Melihat Keberagaman lewat Film Harmony of Aceh
BANDA ACEH, KOMPAS.com - Nyak Intan tengah santai menikmati kopi sembari membaca buku di salah satu warung kopi (warkop) di Kota Banda Aceh.
Tak jauh dari meja Intan, seorang wanita lainnya, Monica Malau, tiba-tiba tersandung saat berjalan.
Sejumlah buku yang ada di pelukannya ikut terempas. Melihat hal itu, Intan beranjak dari kursinya dan langsung menghampiri Monica.
Dia juga ikut membantu mengambil sejumlah buku yang jatuh ke lantai.
"Enggak apa-apa," ucap Monica yang kemudian ikut menyesap kopi bersama.
Nyak Intan merupakan seorang perempuan muslim, sedangkan Monica adalah pemeluk agama Katolik di Banda Aceh.
Dari meja kopi tersebut, Intan kemudian mengajak Monica keliling melihat pusat ibu kota Provinsi Aceh.
Keduanya bahkan berkunjung ke Masjid Raya Baiturrahman (MRB).
Dari pelataran masjid kebanggaan masyarakat Aceh itu, Intan juga tampak memakaikan Monica kerudung warna hitam.
Dengan wajah semringah, Intan dan Monica tidak lupa mengabadikan momen mereka berdua di sana.
Tak lama setelah mengunjungi MRB, Intan lalu mengantarkan Monica ke Gereja Katolik Paroki Hati Kudus di Jalan Jenderal Ahmad Yani, Kuta Alam, Banda Aceh.
Keberadaan Gereja Katolik tersebut tidak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman.
Jaraknya hanya dipisahkan Jembatan Pante Pirak (PP) yang berada di tengah Kota Banda Aceh.
Seperti itulah sekilas cuplikan yang ditampilkan dalam film Harmony of Aceh. Film yang menggambarkan tentang keharmonisan kerukunan umat beragama.
Film ini baru saja diluncurkan oleh Kanwil Kemenag Aceh, Rabu (6/11/2024), di ruang teater lantai 4 gedung landmark salah satu bank di Aceh yang berada di Jalan Tgk Daud Beureueh.
Kepala Bagian Tata Usaha (Kabag TU) Kanwil Kemenag Aceh Ahmad Yani mengatakan, film Harmony of Aceh adalah bentuk visualisasi kerukunan umat beragama yang saat ini berlangsung di Aceh.
"Bagaimana kenyamanan, kebahagiaan, toleransi umat beragama yang ada di Aceh, kita kemas dalam sebuah film," katanya kepada awak media.
Yani mengungkapkan, lewat film tersebut, pihaknya ingin menyampaikan bahwa Aceh adalah daerah sejuk dan nyaman, tidak seperti yang digambarkan oleh orang-orang di luar Aceh.
"Di dalam keberagaman kita saling menghargai, saling toleransi, dan saling semuanya. Semua itu kita wujudkan di negeri serambi Mekkah ini," ujarnya.
Nantinya, sebut Ahmad Yani, film tersebut akan diputar kembali saat memperingati Hari Kerukunan Umat Beragama Internasional pada 16 November 2024.
"Film ini adalah wujud nyata keberagaman yang ada di Aceh," tuturnya.
Produser film yang juga Katim Umum dan Hubungan Masyarakat (Humas) Kanwil Kemenag Aceh, Ahsan Khairuna, mengatakan, film tersebut merupakan ikhtiar pihaknya dalam memperkuat moderasi beragama di Aceh.
"Film ini memotret keberagaman dan kerukunan di Serambi Mekkah," katanya.
Film ini disutradarai oleh Subur Dani yang merupakan seorang seniman di Aceh.
Menurutnya, kehadiran film Harmony of Aceh dapat memberikan gambaran bagi wisatawan yang hendak berkunjung ke Aceh.
"Ini bisa menjadi salah satu referensi bagi wisatawan yang akan ke Aceh karena selama ini masih banyak orang di luar sana yang belum mendapat informasi utuh tentang harmonisasi di Aceh," katanya.
Sementara itu, salah seorang pemeran film, Monica Malau, mengaku senang dirinya bisa ikut terlibat dalam pembuatan film tersebut.
Sebagai minoritas di Aceh, dirinya merasakan betul bagaimana keamanan dan kenyamanan di Aceh.
Monica mengaku, lewat film itu pula untuk pertama kalinya dia menginjakkan kaki di Masjid Raya Baiturrahman.
"Semoga dengan film ini, kerukunan di Aceh kian solid dan baik," ucapnya.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh Abdul Hamid Zein mengaku, dirinya sudah turun ke 23 kabupaten/kota di Aceh dan menyaksikan langsung kehidupan antar-umat beragama.
"Sesungguhnya kehidupan masyarakat di Aceh ini sangat harmoni," ucap pria yang akrab disapa Ayah Hamid itu.
Ia menceritakan, toleransi di Aceh selama ini berjalan sangat baik. Antar-umat beragama saling menghormati dan menghargai satu sama lain.
Dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh Nomor 11 Tahun 2006 dan Qanun Syariat Islam, diatur juga bahwa Pemerintah Provinsi Aceh dan Kabupaten/Kota menjamin kebebasan, menjaga kerukunan, dan menjaga kedamaian di Aceh.
"Mereka hidup berdampingan, hidup secara baik, mereka tidak pernah mengganggu satu sama lain, sehingga Aceh bisa dikatakan tempatnya hidup orang dengan toleransi yang sangat baik," pungkasnya.