Makan Bergizi Gratis (Jangan) Bikin Miris
Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional (BGN) menjadi dasar penunjukan BGN sebagai pengelola program peningkatan gizi nasional dengan mandat mempercepat pelaksanaan pemenuhan gizi nasional termasuk penanggulangan stunting melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dimulai pada 6 Januari 2025.
MBG merupakan program bagus untuk mempersiapkan anak-anak Indonesia menyongsong Indonesia Emas 2045, hanya saja masalah underlying atau peraturan pelaksanaannya –sampai artikel ini ditulis– masih belum jelas. Pemerintah terkesan terburu-buru melaksanakannya. Saya khawatir di tengah jalan akan menghadapi banyak masalah. Sudah banyak program besar yang tidak dipersiapkan dengan baik, dalam pelaksanaannya banyak menghadapi kendala serius dan menyulitkan publik.
Publik hingga hari ini belum paham bagaimana mekanisme pembiayaannya, selain dari APBN, karena menurut pemberitaan di media juga ada kontribusi APBD (Des) dan pihak mitra yang notabene adalah perusahaan swasta yang profit oriented. Sebagai informasi, ada 19,47 juta anak mulai tingkat PAUD hingga SMA, ibu hamil, dan penduduk rentan lainnya yang akan ditangani oleh program MBG. Untuk itu pemerintah mengalokasikan dana di APBN 2025 sebesar Rp 71 triliun.
Pertanyaan lain, bagaimana dengan mekanisme pendistribusian makanan, apakah dibagi berdasarkan wilayah atau rayon, siapa yang bertanggung jawab menyediakan MBG, siapa yang bertanggung jawab supaya makanan yang dibagikan mengandung 600 - 700 kalori per sajian atau 30% dari kalori yang dibutuhkan anak. Susu jenis apa yang akan dibagikan (susu bubuk, susu UHT, atau jenis susu lain yang setara nilai gizinya), lalu air yang digunakan untuk memasak apakah berasal dari air dalam kemasan atau air yang dimasak di dapur? Belum jelas. Mari kita bahas sebentar dari sumber yang dapat dipercaya dan pemberitaan media.
Mau Serba Cepat
MBG merupakan program ciamik dari pemerintahan Prabowo-Gibran, hanya saja kebiasaan pimpinan kita adalah mau semua serba cepat, mungkin karena program ini merupakan janji politik saat kampanye, jadi terlihat kusut dan dikhawatirkan dalam menjalankan programnya bisa bermasalah. Seperti yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi, infrastruktur terbangun tetapi biaya operasi dan pemeliharaannya sangat mahal karena kualitas buruk atau tidak adanya studi pendahuluan, serta korupsi dan lemahnya pengawasan selama pembangunan. Demikian pula dengan IKN.
Belajar dari kasus pembangunan infrastruktur sejak 10 tahun lalu, maka melalui tulisan ini saya ingin mengingatkan Presiden Prabowo supaya berhati-hati dan jangan terburu-buru mau memulai program MBG ini. Pastikan semua underlying hukum atau peraturan sudah siap, Lalu lakukan studi teknis dan non teknis secara lengkap untuk memudahkan mitigasinya jika muncul masalah. Program MBG sejatinya program politis tetapi di lapangan menjadi program kemanusiaan, termasuk persiapan SDM Indonesia Emas 2045.
Dengan sumber anggaran dari APBN 2025 sebesar Rp 71 triliun, apakah sudah dihitung dengan rinci bahwa kebutuhan per kepala Rp 10.000 itu bisa memenuhi kebutuhan gizi anak usia PAUD hingga SMA? Bagaimana jika terjadi fraud, di mana anggaran yang ada tinggal Rp 6.000 per kepala bukan Rp 10.000 seperti yang dianggarkan karena 40%-nya dikorupsi, seperti pengalaman kami mengurus Bansos dari Pemprov DKI Jakarta beberapa tahun lalu? Apakah peraturan perundangannya bisa menghukum pengutil 40% anggaran MBG tersebut?
