Melawan lewat Film, Cara Sineas Palestina Merawat Ingatan Kolektif tentang Tanah Air
KOMPAS.com – Organisasi sinema Palestina yang berbasis di Ramallah, Palestina, Filmlab Palestine, menggelar Palestine Cinema Days Around The World di 253 tempat di 44 negara, termasuk Indonesia, Sabtu (2/11/2024).
Sebanyak 8 film dokumenter diputar pada perhelatan yang diinisiasi bersama Aflamuna, organisasi nirlaba dari Beirut, Lebanon, yang kerap mempromosikan isu-isu sosio-politik global melalui sinema Arab.
Film-film tersebut di antaranya adalah Naila and The Uprising (2017) karya Julia Bacha, Infiltrators (2013)—film pemenang Chicago Best Doc karya Khaled Jarrar.
Kemudian, Little Palestine, Diary of as Siege (2021) karya Abdallah Al Khatib, Eleven Days in May (2022) buatan Michael Winterbottom dan Mohammad Sawwaf, Aida Returns (2023) karya sutradara Lebanon-Kanada-Palestina Carol Mansour, The Wanted 18 (2014), film animasi-dokumenter buatan Amer Shomali dan Paul Cowan.
Selanjutnya, Resistance – Why (1971) karya Christian Ghazi dan Maloul Celebrates its Destruction (1985) buatan Michel Khleifi.
Penyelenggaraan tahun ini sedikit berbeda lantaran dilakukan secara serentak di seluruh dunia. Sebelumnya, Palestina Cinema Days biasa diselenggarakan di Ramallah, Bethlehem, serta salah satu lokasi di Tepi Barat pada Oktober.
Melalui siaran pers, Filmlab Palestine menyatakan bahwa perang yang menghancurkan Gaza masih terus berlanjut hingga lebih dari satu tahun dan kengerian terus meningkat.
Akan tetapi, media mainstream internasional, para pemimpin dunia, dan platform media sosial utama tetap menyensor narasi tersebut dan semakin merendahkan kemanusiaan warga Palestina.
“Palestine Cinema Days Around The World akan menerangi layar film di seluruh dunia untuk menegakkan narasi Palestina yang sering dibungkam secara paksa,” bunyi pernyataan Filmlab Palestine.
Pemilihan 2 November sebagai hari penyelenggaraan bukan tanpa alasan. Tanggal ini sengaja dipilih agar bertepatan dengan peringatan Deklarasi Balfour.
Deklarasi kontroversial dari pemerintah Inggris pada 1917 tersebut membuka pintu orang Yahudi membangun pemukiman di Palestina serta melucuti hak-hak warga Palestina yang sudah lama tinggal di tanah mereka.
Di Indonesia, kegiatan tersebut salah satunya diselenggarakan oleh ProyekDekolonial yang berfokus pada isu dekolonisasi dan In-Docs, organisasi nirlaba yang mendorong budaya keterbukaan melalui film dokumenter, di Keris Kafe, Depok, Jawa Barat.
Sejumlah komunitas turut mendukung kegiatan, antara lain Sinema Masa Baru, Kolektif Semai, Against Dehumanization, RuangRiung Baceprot, Polimedia Film Festival, dan Geology Made Punk.
Selain pemutaran film, acara tersebut juga menghadirkan diskusi dan pembuatan zine kolaboratif yang mengeksplorasi tema memori, identitas, dan perlawanan dalam narasi Palestina.
Fasilitator dari ProyekDekolonial Frendy Kurniawan mengatakan, pihaknya memutar tiga dari delapan film, yakni Little Palestine, Diary of a Siege; Aida Returns; dan Maloul Celebrates its Destruction.
Ketiga film ini, lanjutnya, sengaja dipilih karena perspektifnya yang saling melengkapi tentang perlawanan Palestina. Ketiganya membentuk triptik yang menggambar keterkaitan antara sutra (keberlangsungan hidup), a’wna (solidaritas), dan sumud (keteguhan).
Frendy menambahkan, inisiatif pemutaran film dokumenter Palestina ini menunjukkan kekuatan sinema untuk memperkuat suara komunitas yang terpinggirkan sembari menjadi bagian dari praktik dekolonisasi.
“Melalui pemutaran ini, kami mendorong pemahaman yang lebih dalam tentang sumud, atau keteguhan rakyat Palestina, serta mengajak audiens untuk menghayati narasi yang menggambarkan kondisi kemanusiaan,” tuturnya lewat siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (5/11/2024).
Little Palestine, Diary of a Siege karya Abdallah Al Khatib menggambarkan situasi sulit atas pengepungan kamp pengungsi Yarmouk di luar Damaskus selama Perang Suriah pada 2018.
Film tersebut menangkap esensi sutra, yakni hubungan mendalam antara kelangsungan hidup dan identitas 181 pengungsi Palestina di Yarmouk.
“Saat penduduk menghadapi kelaparan di bawah pengepungan, kita menyaksikan bagaimana tindakan paling dasar dalam mempertahankan hidup menjadi revolusioner,” tulis catatan kuratorial ProyekDekolonial.
Film tersebut menunjukkan cara orang Palestina menjaga martabat dan tujuan hidup, bahkan dalam situasi paling putus asa, serta mengubah perjuangan sehari-hari untuk bertahan menjadi pernyataan kemanusiaan dan hak mereka untuk ada.
