Melihat Proses Rehabilitasi Korban Kekerasan Seksual di Sentra Paramitha Mataram

Melihat Proses Rehabilitasi Korban Kekerasan Seksual di Sentra Paramitha Mataram

KOMPAS.com - Empat regu sedang bertanding dalam babak penyisihan cerdas cermat di Sentra Paramita Mataram, Rabu (13/11/2024) pagi.

Teriakan pendukung menambah semangat para peserta. Kompetisi nampak sengit setiap peserta saling berebut menjawab soal.

Sepintas anak-anak yang mengikuti perlombaan ini tampak ceria dan bahagia, tetapi mereka adalah penyintas kekerasan seksual.

"Kami upayakan berbagai program agar anak-anak bisa sejenak melupakan masalah yang dihadapi."

"Salah satu cara yang kami lakukan dengan menggelar perlombaan sebagai salah satu rangkaian acara peringatan Hari Pahlawan,” kata Kepala Sentra Paramita Mataram, Raden Latifah Ningrum saat ditemui di sela acara.

Menurutnya, cerdas cermat untuk memaknai dan memupuk rasa cinta atas perjuangan para pahlawan.

Selain itu, pada Kamis (14/11/2024) anak-anak juga berziarah ke makam pahlawan Muhammad Zainuddin Abdul Madjid di Lombok Timur. Mereka pun pergi ke lokasi pantai di sekitar Lombok Timur.

"Karena bulan ini tema pembelajaran tentang perjuangan pahlawan sehingga anak-anak juga ada edu wisata. Di sana bisa refleksi dan healing,” ucapnya.

Menurutnya, dampak yang dirasakan korban karena kekerasan seksual ini tidak serta merta hilang, butuh waktu.

“Ada anak korban yang diperkosa lalu hamil, 3 hari tidak mau makan dan tidak mau bicara saat baru datang ke sini,” kisahnya.

Ia pun menjelaskan standar operasional prosedur ketika menerima anak korban dengan trauma dan depresi maka. Pihaknya melakukan identifikasi melihat apa masalahnya.

"Kalau masalahnya seperti ini apa tindakan kami, jika seperti itu maka bagaimana langkah untuk merehabilitasi anak ini," ujarnya.

Setelah anak korban datang ke sini diterima dari pihak keluarga, LPA, UPTD PPA, atau dinas sosial, terlebih dahulu dilakukan tes psikologi. Tujuan agar bisa diketahui kondisi kejiwaan dan tingkat trauma anak.

Selanjutnya dilakukan pula tes kesehatan untuk melihat riwayat penyakit dan lain-lain sebagainya.

Ada banyak jenis kasus. Selain pemerkosaan dan pelecehan, ada juga yang open BO, maka dilakukan tes penyakit menular seksual.

“Apabila dari hasil identifikasi diperlukan tes psikiater maka kami sudah memiliki kerja sama dengan Rumah Sakit Jiwa Mutiara Sukma,” katanya.

Jika memang kondisi anak korban sangat depresi dan trauma berat maka pihaknya akan merujuk ke RSJ. Ditambah juga dengan bimbingan yang dilakukan rutin oleh pendamping sosial.

“Jadi ada empat hal yang wajib kami lakukan dalam tanda ke pelayanan kepada anak-anak korban,” ungkap Latifah.

Lebih jauh pihaknya juga memberikan terapi, bimbingan spiritual, vokasional, dan rekreasional.

"Tapi terapi rekreasi itu tidak bisa setiap bulan, kami tetap upayakan agar anak-anak ini bisa melepas penat atau healing,” ucapnya.

Ia menjelaskan, selama satu tahun Sentra Paramita memberikan layanan residensial multifungsi asistensi dan rehabilitasi sosial pada anak korban kekerasan seksual dari Januari sampai November sebanyak 55 orang.

Sedangkan anak berhadapan hukum (ABH) sebagai pelaku kekerasan seksual sebanyak 52.

Anak sebagai korban kekerasan seksual sebanyak 55 orang itu pelakunya dewasa.

“Pelaku orang dewasa, sebagian besar keluarga, tetangga dan lainnya,” ujar Latifah.

Dari respon kasus ada juga 16 orang korban di luar. Jadi jumlah korban yang Paramita tangani totalnya 71 orang pada 2024. Sedangkan pelaku 52 di asrama putra dan ada 3 di luar.

Disebutkan, saat ini ada 12 orang anak di asrama putri dan 12 orang anak di asrama putra.

“Dari jumlah 55 orang anak angka itu cukup banyak yang Sentra Paramita tangani, ada juga di rumah aman UPTD PPA. Bisa ratusan kasus kalau kami kumpulkan semua selama 2024 di NTB,” sebutnya.

