Manila dan Sebuah Cermin Retak
Setiap kali melintasi kawasan Waru dan Gedangan di Sidoarjo, saya merasa seakan berada di luar negeri. Lanskap urban keduanya mengingatkan saya pada Manila, ibu kota Filipina. Sebagai jalur vital penghubung Surabaya dan kawasan industri Sidoarjo serta pintu gerbang menuju Bandara Juanda, Jalan Raya Waru dan Gedangan dipadati kendaraan pribadi, truk besar, dan angkutan umum, berpadu dengan suara klakson serta kabel listrik menjuntai di atasnya.
Pemandangan ini sangat mirip dengan rute Ninoy Aquino ke SM Mall of Asia di Manila yang menggambarkan ketidaksempurnaan dalam pembangunan kota yang belum sepenuhnya matang. Fakta ini mengejutkan, mengingat Filipina memiliki Produk Domestik Bruto sebesar USD 437,1 miliar, angka yang tergolong tinggi di ASEAN. Mengapa Manila begitu tertinggal? Barangkali, warisan kultur korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dipelihara oleh rezim Ferdinand Marcos masih membekas hingga kini.
Simbol Kemajuan dan Kemunduran
Filipina, dengan Manila sebagai pusat kekuasaannya, pernah menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedua di Asia setelah Jepang pada 1960-an. Negara ini pernah menjadi simbol kemajuan dengan pembangunan pesat, namun kini situasinya sangat berbeda. Sebagai ibu kota, ekspektasi saya setidaknya Manila akan setara dengan Jakarta, bukan Waru atau Gedangan.
Nyatanya, Manila jauh lebih tertinggal dari Jakarta, dengan kesenjangan infrastruktur yang begitu terasa. Sebuah kontradiksi yang mencolok mengingat dulu Manila menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang sangat menjanjikan. Kemunduran ini tidak bisa dilepaskan dari era Ferdinand Marcos yang penuh dengan KKN dan ketidakadilan sosial. Marcos diperkirakan menjarah sekitar USD 10 miliar dari kas negara-jumlah yang cukup untuk memberi subsidi kebutuhan pokok seluruh rakyat Filipina selama satu tahun.
Pada akhir rezim Marcos, hampir separuh populasi Filipina hidup dalam kemiskinan yang akut. Krisis kelaparan di Pulau Negros menjadi titik kulminasi dari kegagalan pemerintahan yang tidak mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya. Ironisnya, meskipun klan Marcos penuh dengan noda dan dosa, publik Filipina memilih untuk memaafkan. Pada 2022, klan Marcos kembali ke tampuk kekuasaan.
Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr., putra satu-satunya Marcos, terpilih sebagai Presiden Filipina bersama Sara Duterte, tokoh yang juga sarat kontroversi, sebagai mitra politiknya. Keduanya berasal dari dinasti politik raksasa di Filipina. Kedua klan menempatkan anggota keluarganya di posisi strategis pemerintahan seperti gubernur, DPR, dan senator untuk melanggengkan ambisi politik dinasti masing-masing.
Sejak awal pemerintahan mereka, para pengamat politik sudah memprediksi potensi pecahnya koalisi ini. Prediksi tersebut terbukti, meski tidak banyak yang menduga bahwa koalisi itu amburadul dalam waktu yang singkat. Hanya dalam dua tahun mereka bersama, koalisi keduanya sudah retak dan saling ancam untuk menjatuhkan atau bahkan membunuh.
Politik Dinasti dan Perangkap Kekuasaan
Fenomena politik dinasti ini bukan hanya terbatas pada Filipina. Di negara fiksi seperti Konoha atau Wakanda sekalipun, kekuasaan bisa saja menjadi milik beberapa keluarga elite yang menguasai negara selama beberapa generasi. Dalam kenyataannya, politik dinasti menciptakan situasi di mana perubahan hanya bisa terjadi di dalam lingkaran tertutup ini.
Para elite berusaha mempertahankan kekuasaan dan hanya fokus pada upaya mempertahankan citra politik. Mereka menggunakan strategi seperti berbagi sembako, susu, menggelar pertemuan massa, hingga program-program populis lainnya yang lebih banyak mengutamakan pencitraan daripada pembangunan yang sesungguhnya.
Kursi di pemerintahan hanyalah jabatan formal; di balik layar, mereka layaknya tuan tanah yang memiliki ambisi melanggengkan kekuasaan. Tidak mengherankan jika sejak awal mereka sudah merancang strategi untuk memastikan dominasi pada periode berikutnya. Dalam praktiknya, ini berujung pada koalisi di dalam koalisi. Masing-masing pihak berupaya mengendalikan otonomi daerah dan memobilisasi dukungan di tingkat lokal.
Pemerintahan menjadi arena barter kekuasaan. Pemimpin daerah merasa diistimewakan karena memiliki dukungan dari elite, sementara para elite menggunakan pengaruh lokal untuk kepentingan politik pribadi. Dalam situasi seperti ini, politik dinasti memiliki simbiosis "untung-buntung" elite mendapatkan kekuasaan besar, sementara negara menghadapi kehancuran demokrasi.
Dalam banyak hal, politik dinasti hanya menempatkan rakyat sebagai sumber suara saat pemilu dan menghambat lahirnya reformasi yang benar-benar berpihak pada rakyat. Celah antara para elite dan rakyat semakin lebar, sehingga menciptakan kesenjangan sosial yang semakin tajam.
Refleksi di Cermin Retak
Melihat Manila adalah seperti melihat refleksi di cermin retak buram, tapi cukup jelas untuk mengingatkan kita tentang apa yang harus dihindari. Filipina adalah peringatan bukan hanya tentang bahaya politik dinasti, tetapi juga tentang apa yang terjadi ketika kekuasaan hanya menjadi alat untuk kepentingan pribadi.
Ketika negara terperangkap dalam lingkaran politik dinasti, perkembangan ekonomi dan sosial menjadi sangat terbatas. Rakyat menjadi korban dari kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang. Sementara itu, ekonomi terus terperosok dan membuat rakyat terhimpit dalam keadaan yang semakin sulit. Situasi ini memperlihatkan betapa pentingnya kepemimpinan yang tidak hanya berorientasi pada kekuasaan, tapi pada pembangunan jangka panjang yang benar-benar meningkatkan kualitas hidup rakyat.
Dinasti dan sistem pemerintahan yang tidak berorientasi pada rakyat dapat menghambat kemajuan yang seharusnya terjadi. Kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas utama, bukan pencitraan politik semata. Hanya dengan cara inilah kita dapat memastikan bahwa pembangunan benar-benar berkelanjutan dan menyentuh semua lapisan masyarakat.
Anum Intan Maulidi pegawai Kementerian Keuangan, mahasiswa Hubungan Internasional President University