LPSK Catat Permohonan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Naik Hampir Dua Kali Lipat pada 2024
JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Sri Nurherwati mengungkapkan, permohonan perlindungan terkait kasus kekerasan seksual yang diajukan ke LPSK naik hampir dua kali lipat pada tahun 2024.
“Permohonan perlindungan korban kekerasan seksual meningkat signifikan dari 672 permohonan pada 2022 menjadi 1.063 pada 2024,” kata Nurherwati di Jakarta, Rabu (11/12/2024).
Berdasarkan data tersebut, LPSK menilai, kebutuhan akan perlindungan dan pemulihan dari tindakan kekerasan seksual seiring dengan tingginya angka kekerasan seksual.
Nurherwati menjelaskan, permohonan perlindungan terkait tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak bahkan mencapai empat kali lipat dibandingkan kasus pada orang dewasa.
“Selama kurun waktu tiga tahun, 81 persen dari jumlah keseluruhan permohonan terkait kekerasan seksual diajukan untuk korban anak-anak,” ujar dia.
Selanjutnya, terlindung LPSK dalam tindak pidana kekerasan seksual selama periode 2022-2024 mencapai 2.518 terlindung.
Jumlah terlindung tertinggi adalah korban kekerasan seksual anak sebanyak 1.673 terlindung dan kekerasan seksual sebanyak 845.
“Kami melaksanakan pemberian perlindungan kepada terlindung dalam program perlindungan yang mencakup pemenuhan hak atau pemberian bantuan,” kata Nurherawati.
Dia mengatakan setiap terlindung dapat mengakses beberapa jenis program perlindungan.
Dalam kurun waktu tiga tahun (2022-2024), jumlah total program yang diakses sebanyak 4.034 program perlindungan.
Adapun jenis program bantuan yang paling banyak diakses adalah fasilitasi restitusi, dengan 1.505 terlindung.
Program tertinggi kedua adalah program pemenuhan hak prosedural, yang diakses oleh 1.157 terlindung.
Kemudian, program ketiga tertinggi adalah bantuan rehabilitasi psikologis, yang diakses oleh 763 terlindung.
“Hak Prosedural meliputi pemberian keterangan tanpa tekanan, fasilitasi penerjemah, bebas dari pertanyaan yang menjerat, pemberian nasihat hukum, atau pendampingan,” ujar Nurherawati.
Di samping itu, masalah rendahnya akses terhadap layanan di daerah-daerah tertentu seperti Papua juga menjadi perhatian ke depan.
Dia mengatakan wilayah seperti Papua juga membutuhkan perhatian lebih dalam penyediaan fasilitas perlindungan.
“Rendahnya akses terhadap layanan di daerah-daerah tertentu seperti Papua, yang membutuhkan perhatian lebih dalam penyediaan fasilitas perlindungan,” kata dia.