Mahkamah Konstitusi dan Ketahanan Demokrasi

Mahkamah Konstitusi dan Ketahanan Demokrasi

Angin segar untuk ketahanan dan masa depan demokrasi Indonesia datang dari Mahkamah Konstitusi (MK). Lewat putusannya mengenai penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang biasa disebut sebagai Presidential Threshold (PT), MK akhirnya menilai PT memang melanggar konstitusi UUD 1945. Ketentuan itu juga dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat sebagai pemilik sah dari demokrasi.

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa syarat ambang batas pencalonan presiden yang diatur di dalam Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan konstitusi. MK menghapus syarat tersebut dan menyatakan setiap partai politik peserta pemilu berhak untuk mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Hal ini merupakan langkah yang baik dalam mempertahankan kelangsungan demokrasi di Indonesia.

Gebrakan MK lewat putusannya tersebut telah membuka gerbang partisipasi politik bagi peserta pemilu yang akan datang. Sehingga pergelaran pemilihan umum, khususnya pemilihan presiden/wakil presiden (pilpres) 2029 akan menjadi perhelatan demokrasi yang bisa dikatakan sebagai "tarung bebas". Mengingat, konsekuensi dari putusan ini memungkinkan seluruh partai politik dapat mengajukan calonnya dalam pilpres yang akan datang.

MK mengabulkan permohonan yang diajukan oleh mahasiswa dari UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Enika Maya Oktavia, dalam perkara nomor 62/PUU-XXII/2024. Selain itu, MK juga menerima permohonan pengujian Pasal 222 UU Pemilu yang diajukan oleh Dian Fitri Sabrina dengan perkara nomor 87/PUU-XXII/2024, Netgrit dan Titi Anggraini dengan perkara nomor 101/PUU-XXII/2024, dan Gugum Ridho Putra dengan perkara nomor 129/PUU-XXI/2023.

Putusan MK ini juga menjadi pencapaian dari usaha keras para pejuang demokrasi di Indonesia mengingat pengujian mengenai PT sering dibawa ke MK dan selalu ditolak. Mengingat MK sudah melakukan penolakan sebanyak 32 kali mengenai ambang batas pencalonan presiden ini, sungguh ini merupakan sebuah usaha dalam mempertahankan demokrasi. Studi-studi mengenai ketahanan demokrasi telah banyak dilakukan dan usaha ini bertujuan untuk mencegah terjadinya arus otokratisasi (Anna Luhrmann, (2021).

Dekade Kemunduran Demokrasi

Pemilu khususnya Pilpres 2024 banyak mendatangkan kritikan dan penilaian buruk mengenai masa depan demokrasi di Indonesia. Berawal dari putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 ketika itu yang menjadi jalan mulus Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto. Sengketa pilpres di MK juga memberikan catatan yang buruk terhadap demokrasi di Indonesia.

Dugaan keterlibatan cawe-cawe Presiden Jokowi dan ketidaknetralan aparatur sipil negara (ASN) mencuat ke hadapan publik. Bahkan hal ini juga menjadi sorotan dalam dissenting opinion pada sengketa pilpres di MK. Pemilu 2024 dalam banyak jajak pendapat dari kalangan ilmuwan politik dan para Indonesianis menjadi yang terburuk semenjak era Reformasi bergulir. Sehingga sepuluh tahun kepemimpinan Presiden Jokowi erat kaitannya dengan dekade kemunduran demokrasi di Indonesia.

Kondisi di atas dapat dilihat dalam seminar yang dilakukan Indonesia Project Australian National University (ANU) dengan judul How Jokowi Changed Indonesia pada 13-14 September 2024 yang menjadi rujukan menarik. Pembahasan dari berbagai ahli politik, ekonomi, hukum, dan hubungan internasional mencoba melakukan evaluasi terkait sepuluh tahun rezim politik Jokowi. Istilah seperti A Decade Democratic Regresion dan The Edge of Competitive Authoritarianism menjadi sebuah peringatan.

Istilah-istilah tersebut memang menjadi perhatian para ilmuwan demokrasi di dunia saat ini. Di tengah kemunduran demokrasi seperti dalam laporan lembaga Economist Intelligence Unit (EIU) lewat Democracy Index 2023. Dalam laporan ini posisi Indonesia melorot ke peringkat 56 dengan nilai 6,53 dan dikategorikan sebagai flawed democracy. Hal ini juga dapat dibayangkan jika Democracy Index 2024 nanti dikeluarkan oleh EIU mengenai kondisi demokrasi di Indonesia.

Berbagai fenomena kemunduran demokrasi mulai dari Pemilu 2024 sampai dengan Pilkada 2024 menjadi pukulan bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Tetapi, jika dilihat dari pertimbangan MK dalam menerima gugatan dari para pemohon mengenai PT ini juga berasal dari pertimbangan kondisi politik Indonesia saat ini. Fenomena yang terjadi pada Pemilu 2024 dan Pilkada 2024 menjadi acuan utama MK dalam menerima gugatan ini.

Penjaga Gerbang

Putusan MK ini menandakan bahwa penjaga gerbang demokrasi di Indonesia masih kuat dan ini dibuktikan oleh MK. Putusan ini menjadi dasar bagi kelangsungan demokrasi. Sehingga fenomena seperti partai politik memborong semua kursi pencalonan dapat di atasi pada pilpres yang akan datang. Putusan ini dapat mencegah munculnya rezim Authoritarian Multiparty Governments seperti yang dikatakan oleh Bokobza & Nyrup, (2024). Fenomena ini juga kelihatan dalam koalisi gemuk kabinet Prabowo-Gibran saat ini. Namun, dengan adanya putusan ini akan mencegah terjadinya otokratisasi di Indonesia.

Putusan ini juga ikut membenarkan bahwa ketahanan demokrasi di Indonesia juga memberikan batasan dalam otokratisasi dengan menghadirkan kompetisi di kalangan elite yang ada khususnya partai politik sesuai dengan temuan Marcus Mietzener (2024). Dengan adanya kompetisi antar elite dan partai politik secara bebas pada pilpres yang akan datang, maka akan mencegah munculnya kompetisi yang hanya terdiri dari dua pasang calon bahkan satu pasang calon presiden.

Oleh karena itu putusan yang dikeluarkan oleh MK pada Kamis, 2 Januari 2025 telah menjadi angin segar bagi demokrasi di Indonesia. MK layak dikatakan sebagai penjaga gerbang demokrasi di Indonesia. Sehingga upaya untuk melakukan democratic innovation seperti mewujudkan demokrasi substansial terbuka lebar. Pada akhirnya Indonesia dapat terhindar dari gelombang otokratisasi yang mulai menjamur di dunia saat ini.

Gennta Rahmad Putra mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Andalas

Sumber