Pertanyaan selanjutnya terkait dengan peran serta pemerintah daerah (pemda) dalam mensukseskan program MBG tersebut. Menteri Dalam Negeri mewajibkan pemda berpartisipasi, namun saya sedang mencari landasan hukumnya dan belum menemukan, baik berupa Peraturan Mendagri maupun Peraturan Kepala BGN. Menurut beberapa liputan di media, pemda diharapkan berkontribusi sebesar 13,73% atau sebesar Rp 5,64 triliun. Apakah seluruh pemda sudah mengalokasikan dana itu di APBD 2025?
Pertanyaan saya lainnya, apakah sudah ada petunjuk teknis (juknis) dari Dirjen Pembangunan Daerah, misalnya. Saya masih mencari dan belum menemukan. Pertanyaan lainnya lagi, bagaimana mekanisme kerja sama dengan mitra yang umumnya pengusaha swasta atau mungkin BUMN/D. Pertanyaan saya, apa untungnya buat mitra swasta jika tidak ada dana atau fee untuk mereka atau ini bagian dari alokasi dana Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) BUMN/D atau dana corporate social responsibility (CSR) perusahaan swasta? Belum jelas. Kalau tidak, dari mana mereka bisa mengalokasikan atau menyalurkan manfaat kepada 19,47 juta anak, ibu hamil, dan keluarga rentan lainnya? Artinya, mitra harus menyediakan alokasi anggaran, SDM, dan fasilitas. Adakah underlying peraturannya?
Seperti kita ketahui bersama, dari anggaran Rp 71 triliun melalui APBN 2025 ini, per sajian MGB mengandung 600 - 700 kalori atau 30% dari kalori yang dibutuhkan anak-anak. Rincian dana sebesar itu adalah Rp 63.356 triliun untuk pemenuhan gizi nasional dan Rp 7,433 triliun untuk program dukungan manajemen yang belum jelas klasifikasinya. Lalu anggaran dari mana untuk membangun dapur atau kebun sayuran, peternakan, dan sebagainya? Melihat alokasi yang ada, saya miris dan sangat curiga akan muncul berbagai fraud atau kebocoran yang akan mengganggu program MGB ke depan.
Langkah Pemerintah
Pertama, pastikan adanya landasan hukum dan petunjuk teknis pelaksanaan MBG di seluruh Indonesia, termasuk perda/perdes di masing-masing daerah karena pemda ikut berperan dalam penyediaan dana MBG.
Kedua, pastikan ada tim pengawas yang steril dan tidak melibatkan politisi. Mereka harus merupakan para ahli gizi, ahli kesehatan anak, ahli pangan, ahli logistik, ahli statistik, ahli antropologi sosial, ahli komunikasi, dan ahli lingkungan untuk mengawasi sampah hasil MBG. Mereka semua harus didukung oleh SDM dan fasilitas BGN sebagai koordinator program MBG, termasuk dengan honorariumnya.
Ketiga, pemerintah atau BGN harus bisa mengajak publik untuk mengawasi jalannya program ini dengan membangun komunikasi dan mekanisme pengawasan yang baik sesuai dengan budaya masyarakat lokal, jangan disamaratakan di seluruh Indonesia. Siapa yang akan mengawasi sumber air untuk membuat makanan dan minuman, tanaman yang digunakan mengandung pestisida atau tidak, penanganan sampah kemasan susu UHT yang mengandung plastik dan sebagainya.
Keempat, terbitkan juknis, apa yang harus dilakukan pihak berwenang ketika terjadi, misalnya keracunan, jumlah makan tidak sesuai dengan jumlah anak di sekolah tersebut. Lalu bagaimana bisa melindungi swasta yang berpartisipasi tidak terkena kebijakan diskriminasi. Misalnya pada air, susu, dan bahan baku pangan lain supaya keselamatan anak-anak terjaga.
Demikian catatan saya dari sisi luar pemerintah. Saya akan ikut mengawasi, diminta maupun tidak, demi lancarnya program MBG. Semoga para pihak yang berwenang sudah mengantisipasi butir-butir yang saya sampaikan di atas. Jangan korbankan anak-anak kita demi kepentingan politik dan keuntungan ekonomi para pihak sesaat. MBG jangan bikin miris.
Agus Pambagio pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen