Logika Tak Etis di Balik Isu Kepala Daerah Dipilih DPRD

Logika Tak Etis di Balik Isu Kepala Daerah Dipilih DPRD

KETUA Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengungkit tentang kelemahan-kelemahan Pilkada langsung pada acara perayaan ulang tahun ke-60 Partai Golkar di Sentul, Bogor, Kamis, 12 Desember 2024.

Prabowo sejak 2019 lalu memang telah mempersoalkan mahalnya biaya Pilkada secara langsung, mulai dari biaya untuk mendapatkan kendaraan politik, biaya operasional kampanye, sampai pada biaya untuk “beli suara” (vote buying).

Sehingga, menurut beliau, mengembalikan hak memilih kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah opsi solusi yang tepat.

Keluhan ini menjadi isu besar saat ini, karena kapasitas Prabowo lima tahun lalu dengan kapasitasnya hari ini sudah tak lagi sama.

Keluhan Prabowo di saat jelang gelombang kedua Pilkada serentak 2019 lalu nampaknya kurang mendapatkan atensi publik dan elite nasional, karena kapasitasnya kala itu hanya sebagai kandidat presiden (sebelum beliau bergabung ke dalam pemerintahan Presiden Jokowi jilid II).

Berbeda dengan hari ini, karena apapun yang disampaikan oleh Prabowo Subianto dalam kapasitasnya sebagai Presiden Republik Indonesia yang kedelapan tentu akan mendadak menjadi isu besar di satu sisi dan berskala nasional di sisi lain.

Apalagi jika isinya tentang “keluhan” dan “kekecewaan” seorang presiden terhadap sesuatu, yang dinarasikan secara cukup atraktif oleh Prabowo saat berpidato di atas panggung.

Namun, jika kita simak semua persoalan dalam Pilkada Serentak (langsung) yang disebutkan, baik yang disampaikan oleh Prabowo sendiri, maupun yang telah ditambah-tambahkan oleh tokoh lain di dalam pemerintahan atau para pendengung yang berada di pihak pemerintah, letak dan asal semuanya bukan dari masyarakat sebagai pemilih, tapi justru dari para elite, politisi, dan kandidat kepala daerah sendiri.

Besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh seorang calon untuk mendapatkan kendaraan politik (parpol), yang biasanya berupa kalkulasi jumlah kursi parpol di DPRD dikalikan sejumlah uang, lalu besarnya biaya operasional kampanye, dan besarnya biaya yang harus dibayarkan kepada pemilih (vote buying), semuanya adalah keputusan politik para elite dan dilakukan di antara sesama elite, mulai dari pusat hingga ke daerah.

Arti sederhananya, kesalahan dan imoralitas politik pada Pilkada langsung adalah buah perbuatan dan hasil negosiasi elitis para elite, bukan buah dari keputusan dan perbuatan rakyat pemilih.

Bayangkan jika partai politik tidak memberlakukan “political cost” semacam itu di Pilkada Langsung atau bayangkan jika paslon tidak menawarkan uang kepada pemilih di daerah agar dipilih, tapi menawarkan bukti kinerja politik, menawarkan bukti pengabdian pada daerah, menawarkan track record, menawarkan deretan bukti integritas, dan menawarkan bukti-bukti keberpihakan beserta dengan agenda kerja keberpihakan, tentu ceritanya akan lain.

Lalu, soal biaya operasional kampanye yang besar, mulai dari alat peraga sampai kepada biaya-biaya untuk mengunci tokoh dan elite daerah yang suaranya mewakili kelompok yang besar di daerah, juga bukan kesalahan rakyat pemilih di daerah, tapi kesalahan para paslon yang tidak berinvestasi politik dalam waktu yang panjang sebelumnya.

Sehingga paslon-paslon yang muncul secara dadakan di daerah, tanpa pernah berbuat apa-apa, tentu membutuhkan biaya besar untuk membangun popularitas dan reputasi politik dalam waktu singkat.

Jalan satu-satunya adalah dengan menebar uang untuk berbagai macam pendekatan politik di daerah.

