Mahasiswa Papua di Kalteng Demo Tolak Program Transmigrasi Prabowo
PALANGKA RAYA, KOMPAS.com - Mahasiswa Papua di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) menolak rencana program transmigrasi yang akan dilaksanakan pemerintah untuk menggarap lahan food estate di Papua.
Aksi penolakan ini dilakukan oleh mahasiswa Papua yang tergabung dalam Badan Koordinasi Mahasiswa Papua (BKMP) se-Kalimantan pada Rabu (6/9/2024) malam di Kota Palangka Raya, ibu kota Provinsi Kalteng.
Alte Gwijangge, Presiden BKMP se-Kalimantan menegaskan bahwa mereka mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk membatalkan rencana transmigrasi tersebut.
“Papua bukan tanah kosong. Papua tanah bertuan dengan masyarakat yang memiliki hak atas lingkungan, budaya lokal, serta warisannya,” ungkap Alte dalam siaran pers yang dikutip Kamis (7/11/2024) pagi.
Alte menambahkan bahwa masyarakat Papua tidak memerlukan transmigrasi, melainkan membutuhkan pendidikan, kesehatan, perlindungan hak asasi manusia (HAM), akses air bersih, listrik, dan fasilitas dasar lainnya.
Ia mengkhawatirkan dampak ketegangan sosial yang mungkin timbul dari program transmigrasi besar-besaran ini terhadap penduduk asli Papua.
“Dampak signifikan itu adalah ancaman terhadap identitas budaya daerah, pergeseran budaya asli Papua karena adanya budaya baru dari pendatang, persaingan terhadap akses ke sumber daya ekonomi penduduk asli, ketidakadilan ekonomi, dan dampak sosial berupa konflik,” jelasnya.
Maka dari itu, Alte menegaskan penolakan terhadap semua bentuk investasi yang sedang dan akan beroperasi di Papua.
Menurutnya, investasi di tanah Papua menjadi penyebab kerusakan lingkungan, iklim, dan berpotensi mengarah pada genosida, ekosida, dan etnosida.
“Segera batalkan dan hentikan rancangan transmigrasi di seluruh tanah Papua, karena Papua bukan tanah kosong. Tanah Papua bertuan dengan masyarakat yang memiliki hak atas lingkungan, budaya, dan warisannya turun-temurun,” tegasnya.
Yosua Jigibalon, salah satu pengurus BKMP se-Kalimantan, juga mengungkapkan pendapatnya.
Ia berpendapat bahwa proyek food estate seharusnya tidak menjadi alasan untuk merampas tanah adat dan mengorbankan lingkungan hidup di Papua.
“Masyarakat adat Papua menuntut agar suara mereka didengarkan dan hak-hak mereka dihormati demi menjaga keutuhan tanah Papua untuk generasi yang akan datang,” imbuhnya.
Yosua menambahkan bahwa pengembangan Proyek Strategis Nasional (PSN) Food Estate seluas dua juta hektar di Merauke, Papua Selatan, menimbulkan ketakutan bagi masyarakat adat.
“Selain khawatir akan ancaman perampasan ruang hidup, kini mereka merasa seperti terkena ’teror’ atas kehadiran pasukan TNI di sana,” ujarnya.
Sebagai warga asli Papua, Yosua menegaskan penolakannya terhadap rencana tersebut karena program transmigrasi ini dianggap masuk tanpa izin dari masyarakat adat.
Ia mengingatkan bahwa adat istiadat di Papua harus dihormati sebelum orang luar masuk ke tanah tersebut.
Belajar dari pengalaman MIFEE di Merauke dan Kalimantan Tengah, Yosua melihat bahwa resolusi proyek food estate dengan penggunaan lahan dan alih fungsi hutan skala luas—berbasis korporasi, modal besar, teknologi, mekanisasi, dan manajemen organisasi modern—justru menimbulkan rangkaian permasalahan, antara lain
“Semua ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan semua pihak yang terlibat,” tutup Yosua.