LPSK Ungkap Hambatan dalam Perlindungan dan Pemulihan Korban Kekerasan Seksual
JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengungkapkan beberapa tantangan yang dihadapi dalam melakukan perlindungan dan pemulihan korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati mengatakan, pihaknya menemui berbagai macam tantangan dalam Implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)
“Kajian ini mencatat sejumlah tantangan dalam pelaksanaan UU TPKS, mulai dari adanya praktik perjanjian damai, kurangnya perspektif korban dari aparat penegak hukum, hingga minimnya upaya eksekusi restitusi,” kata Nurherwati dalam acara Peluncuran Kajian Implementasi UU TPKS, di Jakarta, Rabu (11/12/2024).
Dia menjelaskan, bahwa kajian tersebut tak hanya mengevaluasi penerapan UU TPKS sejak diberlakukan pada 9 Mei 2022, tetapi juga mengulas tantangan yang menghambat perlindungan dan pemulihan korban.
Pihaknya juga menyoroti rendahnya akses terhadap layanan di daerah-daerah tertentu seperti Papua, yang membutuhkan perhatian lebih dalam penyediaan fasilitas perlindungan.
“Sebagai bagian dari rekomendasi untuk memperkuat implementasi UU TPKS, kami mendorong pengembangan role model di internal LPSK dengan menyusun peraturan dan SOP PPKS,” ujar dia.
Langkah ini menjadi bagian dari upaya strategis untuk memperkuat perlindungan bagi saksi dan korban kekerasan seksual. Dia menegaskan kehadiran UU TPKS sangat penting dalam memastikan hak-hak korban kekerasan seksual terlindungi.
Nurherwati juga menyoroti berbagai tantangan dalam implementasinya, seperti terbatasnya layanan yang sesuai kebutuhan korban, lemahnya koordinasi antar-lembaga, dan keberlanjutan perlindungan serta pemulihan korban.
“Melalui kajian ini, kami berupaya mengidentifikasi sejumlah tantangan dalam implementasi UU TPKS, mendapatkan gambaran mengenai kemajuan dan tantangannya,” ujar Nurherwati.
“Kajian ini diharapkan bermanfaat dalam mendorong strategi penguatan dan optimalisasi penyelenggaraan Pelayanan Terpadu bagi Korban TPKS, sehingga mendukung Terlindung LPSK memperoleh pemenuhan hak dan bantuan dalam proses peradilan,” ujar Nurherwati.
Nurherwati juga merekomendasikan penyusunan pedoman bersama dengan Jampidum, Kepolisian, dan Pendamping terkait permohonan restitusi, serta dialog dengan BPJS, Kemendagri, dan DJSN mengenai hak layanan kesehatan bagi korban TPKS.
“Kajian ini juga diharapkan menjadi pijakan untuk memperbaiki koordinasi lintas sektoral dan mendorong keterlibatan pemerintah daerah serta masyarakat dalam mendukung pemulihan korban,” tegasnya.