Matematika dalam Humor: Tertawa Serius di Balik Rumus

Matematika dalam Humor: Tertawa Serius di Balik Rumus

Matematika itu ilmu eksak. Rumus dan jawabannya pasti. Tapi dalam mengajarkannya, para dosen dan guru boleh banget memanfaatkan ambiguitas bahasa agar peserta ajarnya sedikit lebih santai. Jangan ragu untuk belajar dari kreator konten seperti Papa Zidan, yang belakangan naik daun karena joke matematikanya yang nyeleneh. Pemilik tagline ‘Matematika itu mudah dan menyenangkan, bukan? Bukan!’ tersebut berhasil mengajak audiensnya melihat sisi humor dari pelajaran yang kerap dianggap menyusahkan melalui permainan makna dalam soal yang ia berikan. Coba amati soal matematika dari Papa Zidan berikut Tulislah bentuk pecahan yang lebih kecil dari 4⁄8 (empat per delapan)!

Lazimnya, jawaban yang diharapkan dari pertanyaan ini adalah 1/2 (satu per dua). Hasil ini diperoleh dengan mencari faktor persekutuan terbesar (FPB) dari angka 4 dan 8, yaitu 4. Kemudian, pembilang dan penyebut akan dibagi dengan angka tersebut untuk mendapatkan bentuk pecahan yang lebih kecil. Alih-alih memberikan jawaban yang sesuai dengan rumus penyederhanaan seperti itu, ia malah menuliskan kembali 4⁄8. Kali ini, dalam ukuran yang lebih kecil (@papazidan3, 3/2/22).

Meskipun jawaban yang diberikan oleh Papa Zidan jauh dari konvensi matematika universal, tidak ada yang salah dengan luarannya. Alasannya, perintah "tulislah pecahan yang lebih kecil" yang ia ajukan memang punya makna interpretasi bercabang. Lain halnya jika perintah yang diajukan adalah untuk "menyederhanakan" pecahan tersebut. Dalam hal ini, ruang ambiguitas telah jauh menyempit. Agar relevan, jawabannya harus mengikuti aturan matematika yang ada, yakni dengan mencari FPB kedua angka.

Ambiguitas seperti di atas lahir karena bahasa mengandung jebakan tersembunyi. Penempatan suku kata atau preposisi yang salah tempat, misalnya, dapat menimbulkan kebingungan dan mengubah makna dari ucapan tersebut (The Language of Jokes Analysing Verbal Play, Chiaro, 1992). Ambiguitas bahasa sejalan dengan teori incongruity, yang menyatakan bahwa humor sering kali muncul karena adanya ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan.

Di sinilah contoh bagaimana tawa dapat dicerna melalui pendekatan linguistik. Setelah menangkap konsep ambiguitas di atas, mari beranjak ke soal berikutnya. Kali ini, cobalah untuk berpikir out of the box.

"Sebuah mobil yang dikendarai oleh perampok berhasil menempuh jarak 80 km dalam kurun waktu 1 jam. Dapat dipastikan bahwa mobil itu bergerak dengan kecepatan…."

Jika jawaban Anda adalah bahwa mobil tersebut melaju dengan kecepatan tinggi, selamat! Anda telah berhasil memikirkan jawaban yang out of box itu! Namun, jika Anda memilih untuk menghitung menggunakan rumus kecepatan –yang diperoleh dari jarak dibagi waktu– sehingga menemukan jawaban 80 km/jam, itu pun benar!

Pada dasarnya, inilah inti dari konsep ambiguitas satu pertanyaan dapat melahirkan beberapa jawaban yang valid.

Penggunaan ambiguitas bahasa dalam soal matematika, seperti yang dilakukan oleh Papa Zidan, adalah contoh dari aplikasi Matematika dalam Humor.

Dalam konteks ini, konsep matematika bukanlah penyebab lelucon itu menjadi lucu, melainkan hanya sebagai elemen pendukung yang memperkaya keseluruhan humor. Sejalan dengan penjelasan dalam Encyclopedia of Humor Studies (2014), bahwa "Matematika dalam Humor" (MDH) terjadi ketika sebuah konsep matematika dijadikan referensi untuk memperkaya lelucon, tanpa menjadikannya sebagai fokus utama.

Ambiguitas bahasa dalam MDH cocok sebagai selingan dalam pembelajaran matematika. Saat peserta ajar Anda mulai tampak tegang atau bosan, coba hadirkan pertanyaan ambigu dan berikan jawaban –atau persilakan mereka menjawab– di luar kesepakatan matematisnya. Konsep ini sejalan dengan pandangan Freud yang menyatakan bahwa lelucon ambigu dapat membantu meredakan ketegangan emosi yang ada (Mathematics and Humor, Paulos, 1980). Lebih lanjut, Freud menganggap hal tersebut sebagai lelucon yang tidak berbahaya atau harmless wit. Muatan emosional yang berat atau topik kontroversialnya nihil. MDH bakal lebih aman dan jauh bisa diterima secara sosial dan emosional. Misalnya, dalam memperkenalkan konsep aljabar, daripada langsung menjelaskan rumus-rumus, manfaatkanlah ambiguitas bahasa untuk mendorong peserta ajar masuk ke mode berpikir easy mode dulu.

Pertimbangkan contoh berikut untuk dibawakan di kelas Anda

Jika X + 5 = 7, berapakah X?

Dengan membawakan pertanyaan persis seperti di atas, Anda sedang memberikan ruang untuk interpretasi ganda. Karena pertanyaan di atas diajukan tanpa menyebutkan kata "nilai," maka wajar saja kalau ada yang memberikan jawaban non-matematis, yakni satu (sesuai dengan jumlah huruf "X" dalam soal).

Standar interaksi dalam pembelajaran matematika adalah meminta peserta ajar maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal di papan. Nah, pertanyaan ambigu bakal meningkatkan tingkat keterlibatan peserta ajar di kelas. Tiap memberikan soal, contohnya, berikan pertanyaan ambigu untuk memberikan kesempatan bagi peserta ajar berinteraksi dengan Anda secara santai. Setelahnya, lanjutkan dengan menjelaskan konsep atau memberikan pertanyaan yang sebenarnya.

Persinggungan kajian bahasa, humor, dan matematika ini adalah inovasi untuk merangsang pemikiran kreatif dan kritis peserta ajar. Dalam kajian linguistik, teorinya disebut implikatur. Menurut penggagasnya, Paul Grice, implikatur merujuk pada apa yang sebenarnya ingin diucapkan oleh pembicara, meskipun tidak diucapkan secara langsung (Discourse Analysis, Brown & Yule, 1983). Dalam banyak kasus, pendengar perlu memahami konteks dan situasi agar dapat menangkap makna tersembunyi di balik pernyataan tersebut. Ibarat pepatah, "Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui," pendekatan ini menyinggung berbagai aspek penting dalam dunia pendidikan. Jadi, selain penguasaan konsep matematika, peserta ajar juga diajak untuk mengeksplorasi ambiguitas dalam bahasa.Esha Yasmina Rahman; tulisan ini dibuat bersama peneliti humor IHIK3, Ulwan Fakhri, dalam program ‘Intern Science Communicator’ dari Program Studi Sastra Inggris, Universitas Brawijaya-IHIK3

Sumber