Kasusnya tentu akan berbeda jika seorang paslon telah berbuat banyak di daerah, telah melakukan kinerja politik di daerah dengan rutin berkomunikasi dengan tokoh-tokoh dan para elite di daerah tentang masalah-masalah di daerah (bukan berkomunikasi tentang hal-hal picik untuk menguras anggaran daerah), dan sering hadir di tengah-tengah pemilih (rakyat) di daerah, tentu ceritanya juga akan berbeda.

Sang paslon cukup menambahkan fitur-fitur baru yang berbiaya tidak terlalu mahal di saat ingin maju sebagai paslon.

Apalagi jika paslon tersebut adalah petahana yang sebelumnya ternyata tidak banyak berbuat untuk daerahnya.

Otomatis ia akan membutuhkan biaya sangat besar untuk merayu kembali masyarakat di daerahnya untuk memilihnya.

Termasuk juga paslon penantang yang juga punya track record “nol”, reputasi yang buruk, dan intergritas yang acapkali dipertanyakan, otomatis akan membutuhkan biaya besar untuk “mem-branding” dirinya agar terlihat dan terkesan tidak seperti yang dicitrakan selama ini.

Nah, karena berbagai “keburukan diri” paslon tersebut, yang telah “jor-joran” menggunakan alat peraga, tapi tak juga memunculkan konfidensi pada paslon tersebut, sehingga muncul ide untuk membeli suara pemilih dengan sejumlah uang.

Boleh jadi ide tersebut lahir dari paslon sendiri, atau justru lahir dari tim kampanyenya yang “memanas-manasi” sang paslon untuk melakukan pembelian suara pemilih.

Terlepas dari sisi mana lahirnya ide tersebut, lagi-lagi yang disalahkan adalah rakyat daerah, karena dianggap permintaan lahir dari bawah. Bukankah itu sebuah kesalahan berpikir yang fatal?

Padahal jika kembali kita telisik ke bawah, faktor “penawaran” dari ataslah penyebab utama lahirnya aksi beli suara rakyat tersebut.

Permintaan dari bawah hanya muncul belakangan karena di era-era sebelumnya elite telah membiasakan diri melakukan praktek vote buying tersebut, sehingga menyisakan preseden buruk bagi rakyat pemilih.

Walhasil pada Pilkada-Pilkada selanjutnya rakyat beranggapan hal tersebut adalah sebagai bagian dari SOP (Standard Operating Procedure) Pilkada.

Dan perlu juga diingat bahwa penawaran lahir karena sang paslon yang muncul tidak percaya diri dengan dirinya sendiri apakah akan dipilih oleh rakyat atau tidak.

Ketidakpercayaan diri tersebut tentu sebagai bentuk buruknya reputasi sang calon di mata rakyat daerah, sehingga merasa perlu harus “menyogok” pemilih terlebih dahulu.

Artinya, jika ketidakpercayaan diri tersebut ada, maka paslon tersebut sebenarnya tidak dekat dengan rakyat daerah dan boleh jadi juga tak disukai oleh rakyat daerah alias bukan kandidat yang “layak” secara moral untuk maju.

Walhasil, mau tak mau kepala daerah yang terpilih pun kemudian tidak berbuat apa-apa untuk daerahnya, tapi justru malah fokus memikirkan bagaimana caranya mengembalikan dana yang telah dikeluarkan di satu sisi dan fokus untuk mengumpulkan dana segar baru untuk pemilihan selanjutnya di sisi lain.

Rakyat daerah dilupakan begitu saja, karena merasa pada pemilihan selanjutnya sang kandidat cukup melanjutkan rutinitas beli suara seperti sebelumnya. Tak pelak, akhirnya menjadi budaya politik buruk dan imoral, seperti yang kita saksikan di hari ini.

Di sinilah letak kontradiksinya. Segala keburukan Pilkada dilakukan oleh elite, politisi, dan paslon, tapi yang justru dicabut adalah hak rakyat atau pemilih dalam menentukan pemimpin daerahnya sendiri.

Bukankah hal itu terasa cukup tidak “nyambung”. Ibaratnya, rakyat pemilih di daerah “tak tahu menau”, hanya mengikuti irama yang ditawarkan oleh para elite, lalu tiba-tiba saat irama-irama tersebut keluar dari pakem yang ada, menjadi irama koruptif dan tidak bermoral, justru hak rakyat yang dicabut. Padahal pelaku utamanya adalah elit.

