Literasi Inflasi dan Inklusivitas Kebijakan Moneter
Dalam diskursus ekonomi makro, perhatian terhadap inflasi tidak hanya relevan bagi pembuat kebijakan, tetapi juga menjadi faktor penting yang menentukan bagaimana kebijakan moneter mempengaruhi berbagai lapisan masyarakat. Tingkat perhatian masyarakat terhadap inflasi diketahui bersifat heterogen, terutama antara kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan yang berbeda. Shabalina dan Tzaawa-Krenzler (2024) mengidentifikasi bahwa perhatian terhadap inflasi cenderung lebih tinggi pada kelompok berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan kelompok berpenghasilan rendah. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kapasitas kognitif dan prioritas berbeda dalam pengambilan keputusan ekonomi. Kelompok berpenghasilan rendah sering lebih fokus pada kebutuhan sehari-hari seperti makanan, tempat tinggal, dan pendidikan, sementara inflasi mungkin tidak langsung dianggap relevan. Fenomena serupa dapat diamati di Indonesia, di mana tingkat literasi keuangan masyarakat cenderung rendah, terutama di daerah pedesaan. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa kurang dari 40% penduduk Indonesia memiliki pemahaman mendalam tentang konsep dasar ekonomi seperti inflasi. Akibatnya, keputusan konsumsi dan tabungan mereka sering kali tidak sepenuhnya mempertimbangkan faktor-faktor makroekonomi seperti perubahan tingkat harga.Kebijakan moneter di Indonesia, seperti di banyak negara lainnya, mengandalkan respons masyarakat terhadap perubahan suku bunga untuk mempengaruhi konsumsi dan investasi. Dalam model ekonomi klasik, diasumsikan bahwa individu memiliki ekspektasi rasional dan sepenuhnya memahami dampak kebijakan moneter terhadap inflasi. Namun, heterogenitas perhatian terhadap inflasi menunjukkan bahwa asumsi ini tidak selalu berlaku.
Sebagai contoh, ketika Bank Indonesia menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi, rumah tangga yang kurang memperhatikan inflasi mungkin tidak langsung mengubah pola konsumsi atau tabungannya. Dengan demikian, kebijakan moneter memiliki efek yang lebih lambat pada kelompok ini dibandingkan kelompok yang lebih sadar terhadap inflasi. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menciptakan ketidakseimbangan distribusi, yang mana kelompok berpenghasilan rendah lebih rentan terhadap dampak negatif kebijakan seperti penurunan daya beli akibat kenaikan harga barang kebutuhan pokok.Lebih lanjut, struktur ekonomi Indonesia yang beragam membuat tantangan ini semakin kompleks. Di satu sisi, sektor informal yang mendominasi perekonomian daerah pedesaan sering memiliki akses terbatas terhadap informasi kebijakan moneter. Di sisi lain, konsentrasi ekonomi di kota-kota besar menciptakan ketergantungan yang tinggi pada kelompok tertentu yang lebih memahami inflasi. Akibatnya, disparitas perhatian terhadap inflasi dapat memperburuk ketimpangan ekonomi, karena kelompok yang lebih memahami inflasi biasanya lebih siap mengambil langkah mitigasi untuk menghadapi dampaknya.Di Indonesia, salah satu tantangan terbesar adalah tingginya disparitas pendapatan antarwilayah. Wilayah perkotaan seperti Jakarta dan Surabaya memiliki tingkat literasi keuangan dan akses informasi yang lebih baik dibandingkan daerah pedesaan di Papua atau Nusa Tenggara Timur. Ketimpangan ini memperparah heterogenitas perhatian terhadap inflasi, sehingga mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter secara keseluruhan. Namun, peluang besar terletak pada kemajuan teknologi informasi. Dengan meningkatnya penetrasi internet, Bank Indonesia dan lembaga pemerintah lainnya dapat memanfaatkan platform digital untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat. Program edukasi tentang inflasi dan kebijakan moneter dapat disampaikan melalui media sosial, aplikasi edukasi, dan platform e-commerce yang banyak digunakan masyarakat.
