Mahfud MD Cerita soal Tekanan yang Dihadapi SBY Saat Pilkada 2014 Dikembalikan ke DPRD
JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan bahwa Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengalami tekanan bahkan di-bully ketika keputusan pilkada dikembalikan ke DPRD pada 2014.
Mahfud menjelaskan, SBY menjadi sasaran kritik karena dianggap merusak demokrasi.
Pernyataan tersebut disampaikan Mahfud dalam diskusi virtual bertajuk "Plus Minus Pilkada Oleh DPRD" pada Senin malam (23/12/2024).
"Tidak sulit ketika diputus di DPRD itu, bahwa UU itu disetujui oleh semua parpol, bahkan di DPR juga itu sudah disetujui di tingkat 1, di tingkat 2 di voting. PDI-P kemudian walkout, tapi tetap menang, (pilkada) kembali ke DPRD," ujar Mahfud.
Mahfud menambahkan, setelah keputusan itu, banyak LSM dan masyarakat sipil yang berpendapat bahwa hal tersebut mundur bagi demokrasi.
"Wah, Pak SBY habis di-bully habis-habisan. Pak SBY di-bully, ‘anda sudah merusak demokrasi, anda berhasil bangun banyak hal untuk politik, tapi pada saat anda mau turun, anda sudah merusak demokrasi ini’," sambungnya.
Mahfud juga menceritakan dampak emosional yang dialami SBY. Ia mengatakan, SBY tidak bisa tidur selama penerbangan ke Amerika Serikat.
"Sampai yang saya baca di pemberitaan, Pak SBY terbang ke Amerika di pesawat itu ndak bisa tidur, seperti keruh wajahnya. Bahkan ada yang mengatakan menangis," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Setibanya di Amerika, SBY menyatakan akan mengikuti suara rakyat dan berupaya agar pemilihan tetap dilakukan secara langsung.
Namun demikian, keputusan untuk mengembalikan pilkada ke DPRD sudah disetujui oleh pemerintah dan DPR.
Mahfud menjelaskan bahwa SBY kemudian membatalkan UU tersebut.
"Pak Sudi Silalahi, Mensesneg saat itu, dari Amerika mengatakan, ‘Presiden tidak akan menandatangani RUU yang sudah disetujui itu’. Banyak yang berteriak, termasuk saya, ‘Pak, kalau tidak ditandatangani, UU itu berlaku dengan sendirinya’," jelas Mahfud.
Akhirnya, SBY pulang ke Indonesia dan menandatangani RUU itu pada 29 September.
Namun, pada 2 Oktober, Menkumham mengundangkan UU tersebut dan SBY mengeluarkan Perppu yang mencabut UU itu.
"Ini persoalan politik," imbuhnya.
Sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto membandingkan sistem politik Indonesia dengan negara-negara tetangga.
Ia menilai negara seperti Malaysia, Singapura, dan India lebih efisien dalam pemilihan.
Kata dia, negara-negara tetangga hanya melaksanakan pemilihan satu kali untuk anggota DPRD. Selebihnya, DPRD yang memilih bupati hingga gubernur.
Hal tersebut dikatakan Prabowo saat menghadiri HUT Golkar di Sentul, Kamis malam (12/12/2024).
"Ketum Partai Golkar salah satu partai besar, tapi menyampaikan perlu ada pemikiran memperbaiki sistem partai politik. Apalagi ada Mbak Puan kawan-kawan dari PDI-P, kawan-kawan partai lain, mari kita berpikir, mari kita tanya, apa sistem ini, berapa puluh triliun habis dalam 1-2 hari. Dari negara maupun dari tokoh politik masing-masing," ujar Prabowo.
"Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itu lah yang milih gubernur, yang milih bupati," sambungnya.
Prabowo menekankan bahwa sistem pemilihan di Indonesia menghabiskan anggaran triliunan rupiah dalam waktu singkat, berbeda dengan negara tetangga yang lebih hemat.
Ia menegaskan bahwa uang yang dikeluarkan untuk pemilihan seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan lain, seperti makanan anak-anak, perbaikan sekolah, dan irigasi.
"Ini sebetulnya begitu banyak ketum partai di sini sebenarnya bisa kita putuskan malam hari ini juga, gimana?" tanya Prabowo disambut tawa.