Sementara, Aida Returns, karya Carol Mansour, mengisahkan perjalanan emosionalnya saat membawa abu ibunya kembali ke Yafa yang kini dikuasai Israel. Perjalanan intim tersebut menjadi perwujudan a’wna sebagai konsep dan sekaligus praktik.
Tekad Aida untuk menyeberangi hambatan Israel menjadi metafora bagi perjuangan kolektif Palestina untuk kembali. Perjalanan individu yang didukung oleh jaringan solidaritas, yakni keluarga, komunitas, dan bahkan tanah itu sendiri memanggilnya pulang.
“Film ini menunjukkan bagaimana tindakan kembali secara pribadi sebenarnya merupakan aksi kolektif,” tulis catatan kuratorial tersebut.
Kemudian, Maaloul Celebrates its Destruction dari Michel Khleifi mendokumentasikan desa-desa di Palestina yang hancur akibat perang Arab-Israel pada 1948. Melalui perkumpulan tahunan di reruntuhan Maloul, film ini memperlihatkan sumud dalam bentuknya yang paling murni.
Film tersebut juga menunjukkan bahwa memori bisa menjadi alat perlawanan ketika mantan penduduk dan keturunannya kembali untuk memperingati warisan mereka.
“Kehadiran mereka mengubah tempat kehancuran menjadi ruang kontinuitas dan pembangkangan. Film ini menggambarkan bagaimana sumud melampaui generasi sebagai pengingat dan perlawanan,” tulis catatan kuratorial ProyekDekolonial.
Dok ProyekDekolonial Pembuatan Zine Kolaboratif dalam PCD 2024 di Keris Kafe, Depok.
Ketiga film tersebut lebih dari sekadar dokumentasi. Mereka adalah bentuk perlawanan dan menciptakan arsip kehidupan Palestina yang menolak untuk dihapus.
“Seperti pohon zaitun yang menghubungkan orang Palestina dengan tanah mereka, karya sinematik ini menghidupkan memori dan identitas Palestina, menegaskan kelangsungan hidup, solidaritas, dan sumud sebagai nilai-nilai yang mendasari perjuangan mereka,” tulis catatan kuratorial tersebut.
Salah satu diaspora Palestina yang ikut dalam sesi kolektif reflektif, Rahaf Saqr, menyebutkan bahwa tiga film tersebut menggambarkan pengalaman Palestina sebagai upaya seni dan sekaligus kesaksian perlawanan.
“Film-film ini sangat penting. Mereka mencerminkan rasa sakit dan kekuatan kami, perjuangan dan tekad kami (orang Palestina) untuk tetap ada,” tuturnya.
Rahaf bercerita, sebagai diaspora Palestina, ia mengaku merasakan betul beratnya melakukan perlawanan untuk memastikan identitas Palestina tidak dihapus dan dilupakan. Menurut Rahaf, itulah makna esensi sumud.
“Kami berusaha tetap berakar dengan cara berbeda dan saya percaya bahwa ketahanan ini merupakan sesuatu yang semua orang Palestina, baik di rumah maupun luar negeri, wujudkan,” ungkapnya.
Lebih jauh Rahaf menjelaskan bahwa sumud bukan hanya soal keteguhan. Makna sumud, baginya, melebihi batasan lingustik.
Sumud, jelasnya, mewakili hubungan mendalam antara orang Palestina dan tanah mereka. Koneksi ini berlangsung dua arah. Penduduk Palestina berinteraksi dengan tanah dan tanah juga berinteraksi dengan mereka.
“Namun, sumud tidak hanya untuk mereka yang secara fisik berada di tanah. Itu juga mencakup semua orang Palestina, termasuk mereka yang diaspora. Meskipun, hanya orang Palestina di tanah mereka yang mewujudkan sumud sepenuhnya dan dalam segala bentuknya,” jelasnya lagi.
Sebagai contoh, perjuangan pengungsi Palestina di kamp Yarmouk pada film Little Palestine, Diary of a Siege. Film itu, lanjut Rahaf, menegaskan bahwa pengalaman dan perjuangan Palestina tidak mengenal batas.
“Realitasnya adalah menjadi orang Palestina itu menantang di mana pun, dan menyerah pada tanah kami tidak pernah menjadi pilihan. Jika kami tidak melawan untuk tanah kami, kami mungkin tidak akan pernah sepenuhnya hidup di tempat lain,” tuturnya.
Pemutaran ketiga film dokumenter Palestina tersebut telah membuka “mata” penonton. Salah satu fasilitator ProyekDekolonial Betharia Nurhadist mengungkapkan, film-film tersebut tidak hanya memberi tahu apa yang terjadi di Palestina.
“Mereka membenamkan kita dalam emosi dan sejarah di balik berita utama,” ungkapnya.
Bagi Betharia, keotentikan dan urgensi cerita-cerita dalam ketiga film tersebut sangat mengena bagi penonton. Penonton pun terdorong untuk terlibat dalam percakapan lebih luas tentang keadilan dan solidaritas.
Pengalaman serupa juga dirasakan salah satu penonton, Siti Baitun Nisah. Ia mengaku baru pertama kali menonton film dokumenter Palestina.
“Selama ini, aku tahu tentang Palestina, tetapi aku belum pernah menonton film yang secara langsung menceritakan kehidupan mereka,” ungkapnya.
Pengalaman ini membantunya memahami narasi dengan lebih dekat serta penderitaan dan perjuangan yang dialami oleh masyarakat Palestina.