Melawan Kekerasan Seksual dengan Pemajuan Kebudayaan

Melawan Kekerasan Seksual dengan Pemajuan Kebudayaan

Secara global, sejak 1991 di berbagai belahan dunia ada gerakan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Setiap tahunnya, kegiatan kampanye ini dimulai pada 25 November sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, hingga 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) internasional.

Sejarah gerakan anti kekerasan tersebut bermula dari penghormatan atas meninggalnya Patria, Minerva, dan Maria Teresa (Mirabal Bersaudara) pada 25 November 1960 akibat dibunuh oleh Rafael Trujillo, diktator Republik Dominika. Mirabal bersaudara merupakan aktivis yang memperjuangkan demokrasi dan keadilan di Dominika. Mereka meninggal akibat pembunuhan keji yang dilakukan oleh rezim diktator Trujillo. Pemimpin tangan besi setelah 30 tahun berkuasa itu akhirnya juga mati terbunuh pada 30 Mei 1961.

Indonesia ikut andil dalam gerakan kampanye anti kekerasan tersebut. Pada 2024 ini pesan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan sebagaimana dilansir dari laman Komnas Perempuan adalah Lindungi Semua, Penuhi Hak Korban, Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan. Tema ini dipilih sebagai seruan kuat untuk melindungi perempuan, memenuhi hak-hak korban, dan mengakhiri segala bentuk kekerasan berbasis gender.

16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan sesungguhnya hanya sebagai pengingat karena, sebagai gerakan, semangat anti kekerasan itu penting dan perlu terus disuarakan sepanjang tahun. Ancaman kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, dalam ruang privat maupun ruang publik.

Terjadi Sepanjang TahunBeberapa waktu lalu, publik di Indonesia dihebohkan oleh peristiwa tragis yang menimpa Nia Kurnia Sari, remaja perempuan penjual gorengan di Padang Pariaman Sumatera Barat yang diperkosa dan dibunuh oleh seorang laki-laki bernama Indra Septiawan pada awal September 2024. Peristiwa itu sangat menyayat hati kita semua. Kasus lain adalah seorang perempuan diperkosa dan dibunuh oleh seorang laki-laki yang berprofesi sebagai supir travel di Luwu Timur, Sulawesi pada awal Oktober 2024, seorang perempuan di Deli Serdang yang diperkosa oleh tiga orang laki-laki, serta seorang perempuan yang diperkosa oleh ayah kandungnya selama 22 tahun di Empat Lawang pada awal Desember 2024. Masih banyak kasus-kasus lain yang menimpa para perempuan di Indonesia belakangan ini.

Seperti apa sebenarnya situasi kekerasan yang menimpa perempuan di Indonesia? Dalam catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di situs SIMFON-PPA, hingga akhir 2024 terdapat 25.578 kasus kekerasan, 22.164 kasus di antaranya menimpa perempuan sebagai korban, sebagian kecil lainnya adalah laki-laki sejumlah 5.590 kasus. Kebanyakan pelaku kekerasan itu adalah laki-laki, dan korbannya adalah perempuan.

Data di atas menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual di Indonesia masih terjadi sepanjang tahun. Fenomena kekerasan ini diduga seperti punca gunung es; kasus yang tidak terlaporkan dimungkinkan lebih banyak terjadi. Situasi ini membutuhkan kerja keras dan kolaborasi dengan banyak pihak. Semua orang harus bersama-sama mengkampanyekan pentingnya perlindungan dan penghentian kekerasan terhadap perempuan. Karena sekalipun kita telah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, juga Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, serta beberapa kebijakan lain, faktanya masih terjadi banyak kasus kekerasan yang menimpa perempuan.

Budaya Patriarki Harus Dikikis

Patriarki adalah salah satu faktor terjadinya kekerasan berbasis gender di Indonesia. Patriarki menjadi sebuah konstruksi sosial yang menempatkan laki-laki menjadi lebih dominan, menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dalam segala hal mulai urusan politik, hukum, moral, pendidikan, hingga penguasaan atas harta benda.

Budaya patriarki ini harus dikikis, agar masyarakat kita tak lagi permisif terhadap kasus-kasus kekerasan yang menimpa perempuan. Beberapa perbincangan di media sosial kita menunjukkan masih cukup banyak orang yang bersikap permisif; cuitan dan pernyataan di sosial media bernada seksis dan misoginis yang menempatkan perempuan semata sebagai objek seksualitas. Miris.

Kita membutuhkan gerakan pemajuan kebudayaan yang berpihak pada perempuan agar kehidupan sosial menjadi lebih adil. Pemajuan maknanya tentu harus lebih maju dan baik, maka cara pandang budaya yang tidak lagi relevan seperti patriarki ini harus kita tinggal.

Sementara budaya dan tradisi masa lalu yang baik, seperti tradisi Karia’a di Buton Sulawesi Tenggara yang ditujukan untuk penghormatan dan penghargaan bagi perempuan sejak masih muda, budaya matrilineal di Minangkabau yang menempatkan perempuan sebagai sosok yang sangat terhormat, serta beberapa catatan tradisi dan sejarah kita yang lain menempatkan perempuan secara terhormat, masih bisa kita lestarikan. Tidak hanya itu, perlu internalisasi pemaknaan tradisi tersebut dalam keseharian, sehingga perempuan bisa diposisikan sebagai mitra sejajar bagi laki-laki. Perempuan juga memiliki keleluasaan bergerak dalam ranah publik maupun domestik.

Pemajuan kebudayaan harus lebih luas pengejawantahannya, bukan sekedar urusan pelestarian seni, budaya, dan tradisi –harus dipilah. Budaya dan tradisi yang tidak memajukan, seperti patriarki, tak selayaknya dilestarikan. Contoh baik pemajuan kebudayaan itu terjadi di moda transportasi kereta api. Bila seseorang terbukti melakukan pelecehan seksual di dalam kereta api, ia akan dimasukkan dalam "daftar hitam" dan selamanya dilarang menggunakan kereta api. Itu pemajuan kebudayaan!Budhi Hermanto peneliti Yayasan Umar Kayam

Sumber