Inovasi teknologi dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk menjembatani kesenjangan ini. Misalnya, dengan aplikasi keuangan berbasis mobile yang menyediakan informasi real-time tentang inflasi dapat membantu masyarakat memahami dampaknya terhadap pengeluaran mereka. Selain itu, pelatihan berbasis komunitas dapat menjadi solusi jangka panjang untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap isu-isu ekonomi. Bank Indonesia dapat bermitra dengan lembaga swadaya masyarakat untuk menyelenggarakan program literasi keuangan di daerah-daerah terpencil.Namun, efektivitas kebijakan ini sangat bergantung pada bagaimana pemerintah dapat memastikan inklusivitas dalam penerapan teknologi tersebut. Penyediaan infrastruktur digital yang memadai di daerah terpencil menjadi langkah awal yang penting untuk mengurangi kesenjangan akses teknologi. Selain itu, konten edukasi harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat dipahami oleh masyarakat dengan tingkat pendidikan yang bervariasi. Hal ini penting mengingat bahwa kesenjangan perhatian terhadap inflasi tidak hanya terkait dengan akses informasi, tetapi juga kemampuan individu untuk memahami dan mengaplikasikan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari.Heterogenitas perhatian terhadap inflasi juga memiliki implikasi yang signifikan terhadap distribusi manfaat dan beban kebijakan moneter. Sebagai contoh, kelompok masyarakat yang lebih sadar terhadap inflasi cenderung cepat mengambil langkah untuk melindungi aset atau konsumsi mereka dari dampak kebijakan, seperti diversifikasi portofolio atau pembelian barang-barang tahan lama sebelum harga naik. Sebaliknya, kelompok yang kurang memperhatikan inflasi cenderung menghadapi risiko yang lebih besar akibat kebijakan moneter yang ketat, seperti penurunan pendapatan riil akibat inflasi yang tak terduga. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mengembangkan kebijakan yang tidak hanya berfokus pada target makroekonomi, tetapi juga mempertimbangkan aspek keadilan distribusi.Pemerintah dan Bank Indonesia perlu mengintensifkan program literasi keuangan yang fokus pada pemahaman inflasi. Ini dapat dilakukan melalui kurikulum pendidikan formal maupun pelatihan bagi masyarakat umum. Selain itu, desain kebijakan moneter harus mempertimbangkan heterogenitas perhatian masyarakat. Misalnya, suku bunga yang lebih adaptif dan komunikasi kebijakan yang lebih sederhana dapat membantu kelompok rentan memahami dampaknya. Platform digital juga dapat digunakan untuk menyampaikan informasi terkait inflasi dan kebijakan moneter secara real-time. Informasi ini perlu disampaikan dengan cara yang menarik dan mudah dipahami oleh masyarakat luas. Selain itu, untuk meminimalkan dampak negatif kebijakan moneter pada kelompok berpenghasilan rendah, pemerintah perlu memperkuat jaring pengaman sosial, seperti subsidi pangan dan program bantuan langsung tunai.Heterogenitas perhatian terhadap inflasi adalah tantangan nyata yang mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter, terutama di negara dengan tingkat disparitas yang tinggi seperti Indonesia. Dengan meningkatkan literasi keuangan, merancang kebijakan yang inklusif, dan memanfaatkan teknologi, Indonesia dapat mengurangi ketimpangan dampak kebijakan moneter dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Keberhasilan dalam mengatasi tantangan ini tidak hanya memperkuat stabilitas ekonomi, tetapi juga mendukung inklusi sosial yang lebih luas.Mengintegrasikan upaya ini ke dalam strategi pembangunan nasional juga akan memberikan dampak jangka panjang. Sebagai contoh, dengan memasukkan literasi keuangan ke dalam program prioritas pembangunan desa, pemerintah dapat menciptakan dampak berkelanjutan yang mengakar pada masyarakat. Selain itu, kolaborasi antara sektor publik dan swasta dalam pengembangan alat edukasi berbasis teknologi dapat mempercepat proses transformasi literasi keuangan di seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, heterogenitas perhatian terhadap inflasi tidak hanya dapat diatasi, tetapi juga diubah menjadi peluang untuk memperkuat kohesi sosial dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.Lebih jauh lagi, reformasi dalam penyusunan kebijakan moneter yang memperhitungkan disparitas ini juga menjadi langkah strategis. Bank Indonesia dapat mengadopsi pendekatan komunikasi kebijakan yang lebih bersifat segmental, yaitu menyesuaikan pesan dan media komunikasi dengan karakteristik demografis yang berbeda. Misalnya, kampanye informasi di daerah perkotaan dapat memanfaatkan media digital seperti media sosial, sementara di pedesaan dapat menggunakan pendekatan tradisional seperti siaran radio atau diskusi kelompok. Selain itu, data dan teknologi analitik dapat dimanfaatkan untuk memetakan tingkat perhatian masyarakat terhadap inflasi di berbagai wilayah, sehingga kebijakan yang diterapkan dapat lebih tepat sasaran. Dengan kombinasi pendekatan ini, kebijakan moneter tidak hanya akan lebih efektif, tetapi juga lebih inklusif dalam menghadapi tantangan heterogenitas perhatian terhadap inflasi.M. Abd. Nasir dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember, anggota Kelompok Riset (KeRis) Behavioral Economics on Monetary, Financial, and Development Policy (Benefitly)