Untuk itu, dalam hemat saya, antara persoalan dan solusi tidak sinkron secara filosofis dan moral.

Persoalan ada pada elite-elite, tapi solusinya justru dengan menghilangkan rakyat di dalam ekosistem politik daerah.

Ibarat di dalam permainan sepak bola. Penonton justru dipersalahkan atas buruknya permainan satu tim sepak bola. Tentu sangat tidak tepat dan tidak etis.

Sebagaimana diketahui, lahirnya konsep pemilihan langsung, baik di tingkat nasional maupun lokal, adalah sebagai solusi atas pemilihan pemimpin yang hanya dimonopoli oleh para elite di era Orde Baru dan beberapa pemilihan setelahnya.

Dengan konsep pemilihan terbatas tersebut, ditambah dengan karakter partai-partai politik yang sangat elitis dan oligarkis, maka akan membawa ajang pemilihan pemimpin (nasional dan lokal) menjadi ajang untuk menempatkan kepentingan para elite di atas kepentingan rakyat banyak, mengingat selama ini telah terbukti kepentingan-kepentingan elite tak sama dengan kepentingan rakyat banyak.

Sementara itu, elite yang telah menikmati kekuasaan dan penguasa cenderung mendukung apapun yang terkait dengan “status quo”, cenderung hobi melanggengkan kekuasaan, ditambah dengan kekuasaan yang telah mereka raih cenderung dijalankan dalam logika Lord Acton, yakni power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely.

Karena itulah rakyat harus dilibatkan di dalamnya, agar pemimpin yang terpilih tidak hanya berdasarkan keinginan para elite yang “cenderung korup” tersebut, tapi juga berdasarkan keinginan rakyat yang cenderung memiliki kepentingan berbeda dengan para elite.

Masalahnya adalah, di saat seorang penguasa terpilih, potensinya untuk melanggengkan kekuasaan sangatlah besar, karena lingkaran para pihak (terutama elite) yang harus dijinakkan tidaklah besar, hanya beberapa puluh kursi di DPRD di satu sisi dan beberapa tokoh dan elite daerah di sisi lain.

Pun lebih dari itu, dengan kecilnya ruang dan aktor yang menentukan keterpilihan seorang pemimpin, termasuk pemimpin daerah, maka potensi untuk memanipulasi pemilihan (tidak langsung) juga sangat besar, karena terjadi jauh dari pantauan publik.

Jadi dengan dilangsungkannya pemilihan langsung, terjadi pembagian porsi hak dan kapasitas memilih antara elite dan rakyat alias tidak hanya dimonopoli oleh elite.

Karena dalam praktiknya, elite tetap mendapatkan haknya di dalam menentukan calon pemimpin, yakni di saat menyeleksi calon-calon pemimpin yang akan dibawa ke laga pemilihan.

Para elite di partai politik, elite di daerah, elite ekonomi politik di daerah, dan sejenisnya, bersepakat terlebih dahulu untuk memajukan calon yang akan didukung secara resmi, baru kemudian diserahkan kepada rakyat. Bukankah sudah cukup adil pembagian porsi tersebut?

Artinya, jika dikembalikan kembali ke pada para elite di daerah yang ada di partai-partai politik dan DPRD, maka keputusan itu akan menjadi kerakusan politik yang keterlaluan.

Sementara semua kebobrokan Pilkada selama ini berasal dari para elite, sehingga seharusnya hak elite-elite di daerah yang dicabut, bukan hak rakyat daerah.

Dengan kata lain, yang harus dibenahi adalah perilaku elite di DPP (Dewan Pimpinan Pusat) partai politik dan partai-partai politik di daerah, perilaku para elite daerah, perilaku calon-calon kepala daerah, perilaku pengusaha-pengusaha politik di daerah, sekaligus membenahi ekosistem Pilkada agar lebih transparan, terbuka, tidak mudah dimanipualsi dan dikorupsi, bukan justru malah mencabut hak rakyat.

Jika model pemilihan yang masih memberikan ruang pada hak rakyat, yaitu pemilihan secara langsung dihilangkan, maka pertanyaan kritisnya bukankah itu solusi yang aneh, tidak nyambung, dan sangat tidak adil?

Sumber