanya menyasar barang dan jasa kategori mewah atau premium.
Mengutip kemenkeu.go.id, barang dan jasa kategori mewah atau premium itu seperti kelompok makanan berharga premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan berstandar internasional yang berbiaya mahal.
Sri Mulyani mengeklaim, setiap memungut pajak, pemerintah selalu mengutamakan prinsip keadilan dan gotong-royong.
“Disebut berkeadilan karena kelompok masyarakat yang mampu akan membayarkan pajaknya sesuai dengan kewajiban berdasarkan undang-undang, sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan. Di sinilah prinsip negara hadir,” kata dia.