“Ini fenomena gunung es, perlu juga kita ingat bahwa ada banyak kasus yang tidak terlaporkan,” ungkap Latifah.

Anak korban, sambungnya, banyak yang memiliki tingkat intelektual rendah sehingga faktor-faktor yang menyebabkan mereka mengalami kekerasan seksual perlu diidentifikasi lagi agar langkah-langkah untuk pertolongan yang diberikan bisa seimbang.

“Kondisi ekonomi keluarga juga mempengaruhi. Setelah kami memiliki sejumlah catatan itu kami berikan intervensi,” ujar Latifah.

Sampai sekarang masih banyak anak korban yang belum memiliki kepercayaan diri yang kuat.

Ia lalu berinisiatif menugaskan anak pada kegiatan upacara. Tujuannya memupuk rasa cinta Tanah Air dan menambah kepercayaan diri anak.

“Saya bisa melihat saat mereka misalnya membaca undang-undang dasar, bernyanyi lagu Indonesia Raya, menjadi petugas upacara bendera, atau aktivitas membaca masih sangat kurang tingkat literasinya,” cerita Latifah.

Berbagai program, sambungnya, dibuat agar mereka percaya diri.

“Ini yang mesti kami teruskan semangatnya kepada anak-anak sebagai salah satu cara pemulihan kondisi mereka,” imbuhnya.

Di samping itu, ada berbagai aktivitas yang bisa dilakukan anak-anak seperti nge-gym, olahraga, bermain alat musik, dan lain-lain.

“Kalau tidak bisa keluar rekreasi eduwisata maka kami akan lakukan sejumlah aktivitas seperti latihan baris berbaris, olahraga dan karate,” katanya.

Ia mengatakan, ada empat kluster kelompok rentan yang ditampung yaitu anak, lansia, disabilitas dan perempuan.

“Kami juga melakukan home visit untuk menjangkau korban. Kalau anak-anak sudah selesai masa rehabilitasinya, kami juga melakukan pendampingan,” katanya.

Pendampingan setelah rehabilitasi dilakukan untuk menyiapkan apakah keluarga menerima jika korban hamil dan melahirkan, apakah bayi-bayi ini bisa diterima dengan baik oleh pihak keluarga.

Berapa bayi yang diserahkan oleh pihak keluarga untuk diadopsi oleh negara? Persetujuan itu harus dipastikan.

Karena kondisi keluarga, sambung Latifah, ada yang tidak menerima korban lagi setelah rehabilitasi selesai karena ayahnya menikah lagi, ibunya sudah meninggal.

Selanjutnya, ada yang diperkosa oleh pamannya, lalu keluarga bibinya selalu menyalahkan korban dan belum bisa menerima korban saat kembali ke lingkungannya.

“Iya masih banyak stigma, korban dianggap aib. Dampaknya korban dapat perundungan dari tetangga dan lingkungan sekitar."

"Sikap itu yang kami tidak inginkan sehingga digelar diskusi bersama keluarga dan orang-orang sekitar tempat tinggal korban,” paparnya.

Berbagai aktivitas penunjang pendidikan kewirausahaan dan vokasional dalam satu kawasan terpadu dimiliki oleh Sentra Paramita.

Di asrama putri ada tata boga, menjahit, salon, handicraft dan laundry. Sedangkan di asrama putra ada bengkel, pertukangan, las, sablon, perkebunan hidroponik mix farming dan budidaya.

"Kami juga punya tempat untuk mencuci mobil dan motor yang dibuka untuk umum. Ada juga galeri seni dari hasil karya anak-anak,” ujar Latifah.

Adapun hasil usaha dalam program vokasional ini di antaranya makanan, produk kerajinan seperti tas, dompet, dan aneka souvenir.

Latifah menyebutkan, bagi anak-anak yang membuat karya kerajinan diberikan upah.

Setiap upah yang didapatkan disimpan dalam bentuk tabungan sehingga bila mereka sudah selesai masa rehabilitasi, ada bentuk yang dibawa pulang.

“Kami juga ada produk telur asin enak. Ada juga alumni yang sudah bisa mandiri membuat usaha jualan telur asin karena kami juga berikan bantuan modal usaha,” ucapnya.

Namun ada catatannya. Anak-anak tidak bisa diberikan modal usaha karena mereka harus melanjutkan sekolah.

"Modal hanya untuk yang alumni sudah menuju dewasa. Jika anak-anak maka modal itu biasanya kami berikan bantuan kepada keluarganya," ujarnya.

“Ada korban usia 8 tahun diperkosa oleh lansia tetangganya. Dia direhab di sini pada akhirnya ibunya juga ikut menemani."

"Ibu itu kami berikan bantuan modal usaha dan sekarang beliau berjualan aneka kue dan lain-lain,” pungkasnya.

Sumber